Sunday 7 December 2008

esai dadang ari murtono

Raga Puisi Sebagai Sumbi

Saya sedang bermimpi. Saya hendak menulis mimpi itu tapi percayalah anda tidak perlu mengernyitkan kening untuk membacanya. Karangan ini bukanlah surealisme rumit yang sebenarnya, senantiasa menggoda saya untuk mencebur dan berbasah-basahan. Alih-alih dalam tulisan ini saya menghayalkan romantisme (yang semoga saja jauh dari) usang namun saya kira masih eloklah untuk disantap sambil menikmati segelas teh panas. Baiklah dari pada pembukaan jelek ini berlarut-larut dan ngelantur tak karuan, saya mulai saja cerita ini dengan pertemuan saya dengan seorang perempuan cantik yang kemudian mengaku bernama Sumbi. Tapi hey….ini hanya mimpi percayalah.
Saya yakin anda dan saya tentunya pernah mendengar bahkan mengenal dengan baik wanita bernama Sumbi ini di alam nyata. Dia hidup dalam dongeng-dongeng yang mengantar kita tidur yang dikisahkan oleh ibu atau kakek kita. Dia juga muncul di potongan cerita di buku pelajaran bahasa Indonesia ketika kita memasuki sekolah dasar. Dia telah begitu akrab. Dulu kita hanya menganggapnya hanya sebagai kisah yang segera lewat setelah selesai ditutur atau dibaca. Dan setelah kita mulai bisa belajar memamah peristiwa dengan (agak) baik, kita mengerti ironi yang luar biasa dibalik legenda ini. Bagaimana seorang wanita yang juga seorang ibu dikarenakan kecantikan yang konon katanya luar biasa dan mendapat anugerah dewa sehingga awet muda harus berhadap-hadapan dengan dilema yang tak kalah menakjubkannya dengan segala keistimewaan ragawinya. Anaknya yang kita kenal dengan nama Sangkuriang yang sejak usia remaja telah diusirnya dikarenakan kesalahannya dengan sengaja telah membunuh ayah biologisnya yang berupa seekor anjing yang dengan pilu dan berurai air mata ketika kita membayangkannya, kita sebut Tumang. Dan tidak cukup itu saja, jantung serta hati anjing Tumang ini telah dimasak dan dihidangkannya untuk sang ibu perempuan Sumbi ini. Lalu kita lagi-lagi ikut bersedih saat dengan terpaksa Sumbi mengusir Sangkuriang dengan terlebih dahulu memukul kepalanya sehingga menciptakan luka yang tidak akan hilang.
Setelah itu waktu yang panjang membentang. Tahun-tahun merentang memisahkan ibu dan anak itu. Sang anak tumbuh jadi laki-laki dewasa dan sang ibu Sumbi berkat anugerah dewa tetap terlihat muda dan sangat cantik. Kemudian takdir mempertemukan mereka dan Sangkuriang yang tentu saja pangling dengan ibunya yang tetap muda dan cantik itu jatuh cinta dan menghendaki Sumbi jadi istrinya. Ah….rasanya terlalu berlebihan bila saya meneruskan menceritakan akhir kisah ini. Dimana Sumbi menolak karena mengetahui siapa jati diri dari pemuda itu, namun tak mempunyai keberanian untuk mengutarakannya dikarenakan kesaktian Sangkuriang sehingga tipikal cerita-cerita khas seperti ini memintanya untuk membuatkan danau dan waktu dalam waktu semalam sebagai maskawin pernikahan. Tentu saja, meskipun sangat sakti dan dibantu selaksa bangsa jin Sangkuriang akan gagal sebab Dayang Sumbi akan menabuh lesung sebelum subuh sehingga ayam-ayam akan berkokok lebih awal dan Sangkuriang yang merasa jengkel dengan luar biasa akan mengutuk perahu juga danau yang hampir rampung itu jadi gunung yang kita kenal dengan nama Tangkuban Perahu. Saya rasa saya memang tidak sopan bila menjelaskan detail tentang kisah ini. Karena itu berarti saya meragukan kehidupan masa kecil anda. Saya meragukan apakah kakek atau ibu anda tidak pernah menceritakan kisah ini. Saya meragukan bacaan-bacaan dan pelajaran bahasa Indonesia yang anda dapat di SD dulu. Dan karena saya tidak meragukan anda maka sejarah tentang wanita yang saya temui dalam mimpi seperti dibaris-baris awal tulisan ini. Saya cukupkan demikian saja.
Ini hanya mimpi percayalah…
Dalam peristiwa bawah sadar itu (entah apakah ini pengaruh dari dongeng yang tertanam di benak saya atau tidak) ternyata perempuan Sumbi yang saya temui persis seperti yang diceritakan oleh kakek dan ibu saya dulu. Muda, cantik dan seksi. Begitu melihatnya, melihat keindahan ragawi itu saya langsung bisa menempatkan diri dengan mudah sebagai Sangkuriang. Betapa siapapun lelaki normal pasti mempunyai hasrat untuk mempersuntingnya. Sekali lagi yang penting dan harus digaris bawahi juga dicetak tebal adalah keindahan ragawi yang nyaris sempurna dari perempuan Sumbi ini.
Kemana sebenarnya arah pembicaraan dari pembahasan tentang mimpi Sumbi yang terlihat tidak terlalu penting ini selain kejadian wajar yang juga sering dialami oleh ribuan bahkan jutaan orang lain di dunia.
Tenanglah ini hanya mimpi. Saya juga bermaksud untuk menceritakan mimpi saya tentang wujud ragawi dari puisi. Tentu saja ini sebuah mimpi yang berbeda. Mungkin lebih tepat jika kita menyebutnya keinginan atau cita-cita. Selama ini saya bermimpi betapa pembahasan tentang karya-karya puisi lebih sering dihubungkan dengan makna, tema dan hal-hal semacam itu dari puisi tersebut. Begitu juga tentang tugas penyair selaku sang creator, nantinya akan lebih sering disangkut pautkan dengan makna tema dan unsur-unsur sejenis itu. Contoh yang paling mudah adalah esai indah RM Rilke tentang tugas penyair di dunia yang digambarkan sebagai seseorang yang berdiri untuk memberi petunjuk dan melihat kedepan dalam sebuah perahu sementara orang-orang yang lain mendayung dengan irama yang diisyaratkan sang penyair tersebut. Benarkah tugas-tugas semacam itu adalah tugas yang diemban sebagai rentetan dari makna yang dikandung dalam puisi? Esai fenomenal itu kemudian diikuti oleh esai-esai lain. Larut dalam asyik masyuk melulu membahas makna karangan puisi. Namun ada juga beberapa diantaranya yang dengan kesadaran tinggi ikut mengupas juga unsur ragawi teks puisi itu namun tidaklah banyak (paling tidak sepengetahuan saya yang pas-pasan, belum ada yang sefenomenal RM Rilke)
Jujur saja karangan ini tidak akan membahas hal-hal yang seperti itu, dengan malu yang sebesar-besarnya saya harus membikin sebuah pengakuan bahwa kemampuan saya belumlah mencukupi untuk ikut bersusah-susah memeras otak merumuskan hal-hal sulit seperti itu. Jadi anggap saja paragrap di atas adalah bagian tidak penting yang tidak akan berpengaruh apa-apa jika dihilangkan. Baiklah kembali pada mimpi atau keinginan saya yang kedua dalam karangan ini. Saya mengharapkan, merindukan dengan sesak dada penuh dendam dapat menulis puisi yang secara ragawi bisa seindah Sumbi. Sebelum saya lanjutkan, dalam konteks karangan ini saya andaikan kita lepas dulu pembicaraan tema atau makna atau kalau itu terlalu tidak mungkin kita buat anggapan bahwa makna yang hendak disampaikan sudah terpegang.
Eksplorasi tentang gaya ragawi teks puisi sudah sering dilakukan oleh penyair kita. Mulai Chairil Anwar sampai Joko Pinurbo dan bagi saya yang luar biasa adalah pencapaian Sutardji Calzoem Bachri dan Afrizal Malna. Itu sangat menyenangkan dan kian memberi saya harapan bahwa raga teks masih terus memungkinkan untuk dikembangkan dan dipercantik. sekali lagi tentu saja tanpa meniadakan kekuatan makna. Seperti apakah (bagi saya pribadi) teks yang indah secara fisik dan awet muda sehingga dapat diumpamakan sebagai Sumbi? Teks puisi yang saya angankan (walaupun sampai saat ini masih belum mampu saya tulis) adalah teks yang mampu mencipta semestanya sendiri. Dia bisa menghadirkan dunia indah rekaannya dihadapan pembaca yang berjarak dengan pengarang. Dia mampu mencipta simfoni bunyi, menghadirkan properti-properti panggung teater, mengejewantahkan serangkaian warna diatas kanvas, dsb. Sebegitu mulukkah bentuk fisik teks-teks puisi. Ya, sebagai sebuah angan-angan bagi saya itu adalah teks yang cantik dan akan selalu awet muda. Puisi seperti itu akan berhasil menihilkan segala ketidak mungkinan ragawi. Dia memperdengarkan musik dengan caranya sendiri kepada pembaca, mempertontonkan teater yang menggugah dan menyuguhkan magis warna lukisan.
Hal ini dikarenakan kekuatan utama puisi adalah kata. Bahkan merupakan landasan pertama, pondasi palig kokoh dari keberadaan puisi. Jadi sebenarnya kegiatan memasukkan unsur-unsur disiplin seni lain dalam teks puisi adalah usaha untuk memenuhi kekuatan puisi pada teks. Oleh karena itu kata-kata yang menyusun teks puisi haruslah senantiasa berusaha untuk menghadirkan nilai-nilai seperti yang dijelaskan tersebut. Kata. Saya ulangi sekali lagi harus mampu menciptakan puisinya sendiri dalam bangun kesatuan yang disebut puisi dan tidak ada unsur lain yang memperkuat puisi selain kata itu sendiri jadi sudah semestinyalah kata menanggung beban tanggung jawab yang serupa itu. Akibat yang sangat mungkin ditimbulkan dari aktivitas semacam ini adalah puisi dapat berdiri sendiri sebagai sebuah organisme mandiri dalam panggung pertunjukan atau ketika dibaca dalam kesendirian pembaca. Dalam sebuah resitasi puisi tidak harus ada musikalisasi puisi, teatrikalisasi atau hal-hal semacam itu untuk mencipta kemasan yang menarik sebab puisi itu sendiri dalam teksnya telah memunculkan sendiri kondisi-kondisi seperti itu walaupun hal ini tidak serta merta akan memasa bodohkan musikalisasi atau teatrikalisasi puisi. Namun hal yang membesarkan hati adalah ketidakharusan itu tadi dengan begitu segala peristiwa seni diluar puisi dapat diabaikan atau kalaulah itu juga terlalu bermuluk-muluk dapat dapat dikembangkan dari diri puisi itu sendiri. Dan yang lebih mengagumkan adalah ketika puisi itu menemui pembaca yang sendiri. Bagaimana dia dapat dengan luar biasa memunculkan orkestra, lukisan, tari yang indah kepada pembaca itu, pembaca yang berada di kesunyian kamar. Saya rasa demikianlah teks ragawi puisi yang saya harapkan dapat saya tulis itu. Entah kapan, ah…ya untuk mencegah kesalah pahaman antara apa yang saya maksudkan disini dengan pemahaman anda, perlu saya terangkan bahwa yang saya maksud teks atau bentuk ragawi sastra adalah cara ucap gaya bahasa yang dipakai oleh penyair untuk menyusun puisi dan makna yang saya asumsikan dapat diindahkan atau dianggap telah terpegang seperti penutup diatas adalah makna tersirat yang dikandung oleh puisi dan dalam proses pemahamannya membutuhkan tafsir.
Yang menjadi pertanyaan sekarang dengan angan-angan yang sebesar itu tentang teks puisi. Mungkinkah ada seorang penyair yang berhasil mewujudkannya? Dengan yakin mengingat pencapaian-pencapaian tak terduga yang dilakukan oleh Chairil, Jokpin, Sutrardji, Afrizal dan deretan penyair kita lainnya. Saya akan menjawab mungkin. Sebelum Sutardji muncul mungkin tidak ada yang terpikir untuk memanfaatkan estetika mantra yang menghasilkan simfoni bunyi yang unik demikian juga Afrizal dan yang lain. Dan kita sedang bergerak kedepan toh? Jadi dengan bercermin dengan pencapaian-pencapaian itu sangat mungkin seseorang nantinya bisa menulis puisi yang mampu menampung segala aspek seni lainnya di dalam baris-barisnya. Penyair yang mampu menjejalkan musik, teater, tari, seni rupa dan lain sebagainya kedalam bentuk ragawi puisi dengan indah dan tetap dapat menjaga kedalaman makna. Dan eksperimen-eksperimen yang tak henti kita lakukan akan mempercepat proses-proses menuju kecantikan teks tersebut.
Maka angan-angan saya yang ambisius dan muluk ini saya harap tidak hanya menjadi harapan omong kosong menyakitkan Sangkuriang yang gagal memperistri ibunya sendiri Sumbi, sebab dari sejarah, anekdot, kisah bijak dan dongeng serta legendalah kita belajar membangun peradaban dan terus bergerak maju untuk tidak mengulangi kegagalan yang sama. Dan percayalah waktu untuk merayu Sumbi lebih dari semalam.
Ah ini hanya mimpi percayalah.
Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

esai dadang ari murtono

Gajah itu bernama puisi

Ada sebuah anekdot yang saya yakin sebagian besar dari kita . kalau menyebut semua dari kita terlalu berlebihan, pernah mendengarnya namun untuk lebih baiknya dengan segenap hati akan saya ceritakan kembali. Beberapa orang buta yang sebelumnya tidak pernah tahu deskripsi tentang gajah diminta untuk meraba tubuh gajah dari beberapa bagian tubuh gajah yang berbeda dan setelah itu diminta untuk menceritakan gambaran tentang hewan raksasa itu berdasarkan hasil rabaan tersebut. Apa yang terjadi kemudian? Apa yang kemudian digambarkan oleh orang-orang buta itu? Tentu saja kita dengan mudah menduga apa hasilnya. Orang buta yang memegang belalai gajah mengatakan bahwa gajah itu ternyata kenyal dan panjang. Yang memegang kuping gajah mengatakan bahwa gajah itu tipis dan lebar. Yang memegang perut gajah mengatakan besar dan keras. Begitu juga orang-orang yang meraba bagian tubuh lainnya, semua menggambarkan bahwa gajah itu sesuai dengan hasil rabaan mereka.
Dari gambaran anekdot di atas ada hal menarik yang bisa kita ambil bahwa dari sebuah objek yang sama bisa didapat beberapa presepsi pengertian atau deskripsi atau dalam konteks karangan ini lebih tepat kita menyebutnya makna dan makna yang didapat tersebut sangat tergantung dari individu-individu yang dengan bersusah payah dengan kebutaan yang hendak ditepis dengan jalan meraba-raba berusaha merengkuh makna tersebut. Dan saya rasa makna apapun yang kemudian masuk atau berhasil dimasukkan oleh individu-individu tersebut tidaklah salah. Jadi ketika orang-orang tersebut mengatakan gajah itu panjang, gajah itu lebar, gajah itu bulat dsb. Maka itu adalah kebenaran bagi mereka saat itu sesuai dengan hasil rabaan yang mereka lakukan, namun jangan pula diabaikan bahwa makna yang mereka dapat itu bisa berubah setelah satu minggu, satu bulan atau bahkan satu menit kemudian ketika mereka melakukan perabaan di daerah bagian tubuh lain dalam usaha mencari pengertian atau makna lain dari gajah tersebut sehingga mungkin pada sebuah titik ketika sebagian besar bahkan semua bagian tubuh gajah itu telah mereka raba dan berhasil digambarkan. Mereka akan mendapat sebuah deskripsi utuh bagaimana wujud gajah sebenarnya walau sangat mungkin tidak akan sama dengan kenyataannya. Dan bagi saya itu bukanlah masalah besar dalam hubungan dengan tulisan ini nantinya.
Sebelum pembahasan tentang gajah ini berlarut-larut hingga menjurus ke ilmu anatomi, alangkah baiknya kalau kita jeda sebentar dan mencoba menengok ke diskusi (lebih tepatnya obrolan warung kopi) antara saya dan seorang rekan beberapa waktu lalu. Kami membahas sebuah puisi dan mencoba mengungkap makna yang kami dapat. (dan kebetulan kami berbeda pendapat tentang makna yang didapat) dari puisi itu. Entah dimana mulanya rekan saya kemudian mengemukakan sebuah pendapat yang katanya berasal dari Heraklitos tentang metaphor sungai dan konsep living from dari Susane K Langer. Mungkin perlu saya sampaikan di sini bahwa yang akan menjadi titik persoalan adalah dua konsep yang dikutip rekan saya tadi dan bukan pada puisi yang kami bahas sehingga saya pikir tidaklah penting dan tidak akan berarti apa-apa jika saya menyebut judul apalagi mengutip utuh puisi-puisi tersebut selain hanya akan menghabiskan ruang kertas saja.
Yang pertama adalah konsep dari Heraklitos tentang metafora sungai menurut rekan saya yang telah membawa konsep tersebut. Seni, dalam hal ini puisi itu seperti sungai. Air yang mengalir melalui sungai tersebut adalah air yang selalu baru, bukan air yang kita lihat kemarin. Jadi seni pun seperti itu, selalu menghadirkan makna baru dari sebuah puisi yang sama. Bukan makna yang sama seperti yang kita dapatkan ketika ketika kita membacanya kemarin. Selalu ada makna baru setiap kali kita membaca ulang puisi tersebut, dan makna tersebut tidaklah sama. Ah…saya merinding mendengar uraian singkat rekan saya. Betapa susahnya menulis puisi itu, berapa banyak makna yang dikandung oleh sebuah puisi. Ah…bagaimanakah nasib sebuah puisi yang tidak dapat memenuhi konsep seperti itu. Sebelum rasa ngeri saya hilang, rekan saya meneruskan teori kedua yang menurutnya berasal dari Susane K Langer tentang Living Form. Saya juga belum membacanya, betapa bodoh dan tertinggalnya pengetahuan saya. Dia mengatakan (sebenarnya sangat mirip bahkan mungkin sama dengan Heraklitos) bahwa seni yang baik itu harus bisa menghadirkan makna baru bagi pembacanya. Saya bertambah merinding membayangkannya. Setelah rasa merinding ini berkurang, saya berfikir alangkah indah sebenarnya teori ini. Saya membayangkan betapa luar biasanya teks yang merupakan organisme hidup itu mengejewantahkan dirinya, mencipta ulang dirinya secara berbeda-beda dan selalu baru di hadapan pembacanya. Dan pembaca yang senantiasa menemu wujud (makna) baru teks tersebut bukan hanya pembaca-pembaca yang berbeda namun bisa juga pembaca yang sama. Seorang pembaca yang tiap kali berhadap-hadapan dengan sebuah teks mambpu menemu wujud yang berbeda. Ah…alangkah luar biasa dan menakjubkannya. Dan saya bertanya-tanya, puisi serupa apakah yang mampu seperti itu. Pengarang manakah yang bisa menghasilkan karya seperti itu.
Saya selalu percaya (paling tidak sampai saat tulisan ini dibuat) bahwa puisi bukan hanya sekumpulan kata-kata manis dan indah. Dia adalah organisme hidup yang mempunyai daya untuk melakukan sesuatu bagi peradaban dan kemanusiaan, dia bisa menjadi kontrol sosial, pengingat penguasa ketika rakyat mulai terabaikan, air pembasuh yang mampu melunturkan nilai-nilai yang mencemari kemanusiaan, dan juga pemandu kemana kita harus melangkah. Dia bisa melakukan hal-hal besar tersebut walaupun tentu saja tidak adil bagi puisi ketika kita menuntut dia harus melakukan hal tersebut. Puisi bisa, bersama disiplin ilmu dan pengetahuan lain, melakukannya namun juga tidak menjadi persoalan ketika dia tidak hendak melakukannya. Puisi (dan penyair ketika dalam proses penciptaannya) berhak memilih dan tak ada yang bisa mengganggu gugat pilihan itu.
Dengan keyakinan sebesar dan semuluk itu tentang puisi, tak urung saya terhenyak dan merasa betapa kerdil keyakinan itu ketika berhadapan dengan konsep sedahsyat Living Form dan metafor sungai tersebut. Betapa jauh lebih perkasanya puisi dari yang pernah saya bayangkan dalam hal makna serupa pernyataan itu yang pasti akan merembet juga ke wilayah kemampuan dan tugas puisi selanjutnya.
Ah…namun entahlah. Sepanjang pengalaman saya membaca puisi (yang masih sangat sedikit) ternyata saya belum pernah menemukan puisi yang sanggup memenuhi konsep tersebut, yang sanggup menampilkan wujud baru tiap kali saya menemuinya, dan tiba-tiba saja, dengan sepenuh maaf kepada Heraklitos dan Susane K Langer saya harus mengatakan bahwa teori yang susah payah kalian rumuskan, ternyata bukanlah teori yang baik (paling tidak menurut saya) bagi proses penikmatan sebuah karya sastra, khususnya puisi.
Mengapa bisa seperti itu? Saya mengatakan bahwa itu adalah teori yang indah, yang perlu ditekankan adalah teori yang indah. Sebuah konsep luar biasa tentang puisi yang baik, seperti yang telah saya singgung di atas dan orang lain pun sah-sah saja tetap memakai teori tersebut dalam menikmati sebuah karya sastra, toh saya juga bukan siapa-siapa dan tak punya kewenangan apa-apa untuk memaksa pendapat saya agar bisa diterima. Saya hanya ingin mengatakan bahwa teori yang indah itu bukanlah teori yang baik bagi saya pribadi dalam menemui puisi, karena jika saya terus memaksakan diri menggunakan teori itu, maka semua puisi yang telah saya baca selama ini (termasuk yang menurut selera saya yang agak payah ini baik) termasuk puisi-puisi yang tidak baik karena puisi-puisi tersebut tidak setiap waktu, setiap kali saya baca menampilkan wujudnya yang baru.
Entahlah, selalu ada hal di luar teks yang mempengaruhi proses pemaknaan oleh pembaca yang berjarak. Dalam hal ini, perlulah kita singgung sedikit bahwa dalam pemaknaan teks sendiri oleh pembaca, teks telah mewujud sebagai organisme hidup yang terlepas dari pengarang sehingga dia berhak menjelma apapun ketika sampai di tangan pembaca. Dan proses pemaknaan oleh pembaca tersebut mau tidak mau selalu dipengaruhi oleh latar belakang, referensi dan tetek bengek pembaca lainnya. Termasuk dalam hal ini suasana hati. Kasus yang sering terjadi pada saya ketika menikmati puisi adalah dia, puisi, bisa mewujud ke dalam bentuk yang berbeda, ke makna yang berlainan ketika saya membacanya dalam suasana hati yang berbeda, atau ketika ada pengalaman dan referensi baru yang melatarinya. Selebihnya puisi tetap hadir dengan wujud yang sama berapa kalipun saya membacanya. Saya tidak tahu, apakah itu dikarenakan kebodohan atau kekurangpekaan saya dalam memahami puisi atau apa tapi untuk bisa menemukan wujud baru dari puisi saya selalu membutuhkan suasana hati yang berbeda, pengalaman atau referensi baru. Sekali lagi, anda boleh percaya boleh juga tidak, tetapi saya sarankan untuk tidak percaya sebab ini hanyalah coret moret penikmat puisi yang mungkin kurang cerdas atau kurang peka.
Kembali ke permasalahan. Oleh karena itulah saya cenderung lebih suka menggunakan teori anekdot tentang sekumpulan orang buta meraba gajah seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini dalam proses pemaknaan sebuah puisi. Saya anggap puisi itu gajah dan pembaca yang tentunya berjarak dengan penyair adalah orang yang meraba makna puisi itu, dia bisa menyimpulkan makna tetapi mungkin bukan makna utuh puisi itu. Pembaca tersebut bisa meraba lagi tepat di tempat yang sama di mana dia meraba pertama kali, maka yang dia dapat adalah makna yang sama. Tetapi ketika pembaca yang sabar tersebut meraba di bagian tubuh yang lain, dalam konteks pemaknaan puisi bisa diartikan dengan dilatari oleh suasana hati, pengalaman dan referensi yang baru, maka yang dia dapat adalah wujud lain dari gajah tersebut, pengejewantahan lain dari puisi tersebut. Dan karena itu tidaklah masalah ketika sebuah puisi tidak selalu mengalirkan makna baru atau memunculkan Living Form baru tiap kita membacanya sebab bagi saya kita membutuhkan hal-hal baru di luar teks dan penyair untuk dapat menggapai makna baru tersebut.
Demikianlah, dengan konsep gagap macam itu, saya coba tetap berbesar hati menikmati puisi-puisi sambil terus mencari tempat-tempat baru yang memungkinkan diraba untuk mendapat wujud baru yang mungkin bisa menyenangkan, menggairahkan atau mungkin menakutkan. Dan saya akan terus bersiap untuk terus mengerti bahwa gajah itu tidak hanya kenyal panjang, lebar tipis dan sebagainya. Tapi eh…apa itu? Ah…derai-derai cemara nya Chairil mulai menggoda lagi untuk diraba, mudah-mudahan tidak dapat anus seperti kemarin.

Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

esai dadang ari murtono

Jaka Tarub dan Dunia Kutukan Penyair

Ini bukan sebuah dongeng. Percayalah. Juga bukan esai yang indah. Saya hanya hendak mengatakan bahwa pada suatu ketika (kebenaran kisah ini pun sebenarnya saya juga tidak begitu yakin, tapi ini tidak akan terlalu penting) seorang pemuda berjalan dalam gerimis rinai, pelangi melengkung hingga ujung-ujungnya tenggelam dalam sebuah danau yang dikitari pohon-pohon, semak dan perdu lebat. Tentu saja dalam cerita-cerita seperti ini, akan ada 7 bidadari yang turun dari surga melalui pelangi itu dan mandi dengan riang di tepian danau. Dan tentu saja mereka akan melepas seluruh pakaian termasuk selendang yang konon bisa membuat mereka melewati pelangi itu dan sekali lagi, tentu saja (betapa kita sebenarnya telah sanggup menebak alur kisah seperti ini) pemuda itu secara tidak sengaja akan sampai di danau itu atau paling tidak berjalan dalam jarak yang tidak terlalu jauh sehingga suara kecipak dan renyah tawa bidadari-bidadari itu akan dapat terdengar. Sebab di sana tidak ada papan peringatan bertuliskan “Dilarang melihat, ada 7 bidadari sedang mandi” dan juga tidak pernah ada fatwa atau ajaran yang mengharamkan seseorang berjalan di sekitar danau ketika gerimis (untuk kasus pemuda ini, marilah kita kesampingkan apa yang dicarinya dengan berjalan-jalan di luar ketika gerimis) maka dia pun dengan rasa penasaran mendekat dan menyaksikan betapa cantiknya bidadari-bidadari tersebut. Dan persis seperti yang anda bayangkan, dia, yang kemudian kita kenal dengan nama Jaka Tarub, jatuh hati kepada bidadari-bidadari itu, menyembunyikan salah satu selendang yang ada di sana dan saat gerimis reda, pelangi sudah semakin samar, bidadari-bidadari yang harus buru-buru kembali ke surga akan menangis melihat selendang salah satu dari mereka hilang yang artinya dia tidak akan bisa pulang ke surga. Namun mereka tidak sempat lagi membantu mencari. Garis-garis pelangi semakin tipis dan dengan sedih perih mereka meninggalkan saudarinya yang terisak sendirian. Dan Jaka Tarub akan mendadak muncul, menanyakan mengapa menangis, menawarinya makanan dan tempat menginap hingga akhirnya setelah berselang beberapa waktu, menikahlah mereka berdua.
Dan dimulailah hari-hari bahagia yang tak lama sebab kemudian dengan tidak sengaja, bidadari tersebut menemukan selendang yang disembunyikan Jaka Tarub dalam lumbung padi. Dan dengan bahagia dia akan segera terbang ketika pelangi melengkung dalam gerimis rinai, bertemu saudari-saudarinya di surga. Meninggalkan dan melupakan Jaka Tarub yang sejak itu tak pernah lagi bisa tidur dengan nyenyak, yang segera berubah linglung oleh rindu dendam tak terperi. Sebuah taraf gelisah yang luar biasa pada tingkat yagn sukar dijelaskan.

Apa yang hendak saya sampaikan sebenarnya? Saya tidak bercerita tentang pembuangan Adam Hawa ke dunia, meninggalkan segala kenikmatan untuk merasakan derita, kegelisahan dan segala tetek bengek duniawi. Bagi saya, Adam dengan sengaja dan kesadaran penuh telah melanggar larangan Tuhan. Bukankah Tuhan telah menjelaskan untuk tidak memakan Kuldi? Sudah ada fatwa, sudah ada papan peringatan. Maka sudah sewajarnya dia lepas ketenangan untuk masuk dunia pembuangan. Dan masuk dunia pembuangan, dunia penuh kegelisahan, dunia yang senantiasa membuat meracau, bergumam dengan bahasa-bahasa aneh, symbol atau teriakan terang benderang di siang hari, dunia yang mencegah untuk tertidur, sekali lagi, dunia kutukan ini juga dialami oleh seseorang bernama Jaka Tarub.
Betapa tidak ada kesengajaan dalam kasus ini. Siapa yang melarang seseorang berjalan di pinggir danau? Siapa yang memperingatkannya agar tidak mengintip ke sana? Maka bukan salahnya ketika terpampang kecantikan nyaris sempurna di hadapannya, tak ada satu kuasa yang mampu mencegahnya untuk berusaha menyimpannya. Namun sayang, Jaka Tarub tak pernah siap dengan apa yang mungkin terjadi, dia tidak siap ketika Nawang Wulan (nama bidadari itu) akhirnya menemukan selendang yang disembunyikan dan segera pergi. Dia gagap menerima hal semacam itu sehingga yang tersisa hanyalah rindu tak tertahan, kegelisahan yang membuatnya melamun, menggumam. Segala sesuatu yang membuatnya tak tenang, datang begitu cepat dan menemaninya sampai mati dalam keadaan yang sama, linglung penuh rindu dendam kepada Nawang Wulan, keindahan nyaris sempurna, setetes surga yang lolos ke dunia.

Saya menangkap 3 episode besar dalam kehidupan Jaka Tarub: ketenangan, kebahagiaan, kegelisahan. Dia tenang, tidak mempunyai pikiran yang nganeh-nganehi sebelum bertemu dengan Nawang Wulan. Lalu dia mengalami kebahagiaan yang sangat ketika dapat menikah dengan Nawang Wulan. Dan kegelisahan, tentu saja seperti yang telah saya singgung dalam paragrap-paragrap di atas, dialaminya setelah Nawang Wulan kembali ke surga.
Pada tahap kegelisahan ini, hal yang ingin saya tekankan, saya membayangkan apa yang dilakukan Jaka Tarub? Saya tidak sempat (baca: tidak ingin) melakukan survey atau penelitian, saya mengandaikan menjadi Jaka Tarub, dengan kapasitas dan segala yang ada pada diri saya yang pas-pasan ini. Setelah tahu betapa nikmat dan indahnya sedikit sekali potongan surga, mungkin saya akan melamun, membayangkannya kemudian berpikir untuk mencipta hal semacam itu bahkan kalau bisa lebih indah. Dan hari-hari di sisa hidup saya hanya akan habis untuk untuk hal itu. Kemungkinan besar saya akan cenderung tidak peduli dengan lingkungan social dan hal-hal lain yang bersifat keduniawian atau materialisme, sibuk dengan diri sendiri, dan kecamuk pikiran. Dan ini sangat berat
Sekali lagi, sebagai seseorang yang telah melihat bahkan merasakan surga, saya menanggung beban yang lebih dari orang lain. Ketika orang-orang hanya berfikir tentang, katakanlah, sekolah, cari kerja, menikah, punya anak, mati, selesai, sedangkan saya dengan pengalaman seluar biasa itu, dapatkah mengalami fase-fase seperti orang-orang “normal”? Saya rasa tidak. Secara tiba-tiba muncul fase lain yang mendominasi seluruh fase kehidupan normal saya. Ini mungkin semacam fase kutukan dan saya menyebutnya fase kegelisahan. Dan saya tahu, ini akan berlangsung begitu lama bahkan mungkin sampai saya mati.
Menghadapi hal-hal menakutkan ini, saya yang mengandaikan diri menjadi Jaka Tarub sesekali ketika kegelisahan, kecamuk pikiran, menggelegak mendesak dan rasa-rasanya perlu sedikit istirahat sebelum berpacu kembali dengan kutukan, akan cenderung singgah di kedai-kedai arak, mencicip sedikit dan keluar kembali untuk segera berlari, bergumul dengan ide-ide dan upaya penghadiran keindahan-kenikmatan surga. Menemukan pencerahan-pencerahan atau kalau segala istilah itu terlalu muluk dan terkesan sombong, maka saya gunakan memberikan sesuatu kepada nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan dan nilai-nilai luhur kehidupan berdasarkan visi luar biasa tentang surga, sebuah semesta kehidupan ideal yang telah saya lihat.
Saya rasa ini wajar, bukankah beban pikiran sedemikian berat tidak diberikan Tuhan kepada setiap orang? Maka tidak ada yang salah dengan sekedar singgah minum di kedai arak untuk kemudian pergi lagi, atau kalau menurut anda ini hanya sebuah pembenaran dari kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan, maka anda bisa menganggap paragrap-paragrap terakhir ini tidak ada.

Akhirnya saya kembali, saya bukan lagi Jaka Tarub. Saya kembali menjadi anak muda yang gagap yang dengan tidak sengaja (karena tidak ada larangan atau fatwa yang mencegah untuk membaca puisi) dengan bersemangat menikmati ketersesatan di surga puisi. Secara tidak sengaja saya tinggalkan dunia lengang dulu, dunia adem ayem tanpa gemerisik dan keretak pikiran yang aneh-anehi. Saya benar-benar bahagia di belantara puisi ini sampai suatu saat, saya merasa ada yang hilang. Ada sesuatu dalam diri saya yang ingin keluar dan tidak lagi bisa dijumpai di puisi-puisi tulisan orang lain yang selama ini saya baca dan pernah membuat saya merasakan kenikmatan luar biasa ini. Saya harus menulisnya, saya harus menemukannya sendiri. Dan sejak itu senantiasa ada kegelisahan, semacam kutukan Jaka Tarub.
Tapi hey…saya sudah bukan Jaka Tarub. Jadi sebelum saya jadi Jaka Tarub lagi, kita akhiri saja esai ini sampai di sini dan percayalah ini hanya catatan iseng kecil dari seseorang yang tidak bisa tidur sebab gelisah-gelisah yang tak mau pergi. Eh…sepertinya ini akan mengarah lagi kepada Jaka Tarub. Maaf…maaf.

Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

esai dadang ari murtono

Mengapa Tuhan Harus Ada

Di dalam kamar saya yang sepi, pada awalnya saya mengira hanya ada saya. Lamat-lamat ada ingatan yang menjalar, sebuah esai yang dengan susah payah, terengah, berkali-kali jeda akhirnya bisa saya tuntaskan juga pada malam sebelumnya (meskipun itu tidak berarti bahwa saya betul-betul memahami segenap yang dimaksudkan esai tersebut). Meditasi Kedua dari Rene Descartes. Esai yang berat untuk kemampuan cerna otak saya yang sangat pas-pasan bahkan cenderung kurang ini.
Sebelumnya, saya rasa menarik untuk memberikan latar ini dalam rangka memudahkan memahami tulisan jelek di hadapan anda ini. Saya orang yang kebetulan beragama, saya percaya (walau sesekali patut diragukan) Tuhan. Namun toh dua gambaran besar tersebut tidak mampu membawa saya dengan khusuk dan istiqomah beribadah, justru saya sering melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan seperti yang telah difirmankannya dengan berapi-api (atau sabar? Ah saya tidak tahu dan ini tidak penting) melalui orang-orang yang kemudian dengan takzim kita sucikan dan sebut sebagai nabi.
Kembali ke ingatan yang menjalar tentang meditasi kedua. Apa yang dapat saya katakana dari esai hebat itu? Descartes dengan unik telah berhasil membolak-balik dan akhirnya menggiring logika saya untuk ikut meragukan banyak hal (malah bisa jadi semua hal). Toh bukan tema besar itu yang melandasi tulisan ini. Ada sesuatu yang kecil tapi bagi saya teramat sangat menarik. Kecil karena itu merupakan satu dari dari sederet pertanyaan yang diajukan Descartes dan lalu tidak diulang-ulang lagi, menarik karena setelah saya usai membaca salah satu dari sedikit yang tersisa di otak saya adalah hal tersebut. Saya kutip “Tidak adakah Tuhan, atau bagaimana menyebutnya, yang memasukkan pikiranku saat itu di kepalaku? Tetapi mengapa aku pikirkan ini, karena mungkin aku sendiri adalah pengarang pikiran ini?” Pertanyaan indah yang bagi saya luar biasa.
Baiklah, sampai sini Descartes selesai. Saya akan jeda sebentar dengan maksud menghilangkan apapun dari meditasi kedua selain kutipan di atas. Namun perlu juga saya tegaskan, tulisan ini tidak diikhtiarkan untuk mendukung atau menyangkal teori Descartes, jadi buang jauh-jauh harapan berlebihan seperti itu.

Sekali lagi, yang menjadi dasar pijakan tulisan ini adalah kutipan di atas. Mari kita pusatkan saja perhatian ke sana dan membuang Descartes “yang lain” dan jika nanti ada satu atau beberapa hal yang ternyata “sama” maka itu adalah “ulah” bawah sadar dan sama sekali tidak ada maksud untuk melakukan hal itu.
Tidak adakah Tuhan, atau bagaimanapun menyebutnya, yang memasukkan pikiranku saat itu di kepalaku? Saya akan mencoba mendefinisikan Tuhan hanya dari kalimat itu dan sengaja memasa bodokan segala konsep-konsep teologis atau referensi-referensi keagamaan yang lain yang memang tak pernah saya baca dalam penyelesaian tulisan ini. Tuhan adalah sesuatu yang dengan sengaja memasukkan atau memunculkan sebuah atau beberapa pikiran ke kepala, bisa diartikan otak atau apapun lah, seseorang. Sesuatu? Apa itu? Entahlah, saya tak hendak membahas wujud atau asal-usul sesuatu itu. Saya lebih terpesona akan kemampuannya untuk memasukkan pikiran ke kepala seseorang. Dan itu, percayalah atau kalau pun belum bisa coba rasakan lagi kutipan di atas, dilakukan dengan sengaja. Jadi apapun yang ada di kepala kita, apapun yang kita pikirkan, dan akhirnya apapun yang kita hasilkan dari pikiran tersebut adalah sesuatu yang memang dengan sengaja dimasukkan oleh sesuatu yang memiliki kemampuan untuk itu dan kita menyebutnya Tuhan.
Sebegitu pentingnyakah Tuhan? Dengan berat hati dan enggan saya harus kembali ke meditasi kedua untuk membuat pembanding tapi percayalah saya berusaha pada bagian ini saja Descartes kembali terlibat. Tuhan tiba-tiba (sengaja saya memakai istilah “tiba-tiba” karena saya sendiri juga terkejut dengan pemahaman baru yang datang tiba-tiba ini) menjadi sangat penting, sangat menguasai, sangat menentukan dari segala yang ada. Ada? Ya. Descartes dengan cerdik telah berhasil meragukan semua hal sampai pada kesimpulan bahwa segala sesuatu ada karena ada di pikiran dan hanya dirinyalah (pikiran) satu-satunya yang tidak diragukan karena semua bersumber dari sana. Aku berfikir maka aku ada. Saya coba menghubungkan dengan penjelasan singkat terbata-bata saya diatas. Karena Tuhan adalah sesuatu yang memasukkan sesuatu (baca: pikiran dan selanjutnya ditulis pikiran) ke kepala seseorang maka secara otomatis hanya Tuhan selaku pemilik pikiran itu termasuk peraguan dan segala hal yang mengikutinya sebagai satu-satunya hal yang tidak diragukan.
Dapatkah ini dipahami? Tuhan dengan sengaja telah memunculkan pikiran bahwa hanya pikiran yang tidak bisa diragukan sebab dia telah meragukan semua hal (termasuk Tuhan sendiri) atau pikiran lain apapun. Tapi ini disengaja. Jadi segala kesimpulan dari pikiran itu adalah apa yang sengaja “dipinjamkan” Tuhan sehingga berangkat dari ide seperti itu maka Tuhan tak terbantahkan (bagi saya) telah menjelma satu-satunya sesuatu yang pasti dan tak teragukan.
Jika ini sudah bisa dipahami, mari kita lanjutkan kajian ke kalimat selanjutnya. Tetapi mengapa aku pikirkan ini, karena mungkin aku sendiri adalah pengarang pikiran ini? Ok. Esai ini sudah hampir selesai. Dengan konsep yang sudah kita pahami bahwa Tuhan dengan sengaja memunculkan pikiran ke kepala seseorang, maka kalimat itu, kalimat dengan tingkat kepercayaan diri luar biasa tinggi itu, secara otomatis gugur. Seseorang itu bukanlah pengarang pikiran itu sebab dia hanya dipinjami dan pemikiran bahwa pikiran itu adalah karangan dari seseorang tak lain hanyalah pikiran yang sengaja dimasukkan Tuhan ke kepala orang tersebut. Jadi dengan ini, hilanglah segala keberadaan seseorang (manusia), eksistensinya, segala sesuatu di sekitarnya yang muncul sebagai rentetan hal dari pemikirannya akibat dari peraguan-peraguan yang dilakukan sebelumnya. Hanya ada satu hal yang pastilah tak terjamah bahkan dengan peraguan segala hal oleh pikiran karena dia adalah pencipta pikiran sehingga secara mutlak dapat disebut creator tunggal. Sesuatu itu lalu sepakat kita sebut Tuhan.
Dapatkah dipahami? Saya rasa penjelasan ini telah sangat benderang seperti ruang tamu yang pintu rumahnya dibuka sedang hari sedang sangat cerah sehingga cahaya leluasa bisa masuk.
Baklah karena sebelumnya telah dibatasi dengan sengaja tidak ada konsep-konsep ajaran agama di tulisan ini, dan menurut perasaan saya jika tulisan ini dilanjutkan akan ada nilai-nilai agamis yang dengan licik menyusup di sini maka tulisan ini harus segera diakhiri, bahkan akhiri sekarang. Dan kembali ke baris awal tulisan ini, saya akan memulai di dalam kamar saya yang sepi, hanya ada saya, Tuhan dan lamat-lamat ada ingatan yang menjalar, sebuah esai indah dari Rene Descartes, meditasi kedua…

Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

puisi-puisi dadang ari murtono

tomat

ini dunia luas sayangku malang
hanya saja tak pernah terbayang

ini jalan teramat lempang
hanya saja kita tak mampu menerawang

ini merah semanis darah
hanya saja tak ada yang berani memamah

ini air teramat segar
hanya saja kita tak cukup sabar




blue jeans

di luar padang biru ini sebenarnya
terserak kisah cinta kita

di serat kaku ini sebenarnya
melumut waktu pada angka-angka

di nyeri garis bekas lipatan ini sebenarnya
tersimpan sajak liris tak terbaca

di ujung retsleting ini sebenarnya
tergeletak berjuta makna begitu saja



siput

cangkang keras berkapur ini
sanggup meredam letup birahi

lubang kecil yang jarang terlihat ini
malu-malu bagai rahim perawan suci

danging kenyal halus ini
menjulur mengulur seperti mimpi

lelehan lendir amis ini
sampai juga ke kamar sepi

langkah lambat menyeret ini
serupa orgasme semu suatu pagi



nisan

lelah jalan-jalan panjang
seperti tak pernah usai membentang

kadangkala tubuh remuk redam ini
ingin kuistirahatkan di tempat-tempat sunyi

tidur nyenyak
kepadamu tak berjarak

dan barangkali tonggak beku kaku
sanggup menulis sebait puisi bisu`


tari kembang

gegap gempita sorak sorai gelanggang
mengundang roh-roh melayang

ini pencak dengan gendang
hari beranjak susut terang

sebelum hitam semakin pekat
baiknya dibasuh mantra dan jimat

lalu mulai ritual jalang
kepadamu nenek moyang

tangan terkepal
segenap penjuru dirapal

setelahnya hanya ada auman
orang-orang kesurupan


album semut

seperti apa keluarga
yang tak henti kita reka

merayap bersama sepanjang dinding
dan mengangkut remah roti kering

atau bergerombol kasak-kusuk
membicarakan sebait puisi suntuk

yang tak ada pada kita
mungkin cinta

hanya serombongan basa-basi
yang kadangkala menyinggung bunuh diri



semar

lihatlah tubuh bungkuk penuh getar
suaranya dalam dari tempat samar

"aku tahu segenap pengetahuan
aku tahu masa lalu dan masa depan"

memang kemudian orang-orang berdatangan
penuh lelaku dan bikin gunungan

dan ramayan juga mahabharata
adalah apa yang sengaja diangankannya

"siapa butuh tuhan siapa butuh tuhan"
suara-suara buruk seperti dalam pasar hewan

kau tentu kenal siapa itu
pandawa dan orang-orang seperti kerbau



pelancong tolol

menurutmu tempat-tempat asing jauh
hanyalah sebentuk keluh-jenuh

menurutmu banyak hal dibuat
hanyalah teriak sumbang penjual obat

menurutmu kata-kata aneh yang mulai tumbuh
hanyalah genit yang sebentar lagi luluh

menurutmu dompol-matang-segar ini
hanyalah sepotong lontong basi

mungkin kacamata hitam yang tak pernah
kau lepas itu
menghalangimu melihat artefak prasejarah
dalam dirimu


ramaparasu

di suatu ketika
setelah arjuna sasrabahu muksa di depannya

dia menerawang masa depan yang jauh
masa depan yang hanya berisi keluh

seperti apakah sunyi-sepi-sendiri
seperti apakah mati

dan kemenangan yang pernah dinanti
kemenangan yang membuat abadi

hanyalah sesal
dari kaki yang pegal

“sudah tak ada yang bisa dilihat
sudah kusesap semua nikmat”

samar, seperti guman isroil yang berat
“hanya akhirat”

entah kenapa dia menangis
dengan isak yang miris


arimbi

ternyata waktu hanyalah aroma yang tersisa
dari gemeretak abu pembakaran wanamarta

dan ingatan yang sengaja kita jaga
ingatan tentang kota-kota maya

lambat laun leleh juga
mencipta bekas yang lekas tiada

lalu kau bertanya tentang keabadian
garis cerlang yang tak akan padam

:mungkin laki-laki buangan dari astina
yang mencabut segala nyawa

dan meniupnya dengan desah tertahan
dalam rahimku, rahim dewi hutan

juga aku yang dengan birahi purba
terlentang telanjang di selempeng mantra

merasakan kekar otot-otot itu
melesakkan ekstase dalam tubuhku

dan menjaganya sebagai anak turun pandhu
yang telah memusnahkan pepohon dan peperdu

dan pringgondani?
“ternyata hanya kau dan lelaki itu, arimbi”


nun di permulaan

dari sini dulu, dia menampung, alang-alang, belalang,
juga kunang-kunang

mungkin bahkan yang tak ada belum tercipta
entah semesta berupa apa
lalu belukar rimbun mengulur dari sesuatu seperti mulut
dibiarkannya akar-akar itu merambat
mencicip segala yang belum tereka
dan dua kembara rapuh menumbuhkan daun-daun, embun
dan hening yang samun
dirangkainya gelembung-gelembung besar warna warni
ditiupnya segala yang akan tumbuh, yang telah menjalar
yang akan bergema dan telah melangkah ke dalamnya
gelembung milyaran tahun
gelembung gelombang melayang di luar kata yang terapung

lalu diajarkannya bagaimana merangkum ingatan
seperti perahu besar
seperti nun di permulaan

setelah begitu banyak yang menebak wujud penuh ragu dan rindu
setelah kapal dengan bendera bergambar noktah-satu buah-mewujud
maka gelembung berderak dan berdetak seperti akhir
riwayat lonjong telur ayam,
seperti awal ciap anak unggas itu mengais lubang
kemudian-mungkin-semuanya berlaku seperti yang telah disepakati
triliunan kata berlinangan dan berdentam
memenuhi setiap apa-apa yang bahkan sebelumnya tak pernah ada

setelah itu kita terbangun di suatu pagi
mencoba menyusun kembali ribuan titik
yang pernah berkumpul di sebuah bendera kapal besar
ada yang menggambar ular, kelamin, apel
juga taman tempat ayah ibu mengeja ketelanjangan
pertama kali

dan tak lebih dari itu

sementara di kejauhan, sesuatu yang luput
dari catatan, terus mengenang gelembung dan akar-akar
seperti nun di permulaan






Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto 28 maret 1984. saat ini tinggal di Mojokerto.
no hp 085648693352, email vega97venus@yahoo.co.id

Sunday 19 October 2008

buletin lembah biru

Komunitas Arek Japan (KAJ) telah menerbitkan beletin lembah biru.edisi kali ini edisi yang kedua bulan oktober 2008. untuk pemesanan bisa menghubungi fatoni: 085648785904. 50 eks 20.000.

Diskusi Rutin

Alhamdulillah kita masih bisa tetep bisa berkarya dan melakukan pergerakan. salah satunya diskusi rutin ini. Diskusi rutin yang kedua telah berjalan lancar. kemarin diskusi masih tetap kami lakukan di Taman Polisi Mojosari, Pukul 18.30 wib. diskusi berjalan lancar meski suasana sangat ganduh. tetapi itu bukan menjadi halangan buat kami. diskusi kemarin membicarakan proses kreatif penulisan puisi. membandingan komunitas gardu puisi (gapus) mengapa bisa mempengaruhi perpuisian nusantara. jika gabus saja bisa melakukan perubahan kenapa mojokerto tidak. maka kami Komunitas Arek Japan (KAJ) akan menciptakan proses kreatif dalam acara diskusi dan pematangan karakter besok pada tanggal 25 Oktober 2008. pukul 18.30 hingga selesai, bertempat di desa sumberan (arah ke banyupanas, pertigaan sebelah kiri.sebelum polsek pacet. di bawahnya patung sapi). memang semula kami melakukan diskusi di taman mojosari, tapi situasi sangat tidak kondusif untuk proses kreatif sehingga kami memilih berpindah tempat. sebelumnya kami minta maaf tanpa pemberitahuan sebelumnya.
acara terbuka untuk umum.

Monday 29 September 2008

Diskusi Rutin

Salah satu program yang kami rencanakan adalah diskusi rutin. insyaallah kami melakukan diskusi sebulan dua kali. Kali pertama diskusi kami berlangsung tanggal 20 September 2008. di Taman Polisi, Mojosari.
untuk diskusi kedua akan dilaksanakan tangggal 11 Oktober 2008, di taman polisi Mojosari,Mojokerto.

Buletin Lembah Biru

komunitas Arek Japan (KAJ) menerbitkan beletin sastra. edisi perdana bulan september 2008.
untuk pemesan Cp: 085648693359. bisa juga via email:fatoni.akhmad@gmail.com

Sunday 31 August 2008

tentang kami

Komunitas Arek Japan (KAJ)

Komunitas ini digagas oleh Akhmad Fatoni. Sebab keresahannya tentang sastra di tempatnya tinggal. Setiap ia berada di rumah ia selalu rindu dengan diskusi, tulis menulis, serta membacakan karya secara bergantian. Berdasarkan kerinduan dan keresahannya itu. Ia berniat dan ingin membentuk sebuah komunitas. Untuk mewujudkan keinginan tersebut ia menghubungi teman-temannya. Dan terlahirlah Komunitas sastra di kota Mojokerto, pada tanggal 12 oktober 2007. setelah itu kami sepakat membentuk struktur keorganisasian:
Diketuai: Akhmad Fatoni
sekretaris: Ilmiatu
Anggota:
1. Anji sirwanto
2. Robby (Alm)
3. Rifky
4. Rozikin (jack)
5. Khoir
6. Danang
7. Fitria

Setelah terbentuk kami masih bingung diberi nama apa komunitas ini. Akhirnya ia dibantu dosennya Pak Hendricus (Malang)dosen Unesa dan diberilah nama komunitas ini dengan nama Komunitas Arek Japan (KAJ).
Terbatasnya ruang gerak dan finansial membuat kami tidak mempunyai agenda kerja yang pasti. Hanya saja kami sering berdiskusi di warung-warung kopi, dan terkadang membacakan puisi bergantian.
Kini, komunitas Arek Japan mengembangkan diri di bidang masing-masing, seraya tetap saling mendukung untuk memelihara semangat dan prinsip kebebasan berpikir dan berekspresi. Pada dasarnya kami percaya bahwa persaudaraan adalah modal yang paling utama. sehingga lewat komunitas ini, kami ingin memelihara persaudaraan itu. sebenarnya kami ingin membuat majalah tetapi kami kurang dana. bagi anda yang ingin membantu, kami sangat terima kasih.
Karena prinsip itulah terjadi kevacuman. tetapi karena keinginan Fatoni terhadap perkembangan sastra di Mojokerto akhirnya ia mengelolah komunitas ini. Ia membuat blog dan semuanya. Meskipun tak ada kegiatan ia selalu membawa nama KAJ disetiap langkahnya.

Kini Komunitas Arek Japan berusaha diaktifkan kembali oleh Fatoni. Sekarang KAJ dikomandani oleh Akhmad Fatoni dan Dadang Ari Murtono sebagai wakilnya. ***

Friday 27 June 2008

analisis cerpen

PERLAWANAN KULTURAL DAN PERTALIAN TEMA
DALAM CERPEN ‘PUSARAN LUBUK PENGANTIN’
DAN CERKAK ‘DEN MAS MARGOPOK’



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sabda klasik yang masih bergema dalam setiap pembelajaran sastra adalah sabda yang diucapkan Plato, yang begini bunyinya: sebuah karya sastra adalah jiplakan dari masyarakat. Artinya, Plato paham benar bahwa; tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya (creato ex nihilo). Dalam keberkaitannya dengan latar budaya, dunia yang disajikan karya sastra adalah tetap sebuah dunia yang imajinatif, ( Wellek-Warren, 1990:14) sebab komponen inilah yang membedakan pengarang dengan seorang fotografer.
Kerena sebuah karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, (Teeuw, 1983:15) mengatakan dalam kitabnya, bahwa untuk memahami karya sastra perlu memperhatikan tiga sasmita yaitu: kode sastra, kode bahasa, dan kode budaya. Dalam kode sastra yang perlu diperhatikan adalah adalah kode individual yang dicomot oleh pengarang; dalam kode bahasa yang perlu diperhatikan prinsip ekuidensi (kesepadanan), dan prinsip devisi (penyimpangan); dan dalam kode budaya perlu dilihat lingkup budaya di mana karya sastra itu diciptakan, yang mencakup: lingkungan sosial dan adat istiadat setempat.
Menurut Hutomo, di dalam karya sastra selalu terjadi dialog antara teks dalaman dan teks luaran (Hutomo, 1983:13). Teks dalaman merupakan komponen yang membangun karya sastra, sedangkan teks luaran bertugas membangun unsur di luar karya sastra, yang dalam makalah ini berkaitan dengan setting budaya yang diboyong oleh pengarang. Dialog tersebut menjadi suatu keseimbangan antara karya sastra dengan komponen-komponen yang ada di luar karya sastra, antara otonomitas dengan latar budaya.
Latar budaya menjadi perhatian sentral dalam makalah ini, di mana kode budaya hadir dan menjadi titik perhatian pengarang, baik dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ (PLP), karya Raudal Tanjung Banua dan cerkak ‘Den Mas Margopok’ (DMM), karya Ismoen Rianto, di mana budaya dan adat istiadat Sumatra dibingkai oleh Raudal dalam cerpennya seperti halnya budaya Jawa yang dikemas dalam cerkak Ismoen. Kedua cerpen tersebut berkisah tentang bagaimana sebuah upacara pernikahan dihadapkan dengan tradisi kultural dan adat istiadat yang berlaku di kedua tempat.
Pada cerpen pertama (PLP) seorang pengantin terpaksa meninggalkan rumah persis setelah malam pertama karana di luar kesengajaannya perempuan itu telah melanggar tradisi setelah ketahuan tidak perawan, dan harus membayar denda moral dan material. Pada cerkak (DMM) konflik terjadi karena pasangan pengantin dianggap menentang adat kultural atau nyingkur pranatan dengan tidak mengindahkan Numerology Jawa yang berupa neptu yang dilarang secara matematis-jawa. (setidaknya satu alasan yang menjadikan (semacam) penulis membandingkan dalam kepentingan tugas sastra bandingan).
Menurut Renok, kajian sastra bandingan meliputi kajian sejarah, persamaan tema, persamaan dan perbedaan, hubungan tema, masalah yang diangkat, genre, dan style. Dalam makalah ini yang akan dikaji dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan cerkak ‘Den Mas Margopok’ adalah sebatas pada perlawanan kultural dan pertalian tema dalam kedua karya tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan seperangkat latar belakang di atas, rumusan masalah dalam (semacam) makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana perlawanan kultural dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan cerkak ‘Den Mas Margopok’?
Bagaimana pertalian tema dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan ‘Den Mas Margopok’?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kilasan Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan Cerkak ‘Den Mas Margopok.’

2.1.1 Kilasan Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’
Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ adalah sebuah miniatur dicomot dari Sumatra Barat. Cerpen tersebut berkisah bagaimana seorang pengantin (Banun) yang terpaksa meninggalkan rumah persis setelah malam pertama. Tradisi yang berlaku mengharuskan seorang yang tidak perawan harus menanggung denda moral dan material. Lihat kutipan berikut:
Sebab orang-orang telah sepakat (ah, seturut adat!): kain yang tak bernoda justru pertanda dosa dan noda. Ibarat kelapa, Sanak, diri perempuan diamsal mumbang atau kelapa tekong, sisa kumbang atau tupai jatuh terbuang. Kalau sudah begini tak ada alas an melanjutkan perkawinan. Jalan satu-satunya tetap tunduk pada aturan adapt: pihak perempuan harus membayar denda tunai kepada pihak lelaki, seberapapun mereka maui. Ada yang meminta kerbau dan pedati, bahkan sawah-sawah yang diteruka. Meski dengan itu, aib dan hina tak begitu saja enyah, disesah gunjing tak berkesudah….
Dalam cerpen ini akan sangat terasa betapa tradisi kultural yang berlaku adalah tradisi patrilinial yang sangat menguntungkan dan dimonopoli oleh kaum laki-laki. Lihat sepotong potongan berikut:
Saat itu kain tetoron yang menjadi bukti keperawanan seorang perempuan, tapi tidak seorang laki-laki diletakkan di atas tilam – selayaknya kesucian orang langgekan – lalu dipertontonkan kepada kedua belah pihak sampai tak ada lagi keraguan…
Tradisi lapuk yang uasang inilah yang oleh tokoh Banun dan tokoh Bu Suniar karena dirasa sangat tidak adil dan menindas kaum perempuan. Lihat kutipan berikut:
Ia tahu adat sopan-santun, tak kenal lelah namun juga keras dalam urusan pendirian. Suniar berani berterus terang tentang apa yang ia lihat dan ia rasakan, semisal soal perempuan bunting yang harus membantu suaminya ke sawah-ladang. Ia menyarankan sepenuhnya istirahat; biarlah menggaruh dan menanam sementara ditangani laki-laki…

2.1.2 Kilasan Cerkak ‘Den Mas Margopok.’
Cerkak ‘Den Mas Margapok’ bercerita tentang bagaimana pasangan pengantin yang nyingkur pranatan dan tidak mengindahkan numerology-jawa. Konflik terjadi setelah Margapok (tokoh sentral dan senioritas desa) menunjukan bahwa acara resepsi pernikahan yang berlangsung telah melanggar aturan jawa. lihat kutipan berikut:
Margapok sedhelo-sedhelo nggereng, maedo seng duwe gawe seng jarene nyingkur pranatan, nerak wewaton, ora nguwongake babar pisan…
Numelorogi jawa adalah suatu perhitungan matematis yang menurut Suwardi Endrasworo (2003:19) adalah perhitungan yang menggunakan otak-atik-matuk. Missalnya, perhitungan berdasarkan neptu dan mitos ganjil yang sangat erat dengan pola pikir orang jawa yang tidak bisa dinalar dan irasional namun masih dipercaya oleh orang yang ngaku njawani. Lihat potongan berikut:
Sing dienggo patokan dina pasaran lan dina Neptune penganten loro-lorone. Sing lanang Seloso kliwon. Seloso telu, kliwon wolu, gunggunge suwelas. Penanten wadon lahire Seloso Pon, Seloso telu, Pon pitu, gunggunge sepuluh. Loro-lorone, gunggunge selikur…
Perhitungan yang tidak rasional itu, yang dianut secara temurun itu, terkadang dalam kehidupan orang jawa sangat disakralkan dan tidak jarang merepotkan. Pola pikir yang tidak rasional inilah yang akan ‘dilawan’ oleh tokoh (pasangan mempelai) dalam cerkak DMM.



2.2 Perlawanan Kultural dalam Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan Cerkak ‘Den Mas Margopok’

a. Perlawanan Kultural dalam Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’.
Dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ pelawanan cultural lebih terfokus pada tradisi patrilinal yang didominasi oleh kaum laki-laki. Semua pranata yang melekat pada budaya setempat umumnya dibuat untuk kepentingan laki-laki, tidak terkecuali persaratan dalam sebuah pernikahan. Itulah yang menyebabkan tokoh Banun dan Bu Suniar marah melihat kesewenangan yang diawetkan oleh kaum laki-laki. Lihat potongan berikut:
Ia akan marah besar melihat perempuan yang sakit atau tak enak badan, apalagi menjalani masa nifas dipaksa berkerja sendirian. Suami selalu minta didampingi tak peduli istri hamil besar; tapi giliran istri sakit atau melahirkan suami tak pernah perduli…
b. Perlawan Kultural dalam Cerkak ‘Den Mas Margopok.’
Dalam cerkak ‘Den Mas Margopok’ perlawanan cultural lebih kearah kepercayaan yang dianut orang Jawa secara turun-temurun yang tidak rasional namun, sangat disakralkan oleh sebagian orang jawa yang mengaku njawani. Tradisi numerology dan otak-atik-matuk inilah yang diterak oleh pasangan pengantin yang neptu-nya dipercaya kurang baik dan bisa mendatangkan molo atau musibah.

2.3 Pertalian Tema Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan Cerkak ‘Den Mas Margopok’
Tradisi merupakan pola hidup yang diwariskan antar generasi. Tradisi hidup, dianut, dan berkembang dalam suatu masyarakat sebagai suatu pola yang mengikat masyarakat dalam suatu tatanan yang tunggal dan seragam.
Tuntutan hidup yang selalu bergeser dan berkembang sesuai desa-kala-patra-nya, dihapapkan dengan tradisi yang dianut suatu masyarakat terkadang sering tidak relevan dengan tuntutan zaman. Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan ‘Den Mas Margopok’ adalah sebuah cerita yang menunjukkan ketidakrelevanan suatu pola tradisi yang dianut masyarakat setampat. Sehingga ada (semacam) persamaan dan pertalian tema antara keduanya, yaitu: ‘melawan’ tradisi yang kadaluarsa dan tidak relevan tersebut. Dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ perlawanannya lebih kearah tradisi patrilinial yang lebih menguntungkan pihak laki-laki; sedangkan dalam cerkak ‘Den Mas Margopok’ lebih memfokus pada sistim numerology dan pola otak-atik-matuk sebagai ilmu matematis orang jawa yang tidak rasional namun oleh sebagian orang jawa sangat disakralkan.

BAB III
PENUTUP

Sebuah karya sastra adalah jiplakan realitas yang imajinatif. Di sana fakta bersetubuh dengan fiktif yang membawanya ke sebuah kenikmatan yang otonom dan bebas. Oleh karena itu memahami tiga kode untuk memahami suatu karya sastra yang ‘licin’ dan berlapis, menjadi penting. Dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan cerkak ‘Den Mas Margopok’ kode budaya mempunyai kedudukan yang sentral, karana ada nuansa tradisi yang mencirikan budaya Sumatra Barat dan Budaya Jawa dalam cerita tersebut
Ada dua persamaan yang manunggal dalam cerpen tesebut yaitu: pertalian tema yang menyuguhkan ‘perlawanan’ cultural dari budaya masa yang sudah tidak sesuai dengan desa-kala-patra.



DAFTAR PUSTAKA

Banua, Raudal, Tanjung. Pusaran Lubuk Pengantin. Horison. 2004.
Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa.
Hutomo, Suripan, Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. PT. Gaya Masa.
Rianto, Ismoe. Den Mas Margopok. Jaya Baya. 2005.
Wellek& Warren. 1990. Teori Kesusstraan: Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.

puisi-puisi

sajak-sajak Akhmad Fatoni

Catatan bendera


bendera di tanganku
peluh pertempuran bukit juang

bendera di mulutku
ikrar pati, tanah abadi.

bendera di otakku
angin lalu, sejak pulasnya senjatamu

benderaku menjerit
menyayat jiwa, yang tidur berselimut megah

referensi bangsaku
terjajah batin, kini.

benderaku rapi tumpukan baju

20 Maret 2008
Jaddu

bersemi,
berkembang,
dalam pikiran
tarian tangan; wujudkan hayalan

Kau ajak menari, bayanganku
bersama mentari

termenung aku disenyap pikir
melayang menepis heran

trombosit merongrong keheningan malam
pembuluh takjub sambut kalongkalong

Harta meleleh bersama ujung pati
haru; rasa penuh gemerlap ilmu

seteguk ayat suci tentramkan hati
jiwaku meringgis: takjub

20 Maret 2008
Terompah sunyi


Sedap sunyi menggugah mimpi
Meredupkan malam yang menggambar sepi

pekikan perkutut menatap hidup
meludah keramai dunia
bebaskan jiwa dalam jaga
terbungkam sangkar janji

angin melukis hidup,
mengaroma bau busuk jiwajiwa

bersama fajar menyingsing
keranda maya merubah alam

20 Januari 2007

Samudra rindu

Kicauan kenari meliuk liuk
melambai jiwajiwa kering
laksana buku yang ku baca di meja pagi itu

angin hasrat berbisik
'tuk sekadar campakkan gelombang jiwajiwa suci
Laksana embun pagi itu

Wahai pengguasa malam
bersama angin ku titipkan wahyu
'tuk sekadar pesan menu sarapan pagi

tiada mewah, hanya sekeping kerang yang di rundung sepi
'tuk sekedar mengisi meja pagi ini

6 Januari 2008

Blaka

pernah kita sama-sama susah
terperangkap dingin malam
lubang jalanan
di gilas kaki waktu yang sombong.
terjerat mimpi,,,-!!

Lelah…

rasa panas mentari
sa’at nyaris roda nasip mengiris,,,-!!


Sementara hari tinggalkan tanya: lama aku sendiri
tanpa seorang yang sanggup mengerti,,,-!!


2007

cerpen

Bentuk Kematian Anjing

oleh
Dody Kristianto*


Bangkai anjing itu tergeletak di tengah jalan raya. Anjing jenis herder. Semua kendaraan berusaha menghindari bangkai anjing itu. Situasi jalan sedang ramai. Maklum, pagi hari ketika orang harus pergi ke tempat kerja. Tidak ada satu kendaraan pun yang berani melindas bangkai anjing itu.
Tubuh anjing itu terbelah menjadi dua bagian : bagian kaki ke ekor dan bagian kaki sampai kepala. Pada bagian kaki sampai ekor, tubuh itu telah burai, hancur berkeping-keping sehingga daging anjing itu berceceran. Sudah tak dapat lagi dikenali. Sedangkan bagian kaki sampai kepala masih utuh. Seolah nampak kalau hewan itu hanya tidur. Tidak ada sesuatu yang terjadi padanya.
Lidahnya nampak merah muda menjulur. Taring-taringnya masih terlihat utuh walau sedikit kekuningan. Tatapan matanya tampak mengarah ke depan. Kosong. Tapi sedikit terasa aneh, karena sepasang bola mata hewan itu seperti menyimpan sebuah dunia. Dunia yang dilihat dan ada dalam pikirannya.
Lalat-lalat pun berkerumun di bagian belakang bangkai anjing. Hewan-hewan kecil itu tampak menari menikmati daging segar yang berserakan. Bau bangkai itu masih segar. Tidak anyir seperti lazimnya bangkai tikus yang biasa tergeletak di sembarang tempat. Kesegaran daging bangkai anjing itu tentu menarik sebagian pengguna jalan. Walau sebisa mungkin mereka menghindar dari tumpukan daging itu, mereka tidak bisa menyembunyikan ketertarikan mereka pada pemandangan langka tersebut.
Waktu hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Tak ada yang berani menyentuh bangkai anjing itu. Bahkan kendaraan-kendaraan yang melintas sebisa mungkin tidak menginjak dan membuat keburaian bangkai itu bertambah parah. Lalat-lalat masih terlihat mengerubungi bagian belakang bangkai anjing.
***
Pukul 8 pagi. Polisi mulai mengevakuasi bangkai anjing itu. Karena satu jam sebelumnya, jalanan dibuat macet karena bangkai yang tergeletak di tengah jalan. Evakuasi tentunya tambah memadatkan jalan. Bahkan tak jarang polisi harus mengatur arus lalu lintas. Sementara tim yang lain mengangkat bangkai anjing itu. Dua polisi yang menangani bangkai itu.
Bagian depan, kaki ke kepala bias terangkat dengan mudah. Tapi untuk bagian belakang, kaki ke ekor, mereka harus melakukannya dengan teliti dan hati-hati. Sebab bagian itu sudah berupa ceceran daging dan bercak-bercak darah yang mulai mengering. Ceceran daging harus dibersihkan dari aspal jalan agar tidak meninggalkan bau anyir menyengat yang bisa mengganggu pengguna jalan.
Sekitar satu jam evakuasi itu berlangsung. Polisi mulai meninggalkan lokasi tergeletaknya bangkai anjing itu. Lalu lintas sudah mulai lancar. Tentu noda bercak darah masih tertinggal di aspal jalan. Lalat-lalat kini berebut mengerubungi bercak darah yang mulai mengering.
Sementara, bangkai anjing itu berada di atas mobil polisi. Polisi menumpuk dua bagian yang terpisah itu. Bagian yang telah hancur di bawah dan yang masih utuh di atasnya. Tatapan mata bangkai itu masih menatap kuat. Masih tetap kosong. Seakan mata itu sulit dipejamkan. Tatapan itu seperti menyimpan sebuah dendam.
***
Seperti anjing-anjing yang biasa berseliweran di daerah itu, anjing itu pun tidak terlalu terlihat istimewa. Ia juga melakukan rutinitas seperti anjing jalanan yang lain. Mengais makanan sisa di tempat sampah, terkadang berkelahi memperebutkan makanan atau pasangan, juga bersetubuh dengan anjing betina di sembarang tempat. Sampai akhirnya mencari tempat untuik berteduh.
Yang membedakan ia dengan anjing-anjing yang lain adalah ia bertubuh lebih besar. Bulunya sedikit berwarna gelap. Kendati demikian, hal tersebut tak lantas membuat anjing-anjing lain takut padanya. Sebab ia bukanlah anjing yang tumbuh besar di jalanan. Ia sebenarnya anjing penjaga rumah.
Anjing dulu mempunyai seorang majikan. Majikan yang sangat baik dan menyayanginya. Semenjak kecil anjing itu dirawat dan tinggal bersama dengan keluarga si majikan. Anak-anak si majikan kerap bermain dengan anjing itu. Anjing itu menjadi bagian dari keluarga itu.
Sang majikan setiap pagi dan sore selalu mengajaknya berkeliling kampung. Anjing itu melangkah gagah, seolah tak memperhatikan sorot tajam anjing lain yang tertuju padanya. Pada setiap malam, anjing itu juga sigap menggonggong pada setiap gerak-gerik mencurigakan yang ia tangkap di sekitar rumah sang majikan. Gonggongan yang sangat memekakkan telinga.
Namun, anjing itu menangkap bentuk aneh suatu ketika. Bentuk bayangan putih berbau menusuk. Bentuk bayangan putih itu membelah angin, memerosok ke dalam pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik. Suara yang mungkin akan membangkitkan orang-orang yang tertidur. Tapi anehnya, tak ada orang yang terbangun. Pun hewan-hewan yang berada di sekitar bayangan putih itu. Hanya anjing itu yang tahu. Hanya anjing itu. Anjing itu pun menggonggong sebagai wujud rasa penasaran terhadap bentuk aneh tersebut.
Bentuk bayangan aneh acapkali berkelebat di hadapan anjing itu. Sehingga hanay anjing itu yang mengakrabi bentuk aneh tersebut. Si majikan juga bingung dengan perubahan yang terjadi pada anjingnya. Saat si majikan melihat anjingnya menggonggong, ia menatap tak ada sesuatu di depan. Sesuatu yang kerap digonggongi oleh anjingnya.
Kebiasaan si anjing yang menggonggong tanpa sebab mengakibatkan bising dalam keluarga itu. Tak hanya keluarga itu, namun juga rumah di sekitar keluaraga itu. Mereka semua dibuat jengkel. Lama-lama sang majikan tak tahan juga. Diusirnya anjing yang sudah beberapa tahun mereka pelihara. Mereka merasa jika anjing itu sudah gila.
Anjing itu tak peduli. Ia tetap menggonggongi bayangan putih yang kerap melintas tiba-tiba di depannya. Lemparan sandal, sepatu maupun batu yang dilakukan orang-orang padanya tidak digubris. Hanya bayangan putih. Hanya bayangan aneh itu yang selalu mengganggu otaknya. Ia sampai menggonggong berhari-hari hanya karena rasa ingin tahu.
Suatu malam, anjing yang sedang tidur di bawah emperan toko itu dikejutkan oleh bayangan putih. Entah untuk keberapa kali. Anjing itu pun tergeragap. Ia terbangun karena bau menusuk yang ditimbulkan oleh bayangan aneh. Hewan itu mulai mengejar bayangan putih. Situasinya benar-benar mirip ketika si majikan melempar tulang dan anjing itu harus mengejarnya. Tapi yang dikejar saat itu bukan tulang. Yang dikejarnya adalah bayangan putih. Ia berusaha mendekap bayangan itu.
Sampai beberapa meter jauhnya, anjing itu tidak merasa bila ia telah mengejar bayangan putih hingga jalan raya. Jalan raya yang terlihat sepi. Hanya anjing itu berlari sendirian. Tiba-tiba dari arah selatan muncul truk tronton yang melaju kencang. Pengemudinya merasa tidak melihat apapun di depan. Sedang anjing penasaran itu akhirnya bias merengkuh bayangan aneh. Kakinya mencakar-cakar. Moncongnya menggigit. Ia mempermainkan sesuatu yang selama ini membuatnya penasaran. Ia melakukannya di tengah jalan raya yang sepi.
Dan tabrakan akhirnya 5tak terelakkan. Anjing itu terlindas, tepatnya di bgian belakang. Seketika ia melolong. Tubuhnya terbelah. Bagian belakang hancur lebur. Daging-daging berloncatan. Sedang bagian depannya masih utuh. Cakar anjing itu masih berusaha mengais bayangan putih yang perlahan lepas dari dekapannya. Lidahnya menjulur seolah merasakan sakit yang ia rasakan. Kakinya masih terlihat bergerak dengan interval yang mulai melambat. Sementara bayangan aneh itu makin bergegas jauh. Begitu juga dengan truk yang telah melindas bagian bagian belakang tubuhnya. Anjing itu akhirnya terdiam dengan tubuh yang terbelah jadi dua bagian. Sedangkan cuilan daging-daging segar berceceran di tengah jalan.
***
Pihak kepolisian memutuskan untuk mengubur bangkai hewan malang itu di halaman kosong. Sebuah area berjarak beberapa meter dari kantor kepolisian. Bagian tubuh yang hancur dibungkus dengan tas plastic. Sedangkan bagian tubuhnya yang masih utuh dibiarkan. Lubang berukuran 1x1 meter disiapkan, dengan kedalaman kira-kira semester juga. Kedalaman yang kiranya cukup untuk menutup bau bangkai yang menyengat.
Bagian belakangnya yang hancur ditaruh terlebih dulu. Baru setelah itu bagian yang masih utuh. Tatapan mata bangkai anjing itu masih tetap tajam. Ia menatap bayangan putih yang membuatnya penasaran. Dunia disekitarnya berubah menjadi bayangan putih. Bayangan yang mengelilinginya, sesaat sebelum bangkainya dipendam di dalam tanah.

*) Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Aktif di Komunitas Rabo Sore (KRS).

puisi-puisi cinta

sajak-sajak cinta Akhmad Fatoni

sembilan ayat-ayat cinta

sejak aku memilih jatuh cinta
nyawaku pun sudah berpuasa
dan aku pun telah menyatukan
dirimu dalam degup jantung dan hembus nafasku


1.
- mata yang indah

untuk melihat, mataku
sebab matamu ku temukan
sebuah pulau impian
yang kupilih untuk hidup bersamamu


2.
- senyuman

selalu membuat aku bingung: melihat,
mengingat, atau menyimpan
memiliki dan mengabadi
seperti wajahmu yang mencuri tiap waktuku

masa-masa itu membuat ragu
seperti hidup enggan, mati pun tak mau.


3.
- merah

rambut panjang, ceria, dan yang
penting dia manis, suka mencuri
mencuri ketenanganku.

aku memilih warna yang cerah,
dimana tumbuh keinginanku
sebab aku telah menunggu putih
yang datang memcium pipiku
sebab ia lebih memilih percaya
dengan ungkapan temannya daripada suara bisikan kalbunya


4.
- memo pertama

ke dalam airmataku, aku bertemu
melalui barisan kata-kata

aku sungguh gugub, juga bahagia
engkau berkata: tentang dosa,
-bukan pada tuhan- cintaku,
aku faham perangaimu
walau menyebut nama dan ingin menebus dosa
juga membalas jasa

di hatiku, engkau tahu
tetapi sungguh ak ragu dengan kata-katamu

"merasa salah, tak berdaya!"

aku pun kau rayu

aku ragu
walau harummu mencuri tidurku

-memo kedua

engkau membuka pintu
mencuri kata, memutar fakta

suatu kenangang terungkap
bagai rintik hujan yang terjatuh

tak terlewat
pas, mengenai lapisan tanah yang mulai basah.
mulai kering dan kerontang

angin berhembus
membawa kabar
yang menerbangkan aku

senja memang indah
ingin juga memilikinya
aku pun menuggu diruang tunggu

pada sepasang merpati
yang kau kirim
aku pun tak memberi pelukan
aku melepasnya

5.
-pembalasan

perjalanan terasa penuh duri
bagai siksa panas berapi
engkau pun mengirim kalimat yang melarungkan sepi
mengekalkan luka,
dengan menulisnya,
sebab engkau rupa-rupa dusta

terima kasih, catatan ini membuatku
lahir kembali setelah mati suri
sebab jiwaku tersesat
pada belantara gelappekat

6.
- boneka bunga waru

aku ingin menjadi mimpi
untuk memenuhi setiap tidurmu.

hatiku telah letih
sebab engkau menanamkan perih
dan pepohon luka

tetapi engkau pernah lupa
pada ladang dusta yang kau pilih

itulah aku, putih seputih airmata
tuhan, yang sempat engkau kerdili

cuaca ini telah mengerti
membawaku pada ruang
rapat yang sunyi dan sepekat angan

diam-diam hujan menyadarkanku
dari lamunan,
dan akupun menyatukan jemari daun-daun kasihku

7.
- putih

aku kembali
pada mimpi
sebab wajahmu tumbuh dalam
daunku.
mengetarkan jiwaku

aku mengira
fajar subuh masih kelabu
tapi aku terlanjur terlena
pada manis senyummu

8.
- penderitaan

robeknya kesadaranku mengalirkan
kehidupan baru, mengenali derita
dan memecahkan biji jiwaku

perlahan, perubahan terjadi
walau ragu tapi saling mengisi
namun engkau terlalu panas
hingga engkau lebih memilih membakar
jiwaku dengan senyumanmu

9.
-benang merah

musim pasang terjadi-memperkaya cinta-untk bersama
membunuh waktu
mengisi kosong dan menutupi getir luka
hartamu membisik "tidak"
penuh hasrat
katamu membangun candi-candi semangat
dan membentuk singgasana bahagia

perjalan cintaku
(2005-2008)



keraguan
:venny aisyah

bunga akan selau indah
disukai tiap wanita
namun engkau mawar
penuh duri
menusuk jasadku, hingga
aku tak mampu memetikmu

boneka, selalu lucu
memecahkan kesunyian dalam sepiku
selucu senyummu
tatkala fajar harapan
memperkenalkanku dengan matamu]

biarlah aku berbaring
karena jiwamu berhias duka
namun daku jiwa derita
tidak.tidak.
aku tidak mengucap selamat tinggal
hingga satapku
tak mampu mengajakmu terbang

tenanglah, aku kumbang
kan menyucup madu cintamu
dengarlah
bahasa jiwaku, mengisahkan perdu
sebab segalanya untukku.

(2008


murka kekasihku
: untuk venny yang kesekian kali

di dalam hasratku, ada ketulusan
kerinduan yang memancar sinar
terang yang merubah gelap

engaku tak tahu
bukan tak pernah tau penderitaanku
mempersekutukan dengan nyawaku

seandainya engkau tahu
isi dari ruang yang aku miliki
yang menampung jejak waktu

sediktnya tak pernah melupakanmu
namun engkau tak tampak
hanya berupa kabut di hatimu

dahagaku, terpuaskan
menatapkan cinta bukan semata
perkembangbiakan nafsu

aku ingin
engkau bahagia
bukan seperti ini,

percayalah, aku pasti kembali
dengan menyatukan hati keabadian
antara aku dan dirimu

(2008)



cinta bagiku
:hanya untuk venny

cinta yang indah
kupetik dari tangkai senyummu
menyegarkan ladang jiwaku

cinta kita
dihiasi tangis, tetapi bukan keterasingan
membuatnya bercahaya terang nan indah

dan aku, merasa damai
tatkala jemari kasihmu
memerhati lekuk-lekuk sunyiku

engkau burung jelita
yang kutangkap untuk ku kasihi
bukan untuk aku sakiti
hingga saban malam, kunyanyikan
melodi cinta yang belum pernah kau dengar
yang melahirkan bisikan bisu
di dalam dadamu


setiap sajakku adalah irama yang kau pilih
yang kujadikan tembang dalam kehidupan

jiwamu adalah sumber ketenangan bagiku
sebab darimu aku
bisa memadukan derita dan bahagia

(2008)