Friday 19 June 2009

kritik puisi

Religiusitas dalam Sajak “Tasbih”
Karya Hasan Al Banna
Oleh: akhmad fatoni

Karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk memberikan tanggapan tehadap lingkungannya, selain itu juga dapat memberikan pengertian yang dalam bagi penikmatnya tentang realitas-realitas yang disajikannya. Kenyataan demikian akan semakin penting jika karya sastra yang hadir dapat dinikmati secara lebih meluas dan ekstensif oleh anggota masyarakat.
Puisi termasuk salah satu jenis sastra yang digemari masyarakat sebab selain memberikan kenikmatan seni, puisi juga memperkaya kehidupan batin, menghaluskan budi, bahkan juga sering membangkitkan semangat hidup yang menyala, dan mempertinggi rasa ketuhanan dan keimanan (Pradopo, 1997: v-vi).
Puisi, sebagai salah satu genre sastra, memiliki daya tarik tersendiri yang berbeda dengan prosa, hal ini dapat ditinjau dari hakekat puisi. Menurut Pradopo (1997: 315-318) untuk mengerti hakekat puisi ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut. Pertama, sifat seni atau fungsi seni; puisi sebagai karya sastra fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada ungsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasanya. Kedua, kepadatan: menurut Altenbernd (1970: 9) puisi merupakan puisi esensi karena puisi ini mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat. Ketiga, ekspresi tidak langsung; menurut Riffaterre (1978: 1-2) puisi itu mengucapkan sesuatu secara tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal yang berarti hal lain. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu pengantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti.
Dalam hal ini, akan dikaji puisi Hasan Al Banna yang berjudul “Tasbih” dengan menggunakan 4 patokan : (1) Teori Semiotik; (2) Teori Struktural; (3) Teori Interteks; (4) latar belakang Sosial-budaya. Untuk lebih jelasnya berikut puisinya,





Hasan Al Banna

Tasbih

“Allah yang putih, Allah yang putih!”

kupetik-petik ranum tasbih
gelas hati melimpah, bersirap-sirap buih
bersimbah puji-puja yang gurih

“Kekasih yang jernih, Kekasih yang jernih!”

ini menggelepar tubuh tasbih
o, imanku yang dangkal ayo mendidih
serupa Ismail tak gentar disembelih

“ai Allah yang permai, ai, aku lunglai!”

maka tasbih terus berjuntai-juntai
mengayuh gemulai
hai, segala cinta-Nya nak digapai-gapai

“engkaulah maha lihai, dan aku mataair lalai!”

lagi, biji tasbih kusemai-semai
tak lah digadai
sampai dengan maut melambai-lambai.

Medan, 2006


Teori struktural
Analisis strutural ini merupakan perioritas pertama sebelum yang lain-lain (Teew, 1983: 61), tanpa itu kebulatan makna intrinsiknya yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.
Sajak ini mengemukakan tentang keangungan Tuhan, dan merasa si Aku merasa sangat kecil “engkaulah maha lihai, dan aku mataair lalai!” dan tidak berdaya o, imanku yang dangkal ayo mendidih, sehingga diucapkan pujian-pujian “Allah yang putih, Allah yang putih!” Dalam sajak ini, pemilihan kata (beserta artinya) dan bunyi bahasanya saling memperkuat makna. Aliterasi yang berturut-turut: putih, tasbih, buih, gurih, jernih, tasbih, mendidih, disembelih. Serta akhiran i; lunglai, juntai, gemulai, gapai, lalai, semai, digadai, lambai. Semua itu memberi kekuatan pada makna, sehingga memberikan nuansa kelemahan, merendah, harapan.
Begitu juga hubungan antar bait yang diciptakan, sehingga menciptakan alur cerita yang klop. Bait pertama, ketenangan jiwa dalam melontarkan pujian-pujian. Bait kedua harapan. Bait ketiga, kelemahan, kekuasaan tuhan. Tidak ada satupun bait yang lolos, semua saling berkaitan.

Teori semiotik
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Kupetik-petik ranum tasbih: metafor , yang artinya berdzikir dengan menarik tasbih. Gelas hati melimpah: personifikasi: hati yang tenang. Puji-puja yang gurih: metafor. Yang artinya suara-suara tasbih yang dikumandangakan terdengar sangat nyaring.
Ini menggelepar tubuh tasbih, metafor yang artinya tasbih terus diputar (terus bedzikir). O, imanku yang dangkal ayo mendidih, personifikasi yang artinya imanku ayo makin meningkat.
Lagi biji tasbih kusemai-semai: personifikasi yang artinya butir tasbih yang terus diputar (baca: untuk bertasbis). Sampai lengan maut melambai-lambai: metafor yang artinya meski laut pasang