Sunday 7 December 2008

esai dadang ari murtono

Gajah itu bernama puisi

Ada sebuah anekdot yang saya yakin sebagian besar dari kita . kalau menyebut semua dari kita terlalu berlebihan, pernah mendengarnya namun untuk lebih baiknya dengan segenap hati akan saya ceritakan kembali. Beberapa orang buta yang sebelumnya tidak pernah tahu deskripsi tentang gajah diminta untuk meraba tubuh gajah dari beberapa bagian tubuh gajah yang berbeda dan setelah itu diminta untuk menceritakan gambaran tentang hewan raksasa itu berdasarkan hasil rabaan tersebut. Apa yang terjadi kemudian? Apa yang kemudian digambarkan oleh orang-orang buta itu? Tentu saja kita dengan mudah menduga apa hasilnya. Orang buta yang memegang belalai gajah mengatakan bahwa gajah itu ternyata kenyal dan panjang. Yang memegang kuping gajah mengatakan bahwa gajah itu tipis dan lebar. Yang memegang perut gajah mengatakan besar dan keras. Begitu juga orang-orang yang meraba bagian tubuh lainnya, semua menggambarkan bahwa gajah itu sesuai dengan hasil rabaan mereka.
Dari gambaran anekdot di atas ada hal menarik yang bisa kita ambil bahwa dari sebuah objek yang sama bisa didapat beberapa presepsi pengertian atau deskripsi atau dalam konteks karangan ini lebih tepat kita menyebutnya makna dan makna yang didapat tersebut sangat tergantung dari individu-individu yang dengan bersusah payah dengan kebutaan yang hendak ditepis dengan jalan meraba-raba berusaha merengkuh makna tersebut. Dan saya rasa makna apapun yang kemudian masuk atau berhasil dimasukkan oleh individu-individu tersebut tidaklah salah. Jadi ketika orang-orang tersebut mengatakan gajah itu panjang, gajah itu lebar, gajah itu bulat dsb. Maka itu adalah kebenaran bagi mereka saat itu sesuai dengan hasil rabaan yang mereka lakukan, namun jangan pula diabaikan bahwa makna yang mereka dapat itu bisa berubah setelah satu minggu, satu bulan atau bahkan satu menit kemudian ketika mereka melakukan perabaan di daerah bagian tubuh lain dalam usaha mencari pengertian atau makna lain dari gajah tersebut sehingga mungkin pada sebuah titik ketika sebagian besar bahkan semua bagian tubuh gajah itu telah mereka raba dan berhasil digambarkan. Mereka akan mendapat sebuah deskripsi utuh bagaimana wujud gajah sebenarnya walau sangat mungkin tidak akan sama dengan kenyataannya. Dan bagi saya itu bukanlah masalah besar dalam hubungan dengan tulisan ini nantinya.
Sebelum pembahasan tentang gajah ini berlarut-larut hingga menjurus ke ilmu anatomi, alangkah baiknya kalau kita jeda sebentar dan mencoba menengok ke diskusi (lebih tepatnya obrolan warung kopi) antara saya dan seorang rekan beberapa waktu lalu. Kami membahas sebuah puisi dan mencoba mengungkap makna yang kami dapat. (dan kebetulan kami berbeda pendapat tentang makna yang didapat) dari puisi itu. Entah dimana mulanya rekan saya kemudian mengemukakan sebuah pendapat yang katanya berasal dari Heraklitos tentang metaphor sungai dan konsep living from dari Susane K Langer. Mungkin perlu saya sampaikan di sini bahwa yang akan menjadi titik persoalan adalah dua konsep yang dikutip rekan saya tadi dan bukan pada puisi yang kami bahas sehingga saya pikir tidaklah penting dan tidak akan berarti apa-apa jika saya menyebut judul apalagi mengutip utuh puisi-puisi tersebut selain hanya akan menghabiskan ruang kertas saja.
Yang pertama adalah konsep dari Heraklitos tentang metafora sungai menurut rekan saya yang telah membawa konsep tersebut. Seni, dalam hal ini puisi itu seperti sungai. Air yang mengalir melalui sungai tersebut adalah air yang selalu baru, bukan air yang kita lihat kemarin. Jadi seni pun seperti itu, selalu menghadirkan makna baru dari sebuah puisi yang sama. Bukan makna yang sama seperti yang kita dapatkan ketika ketika kita membacanya kemarin. Selalu ada makna baru setiap kali kita membaca ulang puisi tersebut, dan makna tersebut tidaklah sama. Ah…saya merinding mendengar uraian singkat rekan saya. Betapa susahnya menulis puisi itu, berapa banyak makna yang dikandung oleh sebuah puisi. Ah…bagaimanakah nasib sebuah puisi yang tidak dapat memenuhi konsep seperti itu. Sebelum rasa ngeri saya hilang, rekan saya meneruskan teori kedua yang menurutnya berasal dari Susane K Langer tentang Living Form. Saya juga belum membacanya, betapa bodoh dan tertinggalnya pengetahuan saya. Dia mengatakan (sebenarnya sangat mirip bahkan mungkin sama dengan Heraklitos) bahwa seni yang baik itu harus bisa menghadirkan makna baru bagi pembacanya. Saya bertambah merinding membayangkannya. Setelah rasa merinding ini berkurang, saya berfikir alangkah indah sebenarnya teori ini. Saya membayangkan betapa luar biasanya teks yang merupakan organisme hidup itu mengejewantahkan dirinya, mencipta ulang dirinya secara berbeda-beda dan selalu baru di hadapan pembacanya. Dan pembaca yang senantiasa menemu wujud (makna) baru teks tersebut bukan hanya pembaca-pembaca yang berbeda namun bisa juga pembaca yang sama. Seorang pembaca yang tiap kali berhadap-hadapan dengan sebuah teks mambpu menemu wujud yang berbeda. Ah…alangkah luar biasa dan menakjubkannya. Dan saya bertanya-tanya, puisi serupa apakah yang mampu seperti itu. Pengarang manakah yang bisa menghasilkan karya seperti itu.
Saya selalu percaya (paling tidak sampai saat tulisan ini dibuat) bahwa puisi bukan hanya sekumpulan kata-kata manis dan indah. Dia adalah organisme hidup yang mempunyai daya untuk melakukan sesuatu bagi peradaban dan kemanusiaan, dia bisa menjadi kontrol sosial, pengingat penguasa ketika rakyat mulai terabaikan, air pembasuh yang mampu melunturkan nilai-nilai yang mencemari kemanusiaan, dan juga pemandu kemana kita harus melangkah. Dia bisa melakukan hal-hal besar tersebut walaupun tentu saja tidak adil bagi puisi ketika kita menuntut dia harus melakukan hal tersebut. Puisi bisa, bersama disiplin ilmu dan pengetahuan lain, melakukannya namun juga tidak menjadi persoalan ketika dia tidak hendak melakukannya. Puisi (dan penyair ketika dalam proses penciptaannya) berhak memilih dan tak ada yang bisa mengganggu gugat pilihan itu.
Dengan keyakinan sebesar dan semuluk itu tentang puisi, tak urung saya terhenyak dan merasa betapa kerdil keyakinan itu ketika berhadapan dengan konsep sedahsyat Living Form dan metafor sungai tersebut. Betapa jauh lebih perkasanya puisi dari yang pernah saya bayangkan dalam hal makna serupa pernyataan itu yang pasti akan merembet juga ke wilayah kemampuan dan tugas puisi selanjutnya.
Ah…namun entahlah. Sepanjang pengalaman saya membaca puisi (yang masih sangat sedikit) ternyata saya belum pernah menemukan puisi yang sanggup memenuhi konsep tersebut, yang sanggup menampilkan wujud baru tiap kali saya menemuinya, dan tiba-tiba saja, dengan sepenuh maaf kepada Heraklitos dan Susane K Langer saya harus mengatakan bahwa teori yang susah payah kalian rumuskan, ternyata bukanlah teori yang baik (paling tidak menurut saya) bagi proses penikmatan sebuah karya sastra, khususnya puisi.
Mengapa bisa seperti itu? Saya mengatakan bahwa itu adalah teori yang indah, yang perlu ditekankan adalah teori yang indah. Sebuah konsep luar biasa tentang puisi yang baik, seperti yang telah saya singgung di atas dan orang lain pun sah-sah saja tetap memakai teori tersebut dalam menikmati sebuah karya sastra, toh saya juga bukan siapa-siapa dan tak punya kewenangan apa-apa untuk memaksa pendapat saya agar bisa diterima. Saya hanya ingin mengatakan bahwa teori yang indah itu bukanlah teori yang baik bagi saya pribadi dalam menemui puisi, karena jika saya terus memaksakan diri menggunakan teori itu, maka semua puisi yang telah saya baca selama ini (termasuk yang menurut selera saya yang agak payah ini baik) termasuk puisi-puisi yang tidak baik karena puisi-puisi tersebut tidak setiap waktu, setiap kali saya baca menampilkan wujudnya yang baru.
Entahlah, selalu ada hal di luar teks yang mempengaruhi proses pemaknaan oleh pembaca yang berjarak. Dalam hal ini, perlulah kita singgung sedikit bahwa dalam pemaknaan teks sendiri oleh pembaca, teks telah mewujud sebagai organisme hidup yang terlepas dari pengarang sehingga dia berhak menjelma apapun ketika sampai di tangan pembaca. Dan proses pemaknaan oleh pembaca tersebut mau tidak mau selalu dipengaruhi oleh latar belakang, referensi dan tetek bengek pembaca lainnya. Termasuk dalam hal ini suasana hati. Kasus yang sering terjadi pada saya ketika menikmati puisi adalah dia, puisi, bisa mewujud ke dalam bentuk yang berbeda, ke makna yang berlainan ketika saya membacanya dalam suasana hati yang berbeda, atau ketika ada pengalaman dan referensi baru yang melatarinya. Selebihnya puisi tetap hadir dengan wujud yang sama berapa kalipun saya membacanya. Saya tidak tahu, apakah itu dikarenakan kebodohan atau kekurangpekaan saya dalam memahami puisi atau apa tapi untuk bisa menemukan wujud baru dari puisi saya selalu membutuhkan suasana hati yang berbeda, pengalaman atau referensi baru. Sekali lagi, anda boleh percaya boleh juga tidak, tetapi saya sarankan untuk tidak percaya sebab ini hanyalah coret moret penikmat puisi yang mungkin kurang cerdas atau kurang peka.
Kembali ke permasalahan. Oleh karena itulah saya cenderung lebih suka menggunakan teori anekdot tentang sekumpulan orang buta meraba gajah seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini dalam proses pemaknaan sebuah puisi. Saya anggap puisi itu gajah dan pembaca yang tentunya berjarak dengan penyair adalah orang yang meraba makna puisi itu, dia bisa menyimpulkan makna tetapi mungkin bukan makna utuh puisi itu. Pembaca tersebut bisa meraba lagi tepat di tempat yang sama di mana dia meraba pertama kali, maka yang dia dapat adalah makna yang sama. Tetapi ketika pembaca yang sabar tersebut meraba di bagian tubuh yang lain, dalam konteks pemaknaan puisi bisa diartikan dengan dilatari oleh suasana hati, pengalaman dan referensi yang baru, maka yang dia dapat adalah wujud lain dari gajah tersebut, pengejewantahan lain dari puisi tersebut. Dan karena itu tidaklah masalah ketika sebuah puisi tidak selalu mengalirkan makna baru atau memunculkan Living Form baru tiap kita membacanya sebab bagi saya kita membutuhkan hal-hal baru di luar teks dan penyair untuk dapat menggapai makna baru tersebut.
Demikianlah, dengan konsep gagap macam itu, saya coba tetap berbesar hati menikmati puisi-puisi sambil terus mencari tempat-tempat baru yang memungkinkan diraba untuk mendapat wujud baru yang mungkin bisa menyenangkan, menggairahkan atau mungkin menakutkan. Dan saya akan terus bersiap untuk terus mengerti bahwa gajah itu tidak hanya kenyal panjang, lebar tipis dan sebagainya. Tapi eh…apa itu? Ah…derai-derai cemara nya Chairil mulai menggoda lagi untuk diraba, mudah-mudahan tidak dapat anus seperti kemarin.

Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

No comments:

Post a Comment