Sunday 7 December 2008

esai dadang ari murtono

Jaka Tarub dan Dunia Kutukan Penyair

Ini bukan sebuah dongeng. Percayalah. Juga bukan esai yang indah. Saya hanya hendak mengatakan bahwa pada suatu ketika (kebenaran kisah ini pun sebenarnya saya juga tidak begitu yakin, tapi ini tidak akan terlalu penting) seorang pemuda berjalan dalam gerimis rinai, pelangi melengkung hingga ujung-ujungnya tenggelam dalam sebuah danau yang dikitari pohon-pohon, semak dan perdu lebat. Tentu saja dalam cerita-cerita seperti ini, akan ada 7 bidadari yang turun dari surga melalui pelangi itu dan mandi dengan riang di tepian danau. Dan tentu saja mereka akan melepas seluruh pakaian termasuk selendang yang konon bisa membuat mereka melewati pelangi itu dan sekali lagi, tentu saja (betapa kita sebenarnya telah sanggup menebak alur kisah seperti ini) pemuda itu secara tidak sengaja akan sampai di danau itu atau paling tidak berjalan dalam jarak yang tidak terlalu jauh sehingga suara kecipak dan renyah tawa bidadari-bidadari itu akan dapat terdengar. Sebab di sana tidak ada papan peringatan bertuliskan “Dilarang melihat, ada 7 bidadari sedang mandi” dan juga tidak pernah ada fatwa atau ajaran yang mengharamkan seseorang berjalan di sekitar danau ketika gerimis (untuk kasus pemuda ini, marilah kita kesampingkan apa yang dicarinya dengan berjalan-jalan di luar ketika gerimis) maka dia pun dengan rasa penasaran mendekat dan menyaksikan betapa cantiknya bidadari-bidadari tersebut. Dan persis seperti yang anda bayangkan, dia, yang kemudian kita kenal dengan nama Jaka Tarub, jatuh hati kepada bidadari-bidadari itu, menyembunyikan salah satu selendang yang ada di sana dan saat gerimis reda, pelangi sudah semakin samar, bidadari-bidadari yang harus buru-buru kembali ke surga akan menangis melihat selendang salah satu dari mereka hilang yang artinya dia tidak akan bisa pulang ke surga. Namun mereka tidak sempat lagi membantu mencari. Garis-garis pelangi semakin tipis dan dengan sedih perih mereka meninggalkan saudarinya yang terisak sendirian. Dan Jaka Tarub akan mendadak muncul, menanyakan mengapa menangis, menawarinya makanan dan tempat menginap hingga akhirnya setelah berselang beberapa waktu, menikahlah mereka berdua.
Dan dimulailah hari-hari bahagia yang tak lama sebab kemudian dengan tidak sengaja, bidadari tersebut menemukan selendang yang disembunyikan Jaka Tarub dalam lumbung padi. Dan dengan bahagia dia akan segera terbang ketika pelangi melengkung dalam gerimis rinai, bertemu saudari-saudarinya di surga. Meninggalkan dan melupakan Jaka Tarub yang sejak itu tak pernah lagi bisa tidur dengan nyenyak, yang segera berubah linglung oleh rindu dendam tak terperi. Sebuah taraf gelisah yang luar biasa pada tingkat yagn sukar dijelaskan.

Apa yang hendak saya sampaikan sebenarnya? Saya tidak bercerita tentang pembuangan Adam Hawa ke dunia, meninggalkan segala kenikmatan untuk merasakan derita, kegelisahan dan segala tetek bengek duniawi. Bagi saya, Adam dengan sengaja dan kesadaran penuh telah melanggar larangan Tuhan. Bukankah Tuhan telah menjelaskan untuk tidak memakan Kuldi? Sudah ada fatwa, sudah ada papan peringatan. Maka sudah sewajarnya dia lepas ketenangan untuk masuk dunia pembuangan. Dan masuk dunia pembuangan, dunia penuh kegelisahan, dunia yang senantiasa membuat meracau, bergumam dengan bahasa-bahasa aneh, symbol atau teriakan terang benderang di siang hari, dunia yang mencegah untuk tertidur, sekali lagi, dunia kutukan ini juga dialami oleh seseorang bernama Jaka Tarub.
Betapa tidak ada kesengajaan dalam kasus ini. Siapa yang melarang seseorang berjalan di pinggir danau? Siapa yang memperingatkannya agar tidak mengintip ke sana? Maka bukan salahnya ketika terpampang kecantikan nyaris sempurna di hadapannya, tak ada satu kuasa yang mampu mencegahnya untuk berusaha menyimpannya. Namun sayang, Jaka Tarub tak pernah siap dengan apa yang mungkin terjadi, dia tidak siap ketika Nawang Wulan (nama bidadari itu) akhirnya menemukan selendang yang disembunyikan dan segera pergi. Dia gagap menerima hal semacam itu sehingga yang tersisa hanyalah rindu tak tertahan, kegelisahan yang membuatnya melamun, menggumam. Segala sesuatu yang membuatnya tak tenang, datang begitu cepat dan menemaninya sampai mati dalam keadaan yang sama, linglung penuh rindu dendam kepada Nawang Wulan, keindahan nyaris sempurna, setetes surga yang lolos ke dunia.

Saya menangkap 3 episode besar dalam kehidupan Jaka Tarub: ketenangan, kebahagiaan, kegelisahan. Dia tenang, tidak mempunyai pikiran yang nganeh-nganehi sebelum bertemu dengan Nawang Wulan. Lalu dia mengalami kebahagiaan yang sangat ketika dapat menikah dengan Nawang Wulan. Dan kegelisahan, tentu saja seperti yang telah saya singgung dalam paragrap-paragrap di atas, dialaminya setelah Nawang Wulan kembali ke surga.
Pada tahap kegelisahan ini, hal yang ingin saya tekankan, saya membayangkan apa yang dilakukan Jaka Tarub? Saya tidak sempat (baca: tidak ingin) melakukan survey atau penelitian, saya mengandaikan menjadi Jaka Tarub, dengan kapasitas dan segala yang ada pada diri saya yang pas-pasan ini. Setelah tahu betapa nikmat dan indahnya sedikit sekali potongan surga, mungkin saya akan melamun, membayangkannya kemudian berpikir untuk mencipta hal semacam itu bahkan kalau bisa lebih indah. Dan hari-hari di sisa hidup saya hanya akan habis untuk untuk hal itu. Kemungkinan besar saya akan cenderung tidak peduli dengan lingkungan social dan hal-hal lain yang bersifat keduniawian atau materialisme, sibuk dengan diri sendiri, dan kecamuk pikiran. Dan ini sangat berat
Sekali lagi, sebagai seseorang yang telah melihat bahkan merasakan surga, saya menanggung beban yang lebih dari orang lain. Ketika orang-orang hanya berfikir tentang, katakanlah, sekolah, cari kerja, menikah, punya anak, mati, selesai, sedangkan saya dengan pengalaman seluar biasa itu, dapatkah mengalami fase-fase seperti orang-orang “normal”? Saya rasa tidak. Secara tiba-tiba muncul fase lain yang mendominasi seluruh fase kehidupan normal saya. Ini mungkin semacam fase kutukan dan saya menyebutnya fase kegelisahan. Dan saya tahu, ini akan berlangsung begitu lama bahkan mungkin sampai saya mati.
Menghadapi hal-hal menakutkan ini, saya yang mengandaikan diri menjadi Jaka Tarub sesekali ketika kegelisahan, kecamuk pikiran, menggelegak mendesak dan rasa-rasanya perlu sedikit istirahat sebelum berpacu kembali dengan kutukan, akan cenderung singgah di kedai-kedai arak, mencicip sedikit dan keluar kembali untuk segera berlari, bergumul dengan ide-ide dan upaya penghadiran keindahan-kenikmatan surga. Menemukan pencerahan-pencerahan atau kalau segala istilah itu terlalu muluk dan terkesan sombong, maka saya gunakan memberikan sesuatu kepada nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan dan nilai-nilai luhur kehidupan berdasarkan visi luar biasa tentang surga, sebuah semesta kehidupan ideal yang telah saya lihat.
Saya rasa ini wajar, bukankah beban pikiran sedemikian berat tidak diberikan Tuhan kepada setiap orang? Maka tidak ada yang salah dengan sekedar singgah minum di kedai arak untuk kemudian pergi lagi, atau kalau menurut anda ini hanya sebuah pembenaran dari kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan, maka anda bisa menganggap paragrap-paragrap terakhir ini tidak ada.

Akhirnya saya kembali, saya bukan lagi Jaka Tarub. Saya kembali menjadi anak muda yang gagap yang dengan tidak sengaja (karena tidak ada larangan atau fatwa yang mencegah untuk membaca puisi) dengan bersemangat menikmati ketersesatan di surga puisi. Secara tidak sengaja saya tinggalkan dunia lengang dulu, dunia adem ayem tanpa gemerisik dan keretak pikiran yang aneh-anehi. Saya benar-benar bahagia di belantara puisi ini sampai suatu saat, saya merasa ada yang hilang. Ada sesuatu dalam diri saya yang ingin keluar dan tidak lagi bisa dijumpai di puisi-puisi tulisan orang lain yang selama ini saya baca dan pernah membuat saya merasakan kenikmatan luar biasa ini. Saya harus menulisnya, saya harus menemukannya sendiri. Dan sejak itu senantiasa ada kegelisahan, semacam kutukan Jaka Tarub.
Tapi hey…saya sudah bukan Jaka Tarub. Jadi sebelum saya jadi Jaka Tarub lagi, kita akhiri saja esai ini sampai di sini dan percayalah ini hanya catatan iseng kecil dari seseorang yang tidak bisa tidur sebab gelisah-gelisah yang tak mau pergi. Eh…sepertinya ini akan mengarah lagi kepada Jaka Tarub. Maaf…maaf.

Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

No comments:

Post a Comment