Tuesday 4 June 2013
Jurnal KAJ
Komunitas Arek Japan meluncurkan media baru "JURNAL KAJ'", rencana Juli terbit untuk edisi pertama. Mohon kiranya teman-teman berkenan membantu. Karya bisa meliputi: Esai, cerpen, puisi, resensi, karikatur, liputan acara, liputan kuliner. Naskah bisa dikirim ke email: jurnalkaj@gmail.com. khusus untuk liputan, baik acara maupun kuliner diharap menyertakan foto. Terima kasih.
Saturday 25 May 2013
De javu Kalung Bermata
Oleh: Jourdan Alexander Niagara
(Dimuat di Harian Radar Mojokerto, Minggu, 19 Mei 2013)
(Penyunting: Bagus Sambudi)
Dari pintu kaca yang tembus pandang
terlihat beberapa percikan cahaya melalui sela-sela kelopak mataku, banyak yang
datang kesini entah untuk mencari barang sebagai pelengkap kecantikan atau
sebagai hadiah. Untuk melamar atau
bahkan menyunting seseorang. Aku sangat disukai wanita. Entah itu berasal dari
mana dan dengan cara apa mendapatkannya, mereka seolah tak peduli. Yang mereka
percayai , aku adalah simbol dari keindahan dan kemewahan. Maka dari itu para
perempuan-perempuan akan begitu menikmati pemandangan dari diriku, apalagi
pahatan yang menggukir nama mereka dengan beberapa butir berlian di atasnya,
pasti akan sulit untuk tidak tertarik kepadaku. Namun bagi para pria
kebanyakan, aku tak lebih dari perhiasan yang bernilai mahal, yang pastinya
sepadan untuk diberikan pada seseorang yang berharga dalam hidupnya.
Tergantung dan beralaskan karpet tipis berwarna merah dan sangat berkilau
ketika sinar masuk membelai diriku. Ah, aku merasa sangat di perhatikan hingga
jarang sekali debu menyelimuti kulitku, setiap hari tangan-tangan terampil
memanjakan tubuhku. Tak jarang aku merasa seperti seorang ratu yang selalu
diperhatikan oleh dayang-dayang.
Suatu hari, terlihat seorang pria gagah. Wajahnya tampan dengan rambut
yang tampak rapi. Pria itu memakai setelan kemeja berwarna putih, berjas hitam
dengan celana hitam yang terlihat garis setrikanya. Sepatu kulit mengkilap
menghiasi kakinya. Pria itu kelihatan sangat elegan. Dan beberapa saat kemudian, dia membuka pintu
yang terbuat dari kaca bening.
Dan pertanyaan yang selalu hadir kembali tercuat dari diriku
“Siapa dia? Mau apa dia kemari? Apakah dia perampok? Tapi tampangnya tak
seperti perampok. Ah, semoga dia adalah seseorang yang akan membawaku keluar
dari lemari ini. ”
Setelah 20 menit ia berputar menghampiri satu persatu lemari kaca, dan
tiba-tiba sebuah tangan meraih tubuhku dan membawaku keluar. Amat jelas kulihat
wajah pria yang tadi masuk. Dia menatap ku amat dekat dan sesekali
memutar-mutarkan tubuhku. Dan beberapa saat kemudian aku kembali ke sebuah
tangan yang tadi mengambilku. Tangan itu dengan hati-hati memasukkanku kembali
ke lemari kaca. Dan pria tadi, kulihat berjalan keluar dengan senyum yang indah di bibirnya.
Beberapa hari
kemudian, pria itu datang kembali ke tempatku. Bedanya dia hanya melihatku
sejenak kemudian berkeliling. Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang
dilakukan pria itu. Sampai seorang wanita cantik dengan gaun yang indah masuk
dan menghampiri lelaki itu. Aku tak
dapat mendengar apa yang mereka bicarakan karena aku di dalam sebuah lemari.
Yang pasti dari wajah dan tindakan kedua orang itu, aku dapat melihat dengan
jelas bahwa mereka adalah sepasang kekasih
Kedua orang itu mulai celingak-celingguk melihat apa yang ada di tempat
itu. Namun dengan cepat si pria menunjuk kearahku. Kemudian mereka
menghampiriku dan menampakkan wajah dan matanya tepat di depan kotak kaca di
mana aku berada. Aku mulai penasaran dan tetap menatap mereka dengan mata
tunggalku yang terbuat dari berlian yang berwarna biru.
Si lelaki itu mulai berbicara kepada salah satu dayang-dayang ku. Aku
kembali bingung karena aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Sampai
ketika aku dikeluarkan dan di coba oleh wanita tadi, baru aku sadar bahwa aku
akan dibeli. Itu berarti aku akan pergi dari tempat ini. Menuju tempat yang
entah. Dan tak butuh waktu lama aku sudah keluar dari toko itu. Aku masih
bergelantung di leher wanita cantik tadi. Leher yang putih mulus. Dengan mataku
tergelantung sampai belahan dadanya. Kemudian aku, wanita dan pria tadi masuk
kesebuah mobil sedan bewarna silver.
Setelah sampai
sebuah rumah beralamatkan elite Indonesian blok c no 19 mobil berhenti, tampak rumah
yang megah. Rumahnya nampak sepi tak berpengguni, mungkin merekan pasangan muda
yang baru menikah seminggu yang lalu .
Aku di bawa
kekamar yang luas dan si wanita itu melepaskan jeratan lenganku yang terbuat
dari mas 24 karat , ditaruhnya aku ke dalam kotak berwarna gelap yang ada dalam
lemari kecil di meja rias.
Dia membiarkan
kotak itu terbuka. Dan aku meliat wanita itu melepas gaun indah yang tadi siang
ia pakai. Tiba-tiba pria tadi dari belakang datang dan menciumi setiap lekukan
tubuh wanita itu , kemudian pria itu memeluk wanita itu dengan amat mesra .
Aku melihat kejadia
itu berpikir, andai aku seperti itu dengan kekasihku mungkin dunia ini akan begitu
indah seindah gemerlap cahaya yang
terpantul oleh mataku.
Berulangkali aku
melihat kemesraan yang seperti itu, hingga lama-lama aku menjadi iri dan
akhirnya aku jengkel pada pemandangan yang seperti itu .
***
Satu tahun aku
bersama keluarga itu, tak terasa waktu begitu cepat berbutar. Sore itu mereka
mendapat undangan dari teman kuliahnya dulu yang sekarang baru menikah, dan
undangnya besok hari minggu pukul 07.00 malam. Mereka berencana untuk datang
lebih awal. Mereka berangkat jam 06.30 dengan menaiki mobil sedan mewahnya
itu
Sampai di
pertengahan jalan yang sepi mobil mereka jadi sulit dikendalikan, aku tak tahu
pasti kenapa seperti itu, yang jelas mereka berhenti dan agak sedikit panik.
Mereka hanya berdua dan tak ada
siapa lagi kecuali hanya suara-suara binatang malam yang sering kali menyambut.
Tak ada mobil atau pun motor yang lewat, lagi pula jalan itu jauh dari
pemukiman warga . Dengan terpaksa si lelaki keluar dari mobil dengan perasaan
yang agak sedikit was-was. Membawa senter kecil si suami itu perlahan melihat
ban mobilnya yang ternyata sudah kempes.
Tak lama setelah mengetahui ban
mobilnya kempes, pria itu membuka bagasi untuk memasang ban serep. Belum
selesai mengeluarkan ban serep dari bagasi,
tiga orang laki-laki berbadan kekar dengan membawa sebilah golok dan pistol
keluar dari semak-semak. Dengan cepat para perampok mulai bergegas mengalungkan
golok ke leher si lelaki itu dan memaksa si wanita untuk turun dari mobil.
Karena saking takutnya wanita itu diam dan tak berbuat apa-apa. Para perampok
itu tanpa pikir panjang memecahkan kaca mobil dan mengeluarkan dengan paksa
wanita itu. Aku tak tahu kejadian apa yang terjadi berikutnya karena setelah
aku ditarik dari leher wanita itu, aku
dimasukkan dalam sebuah kantong.
Setelah kantong terbuka, tiba-tiba aku sudah di tangan orang yang tinggi
besar. Pasti merekalah para perampok yang mengambilku kemarin. Aku diserahkan
ke seseorang yang lebih rapi tapi aku tak tahu siapakah dia. Mungkin dia adalah
teman perampok itu atau bahkan dia adalah pimpinan dari perampok itu. Aku kembali
dimasukkan ke sebuah kantong. Dan meski aku tak melihat, namun aku sangat yakin
aku sedang di bawanya menuju suatu tempat yang entah. Dan setelah beberapa saat
aku dikeluarkan kembali. Dan bedanya aku sekarang tidak di sebuah ruangan. Aku
berada di sebuah tempat yang terdapat begitu banyak kapal yang bersandar. Aku
berpindah tangan lagi. Kali ini keseseorang yang amat rapi. Orang itu lebih
mirip dengan pria yang membawaku dari toko. Dan oleh orang itu aku di masukan
di sebuah kotak yang terbuat dari ukiran kayu yang indah, setelah itu aku hanya
merasa gelap.
Sampai beberapa saat aku mulai
merasakan guncangan-guncangan keras. Mungkin dari gerak ombak yang cukup besar.
Lalu aku merasakan dengan tiba-tiba semua menjadi tenang. Namun entah kenapa
tubuhku terbolak-balik seolah kotak kayu itu di buat mainan oleh anak-anak. Tanpa
terasa, ruangan kotak kayu ini mulai terisi air sedikit demi sedikit hingga
seluruh ruangan penuh oleh air yang asin . Setelah itu dengan sendirinya kotak
yang berisikan air itu mulai terbuka dengan sendirinya. Aku terjatuh ke dasar
laut yang dalam. Di situlah aku berdiam cukup lama. Bermacam-macam ikan
mengkrubutiku. Karang-karang menemaniku.
Entah berapa lama aku di sana namun
tubuhku mulai terasa agak aneh ,muncul selaput-selaput hijau yang membuatku
risih dan tak nyaman akan hal itu , dan mataku sudah tak sebening dulu , kini
mataku mulai buram bewarna biru hijau kecoklatan .
Entah apa, yang jelas aku tak begitu nyaman. Dulu aku
yang seolah ratu yang selalu di manja. Dan aku yang terjaga kebersihannya oleh
belaian lembut, semua kini menjadi jauh berbeda.
Setelah tubuhku mulai gelap. Sesuatu
yang aneh muncul. Sesuatu dengan cahaya yang menyorotku. Aku tak begitu jelas
melihat, namun percayalah itu adalah sesuatu yang belum pernah kulihat dalam
laut ini. Sesuatu itu memegangku kemudian membersihkan mataku yang tertutup. Mereka
berbadan seperti manusia. Tapi ada benda lain yang menempel di punggungnya.
Dibawanya aku ke permukaan, dan dari situlah aku tahu bahwa mereka memang
manusia. Hanya saja mereka membawa alat bernapas di punggung mereka. Terdapat dua
kapal kecil yang menghampiriku setelah aku tiba di permukaan. Kemudian, setelah
aku naik ke atas kapal itu, aku di semprot oleh air yang tak terasa asin tapi
pahit, dengan sikat halus aku
dibersihkan, terutama tepat di kepala mataku. Aku merasakan sedikit geli, namun
itu yang membuatku nyaman.
Setibanya aku di daratan. Aku di
naikan ke mobil pick up yang dikawal oleh beberapa orang yang mengaku penegak
hukum. Aku di bawa ke suatu tempat yang tak asing bagiku. Di situ ada las api,
cetakan, bejana tanah liat dan sejumlah kalung, cincin atau perhiasan lain. Dan
benar, disinilah perhiasan dilahirkan. Hingga seseorang datang menebusku dengan
menunjukan beberapa pucuk surat dan amplop yang mungkin itu berisikan beberapa
uang.
Aku di bawanya ke sebuah ruangan
yang penuh dengan cermin dan kaca yang menghiasi dan sebuah lemari kaca yang
beralaskan karpet merah tipis nan lembut .
Dari pintu kaca
yang tembus pandang terlihat beberapa percikan cahaya melalui sela-sela kelopak
mataku
Terlihat seorang pria gagah.
Wajahnya tampan dengan rambut yang tampak rapi. Pria itu memakai setelan kemeja
berwarna putih, berjas hitam dengan celana hitam yang terlihat garis
setrikanya. Sepatu kulit mengkilap menghiasi kakinya. Pria itu kelihatan sangat
elegan. Dan beberapa saat kemudian, dia
membuka pintu yang terbuat dari kaca bening.
Tentang Penulis:
Jourdan Alexander Niagara, bergiat di Komunitas Arek Japan (KAJ). Menulis cerpen dan puisi. Puisinya masuk dalam 40 puisi terbaik pada Festival Bulan Purnama Mojopahit (KBMP) 2013.
MAHKOTA MAWAR
Oleh: Elok Wulandari
(Termuat di Radar Mojokerto, 26 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)
Temaram lampu tak
akan dapat menggantikan sinarmu meski saat ini engkau telah hangat kudekap. Hembus nafasmu terasa hangat mengaliri kulit ari
dan bulu halus di dadaku. Hanya ada bisik dalam hati, tak terucap, betapa kau
sungguh berarti. Maafkan mama sayang, tidak akan mama lakukan kesalahan serupa,
cukup sampai hari ini, malam ini.
Pagi itu mentari
tak bersinar seperti biasanya, kabut tipis menyelimuti halaman dengan tetes
gerimis mengetuk atap teras jendela kamar. Kamar ini terasa dingin, pengap. Begitu dingin dan pengap, sehingga dapat membuat aku yang sedang enggan membuka
mata, semakin tenggelam dalam denyut
jantung yang semakin lambat. Mataku semakin sayu dalam lelap. Tapi lamunan pagiku buyar
bersama dengan teriakan suaramu yang semakin gaduh. Saat itu juga aku berharap
apa yang kulihat beberapa waktu lalu juga hanya mimpi yang tak nyata dan
selesai begitu teriakanmu membangunkanku. Akhir-akhir ini ada yang salah di antara
kita, aku merasa apa yang kau lakukan, apa yang kau ucapkan, selalu membuatku
naik pitam. Sejenak aku menyesal atas setiap kata-kata kasar yang aku ucapkan. Namun sedetik kemudian kaukembali membuatku harus
berteriak dan melarangmu melakukan sesuatu yang seolah sama saja dengan
memberimu perintah melakukan hal yang lebih gila. Kau seolah memiliki ratusan
bahkan ribuan macam cara untuk membuat mataku mendelik dan otot pipiku terasa
kaku karena menahan amarah.
Suatu siang, sepulang sekolah, kau berlari dari halaman memasuki rumah. Membanting pintu tanpa melepas sepatu. Aku
mencoba menahan amarah, saat kulihat bekas lumpur di atas lantai dengan stempel
sepatu yang kaubawa entah darimana karena kita tinggal di rumah tanpa halaman,
dengan sedikit beranda menghadap jalan meski bukan jalan raya. Kulihat matamu
membelalak besar penuh ceria saat kausantap kue hangat di atas meja.
“ Ma, kenapa papa
tidak pulang?” singkat kau bertanya.
Siluet malam itu kembali datang meski
samar. Aku hanya diam. Tak hendak menjawab pertanyaanmu sembari membereskan tas dan seragam merah
putih yang kaulempar di atas kursi sembarangan.
“Aku tadi melihat
papa. Papa sedang berjalan melewati jalan raya
dekat pusat perbelanjaan di ujung jalan sana, tapi papa menggandeng tangan seorang wanita Ma. Dia sangat cantik dengan kacamata hitam
besar dan kemeja warna pink. Kenapa papa menggandeng tangannya ya Ma? Apakah wanita itu juga tidak bisa
menyeberang jalan raya sepertiku? Sebab papa juga selalu menggandeng tanganku setiap kali kita
berjalan-jalan dan menyeberangi jalan raya karena takut aku tertabrak mobil atau sepeda. Papa
bilang papa menyayangiku. Apa itu berarti papa juga menyayangi wanita itu?” kauterus
mengoceh dengan kue penuh di mulutmu. Kalimat panjang yang menjadi tambang
pencekik, membuat aku susah bernafas. Bahkan sesaat aku merasa jantungku
berhenti berdetak.
“Sudah jangan
banyak bicara, cuci kakimu, dan segera ganti baju.” Kau masih berdiri diambang meja dengan mulut yang masih
terus berbicara.
“Kalau nanti aku
sudah dewasa,
aku ingin secantik wanita itu Ma, tapi tidak...... Aku ingin seperti mama. Mama juga cantik. Mama juga pintar memasak, membuat kue,
menguncir rambutku, dan masih banyak lagi. Iya kan Ma?”
“ Jangan banyak
bicara, cuci kakimu, dan segera masuk kamar!” Tanpa kusadari nada bicaraku mendadak tinggi. Kau
berhenti mengunyah dan mulai menangis.
“Kenapa Mama marah
padaku?”
Saat itu juga aku
baru menyadari betapa segala tingkah polahmu selalu memancing amarahku.
Kata-katamu, gerak tubuhmu, senyummu, air matamu, rambutmu, matamu, bibirmu,
dan semua yang ada padamu. Karena pada dirimu aku melihat pria itu, papamu, suamiku.
“Jangan pernah
bertanya tentang papamu. Dia sudah pergi meninggalkan kita. Dia pergi dan tidak akan pernah pulang
lagi, kautahu itu! Jadi jangan pernah bertanya lagi, karena papa lebih memilih wanita
itu daripada kita.”
Kemarahanku semakin
menjadi, entah setan apa yang merasuki otakku. Kau masih terlalu kecil untuk
mengerti bahkan memahami ini. Kau tidak seharusnya tahu semua ini, tapi amarahku tak terkunci. Kulempar tas dan
seragammu. Aku seret kaumasuk kamar dan kubanting pintu. Saat itu juga tubuhku
terasa lumpuh, air mata tak tersaring lagi. Amarahku tumpah menjadi-jadi.
Semua dimulai sejak
hari itu. Hari di mana aku mendapati suamiku berada dalam satu selimut yang sama dengan
seorang wanita. Wanita jalang yang selama ini aku kenal baik. Aku percaya. Aku terima sebagai penggantiku. Mengerjakan semua pekerjaanku di kantor.
Kantor kecil yang aku rintis bersama suamiku. Aku harus mundur karena kewajibanku
sebagai seorang ibu. Aku diharuskan menjaga anak kami dengan pertimbangan
kelebihan energi yang ia miliki. Kemampuannya melakukan segala sesuatu melebihi
teman-temannya,
membuatku harus memberinya pengawasan ekstra. Tapi kini, bagiku semua ini hanya
alasan. Hanya kedok. Aku membenci semuanya.
Pada suatu Minggu pagi,
semua masih terasa abu-abu karena teriakanku dan teriakanmu yang hampir setiap
hari bergantian kadang bersamaan mengisi rumah ini. Kaukembali memecah sinar
mentari dengan teriakan dan tangismu yang membabi buta hanya karena setangkai
bunga mawar. Kau menangis kencang pada pembantu, karena dia hampir mematahkan tangkainya.
“Kenapa kau
menangis? Jangan berteriak. katakan pada Mama.”
Aku masih bingung apa yang kautangisi dari setangkai
mawar.
“Bibi hampir
mematahkan mawarku. Mawarku patah mama!”
“Bukankah itu masih belum patah. Bahkan ada satu mawar lagi yang lebih
mekar dan indah dari yang itu sayang.”
“Tapi itu mawarku. Sudah patah satu, sekarang mau patah
lagi!”
“Iya, sudahlah. Mama tahu itu kau yang tanam. Sekarang kita pindahkan mawar ini ke beranda
kamar saja, ya!” Aku menggandeng tanganmu dan merayu. Namun tampaknya rayuanku tak juga
meluluhkan hati kerasmu. Kau semakin menangis menjadi-jadi, membuat aku kembali naik pitam dan
memasukkanmu ke dalam kamar. Kau masih meraung-raung dengan tangismu dan
menggedor pintu keras-keras dari sisi yang lain.
“Mama jangan kunci
aku. Aku janji tidak akan menangis lagi.” Lengking suaramu menusuk telinga dan hatiku, membuat mataku panas, air mataku menetes,
mengalir, dan tak dapat kubendung lagi. Aku terisak.
Kau berhasil membuat hari ini terasa sesak di dadaku. Sebenarnya
bukan hanya hari ini, tapi juga hari-hari sebelum ini. Setelah hari itu.
*
Aku melihat kau
menggambar dengan beberapa crayon berserakan di lantai, membelakangi pintu.
Aku memutuskan untuk masuk kamarku dan mandi, berharap
itu cara terbaik yang dapat melunturkan segala penat hari ini.
Waktu makan malam. Kau tertidur pulas di atas kertas gambarmu dengan crayon
masih tergenggam. Seketika mulutku terasa bisu, saat aku melihat gambar di kertasmu. Gambar seorang wanita dan putri kecilnya, dengan bunga-bunga mawar di
atas kepala mereka.
“Selamat ulang
tahun Ma. Aku sayang Mama. Ma, aku tidak akan
tanya-tanya papa lagi. Aku hanya ingin mama, karena mawar papa sudah patah dan papa
tidak memakai mahkota mawar di atas kepalanya. Aku tidak akan nakal, tidak menangis, dan
tidak berteriak. Asal mama berjanji tidak akan meninggalkanku dan menggandeng
tangan orang lain seperti papa. Aku sayang mama.”
Hujan es
mengguyurku malam itu. Mengaliri setiap lekuk saraf dan otakku. Aku merasa otakku berhenti
bekerja. Yang kurasa hanya sesal. Betapa bodohnya aku, menjadi seorang ibu yang
sama sekali tidak peka pada apa yang dirasakan buah hatinya.
Bukan hanya aku
yang kecewa. Bukan hanya aku yang kehilangan, tapi juga dia. Putriku satu-satunya. Menjaga mawar yang kini tersisa.
Yang tak ingin kembali kehilangan satu kuntumnya. Karena
kini, hanya aku yang dia punya. Maafkan mama sayang. Mama bersalah, mama egois, mama hanya
memikirkan perasaan mama. Mama akan bertahan untukmu, untuk kita, putri mawar
mama.
Sejak malam itu aku
berjanji pada diriku sendiri. Aku akan melupakan pria itu. Pria yang telah meninggalkan kami. Aku
akan menjadi ibu yang kuat untuk putriku. Ibu yang akan selalu menjaganya. Hanya menggandeng tangannya dan tidak akan
pernah menggandeng tangan siapa pun lagi, selain dia.
Tentang
Penulis:
Elok
Wulandari, tinggal di Mojosari. Seorang penggila karya-karya
Kahlil Gibran. Saat ini sedang nyantrik di Komunitas Arek Japan (KAJ) untuk
mengasah kemampuan menulis dan teater.
Thursday 16 May 2013
Pengumuman Roangga
Cerpen Nasrulloh Habibi*)
(Dimuat di Harian Republika, 12 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)
Lelaki yang memakan waktu separuh abad lebih itu akhirnya telah tiada. Setelah sekian lamanya menjerang nasib dalam lilitan usia dan yang melelahkan. Ia meninggal dalam keadaan tenang dan tersenyum segar. Mati yang sekian hari ia nanti dalam tepi keterputusasaan hutang tak terperi. Beberapa kali serangan jantung itu membuat kami anak-anaknya was-was dan mengomatkamitkan doa apa saja. Dan serangan yang terakhir inilah, saat penantiannya yang terindah. Saat bibirnya menyebut ayat Tuhan di tahiyat akhir pada sebuah Subuh. Dan merasakan detak jantung yang berdenyut tak teratur semenjak lama. Tanpa perawatan sebagaimana mestinya.
Ia ayahku, berpulang dalam penantian hidup yang melelahkan bagiku, setidaknya mungkin bagi dirinya. Dalam kematian senja yang indah. Orang-orang lalu berbondong-bondong mengitarinya yang telah terbungkus kafan kasar nan putih. Hujan tangis bercucuran rebah menumpah ke bumi dari air mata mereka yang kehilangan. Aku sedikit bersyukur dalam hal ini. Meski ada gurat sesal yang mesti menjalar pelan menusuk kalbu. Air genangan bekas memandikan ayah pun pelan dan seolah enggan meresap pekarangan sedari waktu yang berlalu. Wanginya masih lekat kukenal, sisa daki keringat tuanya yang sekian tahun takkan pernah kulupa. Ah, sosok itu, kenapa harus senaas ini takdirnya. Menukar kebebasan dan senyum putra-putrinya dengan ajal yang kian lama menjemput. Sekali lagi aku tetap bersyukur, setidaknya aku tak terlalu menyesal semasa menemani menjemput ajalnya kini.
*****
Sebelumnya, aku sering mendapat telepon ayah. Ia selalu menyuruhku lekas pulang untuk menjenguk rumah. “Pulanglah Nak, ibumu menghilang entah ke mana…” tak ayal aku pulang meski malas tetap ada. Aku harus merelakan waktu tempuh sepuluh jam lebih dan jatah kocek selama seminggu dalam sebulan untuk memenuhi panggilan ayah dari Yogya ke Mojokerto. Sesampainya, aku selalu mencium punggung tangannya yang menua. Dan seperti biasa ia suka curhat tentang ini itu. Tentang masalah yang sama dan itu-itu saja. Sampai aku bosan.
“Jika tidak kuat tinggalkan saja Ibu, aku siap hidup tanpanya…” suatu ketika kata-kata itu menelusup ke daun telinga ayah. Dan kata-kata itu kini sudah lapuk. Tak ada gunanya mengulang pernyataan yang sama. Aku tetap menemani curhat ayah yang itu-itu tadi. Tentang ibu yang berkicau dan suka meraung tak jelas, adik lelaki yang tak punya banyak mimpi, dan kakak yang menjadi regenerasi ibu.
Semua masalah itu terdengar klise di tengah masa pendidikanku. Di bangku perkampusan yang bergengsi dan berbudaya, Fakultas Ilmu Budaya di UGM atas mengadu nasib dengan anak panah melalui tes pada umumnya.
Seperti saat-saat kepulanganku di rumah. Aku melihat adik sedang syahdu bermimpi-mimpi di kasur reotnya. Lalu, tampak kakak sibuk menghitung-hitung pengeluaran untuk keperluan perut ke bawah. Entah kenapa sejak ia menikah dengan rentenir, otak kirinya menjadi melebihi profesor. Tak terlebih nuraninya. Sebutir nasi yang ditelan selain dirinya musti dihitung. Tak ubahnya hutang.
Baginya ia sudah menjadi tanggung jawab orang lain. Dan uang yang ia pegang ialah harus seizin suami yang ganas itu jika menagih utang pada pelanggan. Nyatanya kakak masih menempelkan hidup dengan suaminya di rumahku.
Aku mafhum dengan kondisi ayah yang seperti itu. Ketika bertahun-tahun kukenali kening ayah yang semakin berkerut. Rasanya tak ada yang aneh dari semua ini. Kegelisahan yang sama dan selalu membikin kebaruan luka. Kini ibu masih menghilang. Yang kudengar dari tetangga atau sanak “Ibumu sering dijemput lelaki berseragam coklat muda dengan mobil dinasnya sepulang dari pabrik”.
Di tengah gemuruh rumah tangga yang kelabu dan pertengkaran ayah-ibu aku sering menghilang. Biasanya aku akan menghilang usai ibu menumpahkan magma di hatinya perihal hutang dan kebutuhan yang semakin membiak kepada ayah dan seisi rumah. Lalu, mulutnya akan menyumpahserapahi apa pun, tak lain ayah sebagai tersangka utama. Begitu juga adikku, lenyap secepat kilat. Tidak dengan kakak. Ia lebih memilih menenggelamkan diri di ruangan pribadi dengan suaminya yang selalu terbangun menjelang bedug1
“Ayahmu kian kurus dan sakit-sakitan Man, seringlah pulang. Jika kau di rumah ayahmu sedikit terang wajahnya.” Suatu ketika paman menasihati di tengah malam keheninganku menatap langit. Lalu aku sering pulang memenuhi panggilan dan nasihatnya. Memang benar ayah tenang di tengah kehadiran dan detik-detik kepulanganku. Kutengok ia yang semakin tua menghabiskan masa. Hari-harinya meski tenggelam di sekolahnya yang hampir roboh dan kusam. Jika tidak, pagi menjelang bedug separuh geraknya menghabiskan umur di pasar desa menjual tikar pandan, gerabah, dan terompah. Setelah itu, ia beranjak mengajar di rumah ibadahnya. Di kampungku ayah menempati pendidikan yang cukup terpandang. Walau hanya tamatan Pendidikan Guru Agama (PGA) di tahun tujuh puluhan.
Hingga menjelang hayatnya, ia masih menghibahkan umurnya untuk yayasan warisan leluhur. Pasar dan dunia pendidikan adalah dua mata uang hidupnya yang tak terpisahkan. Keduanya memiliki dunia sendiri namun bergandengan dan menguatkan. Tak ada kata mengeluh dalam segala keterbatasan. Kasihan ia, sedari dulu hidupnya hanya untuk ibu, anak-anaknya, dan yayasan sekolah, lain tidak. Jika sudah begitu yang terjadi ialah tuntutan ini itu yang bermunculan dan menambah kerut di dahinya yang coklat tua. Saat kami memandang gedung sekolah yang dindingnya kusam itu ia bergumam pelan.
“Lihatlah anak-anak desa yang bersekolah itu, hanya pada mereka tersimpan jariyahku kelak saat tiada. Kuharap kaubisa meneruskannya, ini pesan si mbahmu sebelum wafat.”
“Tidak ada pesan lain ayah?”
“Tidak, tapi jika kau punya mimpi lain, bolehlah. Asal kaupenuhi harapan ayah yang satu ini. Mimpi tak harus satu, tapi harus tinggi dan banyak. Apa mimpimu Nak?”
“Aku ingin seperti ayah tentu. Akrab dengan kesabaran dan ikhlas.”
“Demikiankah, tapi ayah gemar curhat katamu?”
“Tak mengapa, toh itu membuat ayah menjadi tenang di kala badai keluarga kita. Aku bahagia jika ayah tenang.”
“Ayah membaca tulisanmu di koran. Kau tak suka orang gemar curhat.”
“Ah, itu hanya kepada mereka yang hanya curhat dan tak mau naik kelas dari tempatnya berada, ayah lain.”
“Bagaimana ayahmu?’
“Curhat ayah adalah wasiat. Ayah tak sekadar curhat tapi merakitnya dengan bingkai pesan dan cinta.”
“Kau memang anak yang paling kubanggakan, jagalah adik-kakakmu jika ayah tiada kelak.”
“Aku akan menjadi pengganti ayah?”
“Tentu, kelak kau akan seperti ayah, seperti mimpimu. Bahkan lebih baik. Orang yang beruntung adalah yang bertambahnya kecemerlangan lahir batin di hari esoknya.”
“Pasti! Hari esok akan kuukir cemerlang lebih besar.”
“Mari pulang, senja akan datang dan waktunya kita lekas mendahului berbuka.”
Kami pulang berbonceng bebek merah kepunyaan ayah tahun generasi pertama. Warna keberanian menantang badai dan rintangan. Dan jalanan ke rumah adalah jalanan yang panjang kami lalui. Penuh lubang dan kelokan tajam. Lihat saja. Di rumah, kami disuguhi dengan ceracau ibu yang sedang bergelut dengan setumpuk jemuran yang enggan kering. Bisa ditebak bakal apa yang terjadi. Sembari membanting tutup panci yang pudar warnanya ia bersungut.
“Roangga datang lagi, aku tidak betah bermelas-melas dengannya. Bulan depan rumah kita akan disegel.”
“Harus bagaimana aku, sudah kuusahakan apa pun. Namun, semua hanya bisa bertahan. Bersabarlah barang sejenak. Kasihan anak-anakmu harus panik tiap kau berkata kasar.”
“Baik, mereka akan segera tenang sebentar lagi dan makan sendiri kesabaranmu. Aku tak sudi.”
Jika demikian, aku lekas hilang entah ke mana. Meninggalkan ayah yang kalang kabut menghadapi ibu. Dan lainnya akan memilih mendekap bisu. Sebuah dramatisasi yang sering berulang dengan berbagai macam klimaks adegan. Kadang memuncak. Kadang juga tertumpah haru biru kesedihan. Tanpa disadari, di Maghrib yang seharusnya menikmati buka yang khidmat itulah aku terakhir bertemu ibu, juga ayah.
*****
Kini aku sedang bersimpuh sebelah jenazah ayah. Kubisikkan pelan seraya terus menerus ayat-ayat suci. Sedemikian rupa kuusahakan airmata tak tumpah, karena aku tahu dia tidak suka itu. Kelegaan sedikit menyeruak lantaran banyak yang menyalatinya. Lebih dari empat puluh orang. Kebanyakan dari teman yayasan dan takmir masjid. Rahmat, murid ayah dan teman-temannya yang berjumlah sepuluh menjadi penambah sesak jamaah.
Untuk urusan kematian. Orang-orang lekas bergerak dengan sendirinya. Kerabat, sanak, saudara, teman, dan tetangga cekatan melakukan pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Ada yang menggali kuburan, menanak nasi, menakar beras dari pelayat, dan banyak lagi.
Di saat duka-dukanya aku tak melihat adik. Mungkin ia sedang mengutuki stresnya. Entah juga kakak. Aku hanya ingat setiap Kamis begini, ia menemani suaminya narik. Biasanya mereka pulang tengah malam dengan membawa jajanan yang disembunyikan dalam tas dinasnya. Ah, apa yang harus kukatakan pada ayah nanti sewaktu mengiring jenazahnya di pembaringan terakhir jika mereka tak turut. Biarlah aku akan meminta maaf. Akan kuurus nanti.
Apa?! kawanan penagih itu juga muncul. Roangga, Ratiman, Lamangun, dan... Mungkin mereka datang untuk membebaskan tunggakan ayah, sekali lagi tersusup perasaan lega yang janggal di hati. Dan tibalah saat itu, sudah waktunya. Keranda sudah dipersiapkan. Tubuh ayah dimasukkan. Suara tahlil2 bergemuruh merdu.
Ketika jenazah ayah terkubur dalam gundukan tanah dan taburan kamboja. Tibalah Mudin Rohim membacakan tahlil. Seusainya warga diharap mendengar pesan darinya. “Hadirin di sini perlu saya sampaikan beberapa pesan mengenai hal yang bersangkutan dengan saudara kita Abdurrahman Bin Abdullah. Sebagai manusia yang bersosial tentu beliau pernah melakukan khilaf pada sesamanya baik yang disengaja maupun tidak. Dengan demikian, perkenankanlah saya atas nama keluarga menghaturkan permohonan maaf jika almarhum mempunyai salah. Selanjutnya saudara-saudara yang merasa almarhum memunyai tanggungan harap mengikhlaskannya atau langsung menghubungi keluarga. Terima kasih, wassalamualaikum…”
Suara Mudin Rohim langsung disambut suara lain yang sangat kukenal. Dengan mengucap salam yang keras dan berlebihan suara itu bergerak. “Assalamualaikum... Perkenankanlah saya ingin mengumumkan bahwa saudara almarhum masih mempunyai hutang senilai enam puluh juta rupiah dan telah menunggak angsuran selama lima bulan terakhir dan jika dalam bulan terakhir ini keluarga belum melunasi, maka rumah almarhum beserta isinya akan disita oleh pihak yang berwenang.” Orang-orang saling pandang.
Mataku tak mau berkedip sebab bukan karena Roangga, melainkan orang di sebelahnya yang memeluk erat lengan rentenir itu, ia ibuku. Apakah ibu jadi berubah pikiran. Lantas, apakah rentenir itu tidak paham kata Mudin Rohim tadi. Aku yakin orang-orang juga berpikiran sama mengenai Roangga dan ibu.
Paras, 19 Maret 2013.
Catatan.
1 : Waktu salat Dhuhur.
2: Bacaan ayat suci al-Quran (Laailahaillallah Muhammadarrasulullah), biasa dibacakan berulang kali saat mengiring jenazah umat Islam ke pemakaman.
*)Nasrulloh Habibi dilahirkan di Mojokerto, 22 Mei 1988. Hobi mengoleksi buku semenjak kuliah dan menghabiskan waktu dengan jalan-jalan, membaca, menulis, dan menghadiri acara keseneian. Seorang penikmat seni dan budaya. Menyelesaikan pendidikan sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (UNESA) pada tahun 2010. Semasa kuliah sempat Aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan dan Fakultas Bahasa dan Seni. Mulai menulis puisi, cerpen, esai, dan resensi sejak tahun 2008. Pernah tergabung dalam beberapa forum diskusi sastra dan seni seperti Komunitas Rabo Sore (KRS), Komunitas Bangbang Wetan, Halte Sastra (DKS), Komunitas Arek Japan (KAJ) dan Teater Institut (TI). Pernah turut sebagai salah satu aktor latar dalam naskah Nyai Ontosoroh oleh R. Giryadi diadaptasi dari Novel Bumi Manusia karya Pramoediya Ananta Tour di Jakarta. Taman Budaya dan Kesenian Ismail Marzuki (TIM) Festamasio IV.
Sejumlah karyanya dimuat di beberapa media dan antologi bersama seperti Majalah Sesasi, Tabloid Gema, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Radar Madura, Berita Metro, Buletin KRS, Metamorfosis Kepak (Antologi Puisi Bersama), Kusir Bulan Gunjai (Antologi Puisi dan Cerpen Bersama), dan Tentang Kami Para Penghuni Sorter (Antologi Cerpen Mojokerto). Pernah nyantri dan tinggal di Pon. Pes. Sabilillah Lidah Wetan No. 17 A Surabaya dan Pon. Pes. Fathcul Ulum II Pacet, Mojokerto. Saat ini menjadi staf tenaga pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus pembimbing kegiatan ekstrakurikuler Penulisan Kreatif dan Jurnalistik di SMP Unggulan Berbasis Pesantren, SMA Unggulan Berbasis Pesantren, dan MTs. Program Akselerasi Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto. Sesekali diundang sebagai juri lomba baca puisi dan pidato tingkat SD di Gresik dan Surabaya. Aktif bergiat di Komunitas Arek Japan dan menjadi anggota redaksi bulletin Jurnal Lembah Biru beralamat di (bibisabil@yahoo.com) dan NasrullohHabibi.blogspot.com Nomor yang bisa dihubungi: 085730066188.
Ibu di Wajah Purnama
Oleh Khoirul Muttaqin*
(Dimuat di Harian Radar Mojokerto, Minggu, 5 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)
“Seorang ibu memangku anaknya yang
sedang menangis. Itulah yang kaulihat di wajah purnama, Mir.” Perkataan Mbah Sari
itu masih tumbuh segar pada otak Amir
yang masih sangat penasaran pada sosok ibu. Ia mengenal Mbah Sari, manula yang
menjadi orang pertama yang ia ingat dan kenal ketika memori otaknya mulai
menunjukkan kinerja yang bagus. “Mbah,” Amir memanggil sosok manula yang raut wajahnya
luntur oleh usia yang menggerogotinya.
Sepanjang malam Mbah Sari
menceritakan tentang bulan. Hal itu karena Amir selalu bertanya tentang bulan.
Cerita klasik tentang bulan memang selalu diceritakan orang tua kepada anak
atau cucunya jikala malam sudah mulai udzur dalam kolom waktu anak-anak. Cerita
tentang bulan menjadi cerita yang sangat menarik bagi anak karena di kampung
yang sebatas sebuah kumpulan rerimbunan pohon yang membuat sesak nafas jikala
malam tertidur di bawahnya, rembulan apalagi purnama menjadi sebuah peristiwa
yang ditunggu setiap bulan.
Mbah Sari terus bercerita mengenai bulan.
Mendengar kata-kata ibu dalam cerita bulan itu, Amir pun menanyakan tentang
ibunya. Mbah Sari terdiam. Terus saja Amir mendesak, mungkin karena pemikiran
anak-anak Amir yang mengikuti ketetapan umurnya. Karena terus terdesak oleh
pertanyaan Amir yang bertubi. Mbah Sari memutuskan untuk menceritakan bahwa sebenarnya
ibu dan adik Amir menjadi sosok yang senantiasa dilihat Amir dalam wajah purnama.
Angin malam itu berhembus
mendengus. Pelan namun tetap menghadirkan dingin yang asing di kulit. Sekian detik
terdiam. Amir bangkit dari ranjang reotnya menuju keluar. Mbah Sari yang duduk
di sampingnya terkaget. Namun ia tak langsung mengejar Amir karena harus
memegangi ranjang yang bergerak karena menerima gerakan cepat dari Amir tadi.
Ranjang itu seakan mengerat seperti keratan tikus-tikus kali depan rumahnya.
Mbah Sari dengan kaki gontai
berlari mengejar Amir. Malam purnama tampak masih menerjang dengan
cahaya-cahaya rantai di atas rumah-rumah dan pohon-pohon. Meski malam itu bukan
tanggal 15, namun cahaya purnama masih menujukkan keperkasaannya. Amir
berteriak memanggil ibunya. Dalam kalungan malam dan cahaya purnama Amir
berteriak sekuat tenaga memanggil ibunya. Itu membuat tetangga-tetangganya
membaur keluar rumah. Mbah sari mendekatinya dan memeluknya erat. Ia terlihat
marah namun dalam bola matanya yang hitam terlihat tetesan air jernih yang
mengalur.
Beberapa orang tetangga mulai
memadati rumah reot Mbah Sari. Mereka
sontak menanyakan apa yang terjadi pada Amir. Amir terlihat kebingungan. Apa
yang salah padanya. Ia merindukan ibu dan adiknya yang hanya ia kenal melalui
cerita-cerita Mbah Sari beberapa menit lalu, yang saat itu sedang duduk
termenung di wajah purnama. Sehingga ia memanggilnya untuk sekadar menikmati
wajahnya jika mereka menoleh. Namun pikirannya yang memang belum diproyeksi
untuk memikirkan hal itu cukup menghentikan pertanyaannya. Kembali ia
terlentang di atas ranjangnya. Neneknya menunggui dengan hati yang
menghujam.
Mbah Sari menyesal telah
menceritakan tentang ibu kepada Amir. Padahal cerita itu yang ia pendam selama
ini. Menurut cerita tetangga, ibu dan adik Amir meninggal secara tragis di
negara orang. Jenazah mereka dimakamkan di sana karena tidak ada biaya untuk
membawanya pulang. Sejak itu, Mbah Sari, nenek yang merupakan keluarga Amir satu-satunya
yang harus merawat Amir karena ayah Amir juga sudah lama meninggal dunia. Amir
selalu menanyakan sosok ibu. Mau tidur ia bertanya tentang ibu. Mau makan ia
bertanya, mau berak juga, mau apa saja. Sosok ibu sudah menjadi candu dalam
pikirannya. Sehingga membuat setiap suara mendengung dengan kata ibu.
Setiap malam tanpa diketahui Mbah
Sari, Amir keluar. Di malam tanggal 17, 18, dan 19 wajah ibu masih menghiasi
purnama. Namun, tak pernah ibu sekadar turun menyapa Amir, meskipun Amir sudah
berusaha dengan berbagai cara untuk memanggilnya. Sejak Maghrib, ia tidak
langsung pulang. Ia malah menaiki teras masjid untuk memanggil ibunya, namun tak
ada suara ibu pun menyaut. Amir tidak patah semangat, ia pun mendaki pohon
mangga jiwo dekat masjid. Di malam
berikutnya, ia mendaki pohon asem. Namun hasilnya nihil. Sosok ibu tidak pernah
menyahut atau sekadar menolehnya.
Seiring bergantinya hari, purnama
semakin menjauhkan diri. Sosok ibu tidak lagi terlihat penuh. Namun Amir selalu
berusaha memanggil sosok ibu dalam purnama yang tak penuh lagi itu. Seperti
hari-hari sebelumnya sosok ibu tak pernah menyahut. Semakin resah hati Amir. Di
malam ke-30 purnama menjadi bulan mati. Hati Amir hancur berantakan tak lagi
sosok ibu ditemuinya di malam. Namun ia teringat purnama datang setiap bulan.
Mungkin di purnama berikutnya sosok ibu menemuinya dengan senyum lebarnya. Yang
pasti membuat hatinya yang gundah akan mengharu biru karena setiap pertemuan
yang ditunggu akan menghadirkan suatu kebahagian yang selalu menelusup dalam
benak jiwa.
Setiap hari Amir menyusun rencana
untuk menyambut purnama bulan depan. Anak seumur dia bisa saja memikirkan cara
itu. Dia sudah pernah naik ke teras masjid, pohon mangga jiwa, pohon asam, dan
entah yang lain. Namun, dalam guratan waktu yang lalu itu tiada sosok ibu yang
menyahut dan mau menemuinya. Ia pun ingin mencari tempat yang lebih tinggi dari
tempat-tempat yang pernah ia naiki. Ia tahu semakin jauh jarak akan membuat
suara tidak terdengar. Karena purnama jauh di langit maka ia harus mencari
tempat yang tinggi untuk memangkas jarak tersebut.
Setiap hari ditanyakannya kapan
purnama datang pada setiap orang. Kecuali Mbah Sari, orang-orang sudah lupa
kejadian Amir berteriak-teriak memanggil ibunya saat purnama. Sehingga orang-orang
hanya mengira bahwa Amir menunggu purnama karena ingin bermain di halaman
bersama teman-temannya seperti anak-anak yang lain di kampung itu. Seminggu
lagi purnama akan datang. Mendengar itu Amir siap sedia untuk menyusun rencana
agar teriakannya mampu terdengar oleh ibu di wajah purnama itu.
Hari-hari dilalui Amir dengan merenung.
Di sekolah ia merenung. Di masjid ia merenung. Di rumah merenung. Tapi di depan
Mbah Sari, neneknya yang ia cintai ia simpan perasaan itu. Ia tak mau Mbah Sari
ikut merasakan apa yang dirasakan. Ia juga berpikir jika Mbah Sari tahu rencananya
itu pasti Mbah Sari membuyarkan semua itu. Hal itu membuat ia semakin tidak mau
menceritakan hal itu ke Mbah Sari. Menjelang tidur, Mbah Sari tetap bercerita
padanya. Kadang menceritakan tentang Pandji Sumlirang, Sangkuriang, Nyi Roro
Kidul, Buto Ijo, sampai Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu. Semua
Amir dengarkan begitu saja. Lalu ia berpura-pura tertidur agar si Mbah segera
pergi meninggalkannya di ranjang reot dalam kamar itu sendiri.
Dalam sebuah siang yang beraroma
kamboja di sekitar areal kuburan, Amir tampak bermain bersama teman-temannya.
Musim buah asem telah tiba. Amir dan temannya memunguti buah asem yang tercecer
sambil berteriak kegirangan karena menemukan secercik harapan untuk bisa beli
makanan ringan hari ini. Bagaimana tidak setiap mendapat buah asem yang banyak
Amir akan menjualnya ke penjual bumbu baik di kampungnya maupun luar
kampungnya. Ketika asik mencari jejatuhan buah asem. Terlihat Amir sedang
bengong menatap ke arah barat. Rencana menaiki pohon dandu* yang pernah ada di benaknnya kini tumbuh dan
kembali berkembang di benak tersebut. Hal itu dikarenakan ia menemukan cara
yang cukup ampuh untuk menaiki pohon yang selama ini dalam benaknya dianggap
mustahil.
Di samping pohon dandu yang
merupakan pohon tertinggi dan terbesar tersebut tumbuh pohon mangga yang batangnya
menghubung ke pohon dandu itu. Untuk naik ke pohon itu tanpa bantuan pohon lain
Amir tahu dia tidak akan pernah bisa karena ia mendengar bahwa batang pohon itu
sebesar rangkulan tiga orang dewasa dan tanpa cabang. Mengetahui hal tersebut Amir
tidak sabar lagi menunggu purnama karena ia yakin dari atas pohon itu ia akan
mampu membuat ibunya menoleh karena teriakannya.
Persiapan menjelang purnama memang
dilakukan Amir tanpa memberi tahu Mbah Sari. Setiap pulang sekolah ia terlihat
di areal kuburan memandangi pohon dandu lalu mencoba memanjatnya jika sekiranya
tidak ada orang yang melihatnya. Pada dua hari sebelum purnama Amir mampu menaiki
pohon itu. Amir pulang dengan senyum selebar daun-daun mahoni di sebelah barat
pohon dandu.
Amir kembali bertanya pada orang
tua temannya untuk memastikan datangnya purnama. Jawaban orang tua itu sangat
membahagiakan Amir karena malam ini purnama akan datang kembali. Amir pulang
dengan mulut tersenyum lebar. Di rumah ia mencoba menggulung-gulung kertas
untuk dijadikan pengeras suara seperti yang dilakukanya bersama teman-temannya
di sekolah. Namun seketika Amir mengurungkannya karena takut ketahuan Mbah Sari.
Amir kemudian naik ke atas ranjang reotnya untuk tidur siang. Ia sudah tak
sabar menunggu malam karena ia yakin malam ini ia akan menemui ibunya. Bayangan
tentang betapa hidupnya akan bahagia bila bersama ibu menambah keinginan itu.
Ia membayangkan hidup bersama ibu dengan bahagia setelah ia melihat
teman-temannya yang sangat bahagia bersama ibu mereka.
Sehabis Maghrib ia sudah berada di
bawah pohon dandu. Sinar purnama mampu menyentuh tubuhnya yang mungil karena
pada saat itu pohon dandu menggugurkan daun-daunnya karena kemarau yang telah
berjalan. Di samping dandu pun daun-daun jati tercecer di tanah. Di langit tak
sekilas awan pun yang melintas. Langit itu hanya dipenuhi purnama dan
bintang-bintang yang bertebaran. Namun karena purnama masih mengendap jauh di
timur, Amir harus menunggunya hingga sedikit ke atas.
Ketika purnama sudah muncul dengan
gagahnya, Amir sudah berada di atas pohon dandu. Ia berusaha terus naik ke atas
tanpa berpikir panjang. Ia mencoba meraih puncak dandu meskipun angin berhembus
cukup keras. Di puncak dandu ia berteriak beberapa kali memanggil nama ibu.
Hingga suaranya terlihat serak dan lama-kelamaan menghilang sosok ibu tak
sedikit pun menoleh padanya. Amir gontai ia sudah tak bisa berteriak tubuh
kecilnya menggigil karena tiupan angin di atas dandu. Ia mencoba turun
perlahan. Namun karena ia menggigil ia terpleset jatuh.
Namun Malaikat Pencabut Nyawa belum
diperintahkan Tuhan untuk menyabut nyawa anak itu. Ia tersangkut di tetumbuhan
royotan yang menjalar di pohon mangga yang ada di samping dandu. Nyawanya
selamat. Dengan usaha keras ia mencoba lepas dari tumbuhan itu dan berusaha
turun. Sesampainya di tanah ia mencoba berteriak dengan suaranya yang mulai
hilang.
“Ibu kau tak pernah mendengarkan
aku. Aku sudah begitu keras berusaha memanggilmu. Tapi kaudiam seperti batu!” Ia mencoba mengumpulkan suaranya yang hilang agar
mampu kembali berteriak.
“Jika kautetap seperti itu aku
ingin kau menjadi batu. Kau pikir hanya ibu saja yang bisa mengutuk anak
menjadi batu. Aku juga bisa!”Kembali kata-kata akhir tak lagi terdengar karena
suara yang habis.
Dengan tubuh gontai Amir pulang. Di
rumah ia disambut Mbah Sari dengan wajah cemas yang sedari tadi menunggunya. Ia
hanya diam dan menuju kamarnya. Mbah Sari menyusulnya. Mbah Sari menanyainya
dengan nada sedikit marah. Namun Amir hanya diam atau mungkin karena memang
suaranya telah habis. Ia membaringkan tubuhnya dan tertidur.
Malam-malam berikutnya ia tak lagi memanggil sosok
ibu di wajah purnama. Ia hanya termenung menatap purnama. Ia semakin mencoba
melupakan sosok ibu dan kembali ke sosok Mbah Sari. Purnama semakin hari
semakin mengecil. Semakin kecil dan menghilang. Menghilangnya purnama semakin
membuat ia melupakan sosok ibu.
*
Pada suatu pagi di sekolah, guru IPA
Amir menunjukkan gambar bulan kepada anak-anak didiknya. Setelah itu, guru pun
memberitahu bahwa bulan itu berisi batuan. Sejurus dengan itu Amir terdiam.
Beberapa menit ia terdiam. Wajah anak itu menunjukkan penyesalan yang dalam.
Butiran-butiran bening mulai menghambur di matanya. Ia tetap terdiam dalam
bekunya keadaan. Meskipun suasana kelas ramai tak sedikit menggugah dia dalam
beku.
Paras, 24 April 2013
*( cerita mengenai seorang ibu memangku anaknya di
bulan yang tampak dari bumi beredar di masyarakat desa Tebuwung, Dukun, Gresik
*( pohon dandu merupakan pohon raksasa yang dapat
ditemui di daerah Dukun, Gresik
*( Khoirul Muttaqin alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Unesa. Saat ini menetap di Pacet. Aktif di KAJ (Komunitas Arek Japan) sebagai
wakil ketua. Selain itu, menjadi pendidik di SMAU BP Amanatul Ummah.
Subscribe to:
Posts (Atom)