tomat
ini dunia luas sayangku malang
hanya saja tak pernah terbayang
ini jalan teramat lempang
hanya saja kita tak mampu menerawang
ini merah semanis darah
hanya saja tak ada yang berani memamah
ini air teramat segar
hanya saja kita tak cukup sabar
blue jeans
di luar padang biru ini sebenarnya
terserak kisah cinta kita
di serat kaku ini sebenarnya
melumut waktu pada angka-angka
di nyeri garis bekas lipatan ini sebenarnya
tersimpan sajak liris tak terbaca
di ujung retsleting ini sebenarnya
tergeletak berjuta makna begitu saja
siput
cangkang keras berkapur ini
sanggup meredam letup birahi
lubang kecil yang jarang terlihat ini
malu-malu bagai rahim perawan suci
danging kenyal halus ini
menjulur mengulur seperti mimpi
lelehan lendir amis ini
sampai juga ke kamar sepi
langkah lambat menyeret ini
serupa orgasme semu suatu pagi
nisan
lelah jalan-jalan panjang
seperti tak pernah usai membentang
kadangkala tubuh remuk redam ini
ingin kuistirahatkan di tempat-tempat sunyi
tidur nyenyak
kepadamu tak berjarak
dan barangkali tonggak beku kaku
sanggup menulis sebait puisi bisu`
tari kembang
gegap gempita sorak sorai gelanggang
mengundang roh-roh melayang
ini pencak dengan gendang
hari beranjak susut terang
sebelum hitam semakin pekat
baiknya dibasuh mantra dan jimat
lalu mulai ritual jalang
kepadamu nenek moyang
tangan terkepal
segenap penjuru dirapal
setelahnya hanya ada auman
orang-orang kesurupan
album semut
seperti apa keluarga
yang tak henti kita reka
merayap bersama sepanjang dinding
dan mengangkut remah roti kering
atau bergerombol kasak-kusuk
membicarakan sebait puisi suntuk
yang tak ada pada kita
mungkin cinta
hanya serombongan basa-basi
yang kadangkala menyinggung bunuh diri
semar
lihatlah tubuh bungkuk penuh getar
suaranya dalam dari tempat samar
"aku tahu segenap pengetahuan
aku tahu masa lalu dan masa depan"
memang kemudian orang-orang berdatangan
penuh lelaku dan bikin gunungan
dan ramayan juga mahabharata
adalah apa yang sengaja diangankannya
"siapa butuh tuhan siapa butuh tuhan"
suara-suara buruk seperti dalam pasar hewan
kau tentu kenal siapa itu
pandawa dan orang-orang seperti kerbau
pelancong tolol
menurutmu tempat-tempat asing jauh
hanyalah sebentuk keluh-jenuh
menurutmu banyak hal dibuat
hanyalah teriak sumbang penjual obat
menurutmu kata-kata aneh yang mulai tumbuh
hanyalah genit yang sebentar lagi luluh
menurutmu dompol-matang-segar ini
hanyalah sepotong lontong basi
mungkin kacamata hitam yang tak pernah
kau lepas itu
menghalangimu melihat artefak prasejarah
dalam dirimu
ramaparasu
di suatu ketika
setelah arjuna sasrabahu muksa di depannya
dia menerawang masa depan yang jauh
masa depan yang hanya berisi keluh
seperti apakah sunyi-sepi-sendiri
seperti apakah mati
dan kemenangan yang pernah dinanti
kemenangan yang membuat abadi
hanyalah sesal
dari kaki yang pegal
“sudah tak ada yang bisa dilihat
sudah kusesap semua nikmat”
samar, seperti guman isroil yang berat
“hanya akhirat”
entah kenapa dia menangis
dengan isak yang miris
arimbi
ternyata waktu hanyalah aroma yang tersisa
dari gemeretak abu pembakaran wanamarta
dan ingatan yang sengaja kita jaga
ingatan tentang kota-kota maya
lambat laun leleh juga
mencipta bekas yang lekas tiada
lalu kau bertanya tentang keabadian
garis cerlang yang tak akan padam
:mungkin laki-laki buangan dari astina
yang mencabut segala nyawa
dan meniupnya dengan desah tertahan
dalam rahimku, rahim dewi hutan
juga aku yang dengan birahi purba
terlentang telanjang di selempeng mantra
merasakan kekar otot-otot itu
melesakkan ekstase dalam tubuhku
dan menjaganya sebagai anak turun pandhu
yang telah memusnahkan pepohon dan peperdu
dan pringgondani?
“ternyata hanya kau dan lelaki itu, arimbi”
nun di permulaan
dari sini dulu, dia menampung, alang-alang, belalang,
juga kunang-kunang
mungkin bahkan yang tak ada belum tercipta
entah semesta berupa apa
lalu belukar rimbun mengulur dari sesuatu seperti mulut
dibiarkannya akar-akar itu merambat
mencicip segala yang belum tereka
dan dua kembara rapuh menumbuhkan daun-daun, embun
dan hening yang samun
dirangkainya gelembung-gelembung besar warna warni
ditiupnya segala yang akan tumbuh, yang telah menjalar
yang akan bergema dan telah melangkah ke dalamnya
gelembung milyaran tahun
gelembung gelombang melayang di luar kata yang terapung
lalu diajarkannya bagaimana merangkum ingatan
seperti perahu besar
seperti nun di permulaan
setelah begitu banyak yang menebak wujud penuh ragu dan rindu
setelah kapal dengan bendera bergambar noktah-satu buah-mewujud
maka gelembung berderak dan berdetak seperti akhir
riwayat lonjong telur ayam,
seperti awal ciap anak unggas itu mengais lubang
kemudian-mungkin-semuanya berlaku seperti yang telah disepakati
triliunan kata berlinangan dan berdentam
memenuhi setiap apa-apa yang bahkan sebelumnya tak pernah ada
setelah itu kita terbangun di suatu pagi
mencoba menyusun kembali ribuan titik
yang pernah berkumpul di sebuah bendera kapal besar
ada yang menggambar ular, kelamin, apel
juga taman tempat ayah ibu mengeja ketelanjangan
pertama kali
dan tak lebih dari itu
sementara di kejauhan, sesuatu yang luput
dari catatan, terus mengenang gelembung dan akar-akar
seperti nun di permulaan
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto 28 maret 1984. saat ini tinggal di Mojokerto.
no hp 085648693352, email vega97venus@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment