Saturday 25 May 2013

MAHKOTA MAWAR



Oleh: Elok Wulandari
(Termuat di Radar Mojokerto, 26 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)

Temaram lampu tak akan dapat menggantikan sinarmu meski saat ini engkau telah hangat kudekap. Hembus nafasmu terasa hangat mengaliri kulit ari dan bulu halus di dadaku. Hanya ada bisik dalam hati, tak terucap, betapa kau sungguh berarti. Maafkan mama sayang, tidak akan mama lakukan kesalahan serupa, cukup sampai hari ini, malam ini.
Pagi itu mentari tak bersinar seperti biasanya, kabut tipis menyelimuti halaman dengan tetes gerimis mengetuk atap teras jendela kamar. Kamar ini terasa dingin, pengap. Begitu dingin dan pengap, sehingga dapat membuat aku yang sedang enggan membuka mata, semakin tenggelam dalam denyut jantung yang semakin lambat. Mataku semakin sayu dalam lelap. Tapi lamunan pagiku buyar bersama dengan teriakan suaramu yang semakin gaduh. Saat itu juga aku berharap apa yang kulihat beberapa waktu lalu juga hanya mimpi yang tak nyata dan selesai begitu teriakanmu membangunkanku. Akhir-akhir ini ada yang salah di antara kita, aku merasa apa yang kau lakukan, apa yang kau ucapkan, selalu membuatku naik pitam. Sejenak aku menyesal atas setiap kata-kata kasar yang aku ucapkan. Namun sedetik kemudian kaukembali membuatku harus berteriak dan melarangmu melakukan sesuatu yang seolah sama saja dengan memberimu perintah melakukan hal yang lebih gila. Kau seolah memiliki ratusan bahkan ribuan macam cara untuk membuat mataku mendelik dan otot pipiku terasa kaku karena menahan amarah.
Suatu siang, sepulang sekolah, kau berlari dari halaman memasuki rumah. Membanting pintu tanpa melepas sepatu. Aku mencoba menahan amarah, saat kulihat bekas lumpur di atas lantai dengan stempel sepatu yang kaubawa entah darimana karena kita tinggal di rumah tanpa halaman, dengan sedikit beranda menghadap jalan meski bukan jalan raya. Kulihat matamu membelalak besar penuh ceria saat kausantap kue hangat di atas meja.
“ Ma, kenapa papa tidak pulang?” singkat kau bertanya.
Siluet malam itu kembali datang meski samar. Aku hanya diam. Tak hendak menjawab pertanyaanmu sembari membereskan tas dan seragam merah putih yang kaulempar di atas kursi sembarangan.
“Aku tadi melihat papa. Papa sedang berjalan melewati jalan raya dekat pusat perbelanjaan di ujung jalan sana, tapi papa menggandeng tangan seorang wanita Ma. Dia sangat cantik dengan kacamata hitam besar dan kemeja warna pink. Kenapa papa menggandeng tangannya ya Ma? Apakah wanita itu juga tidak bisa menyeberang jalan raya sepertiku? Sebab papa juga selalu menggandeng tanganku setiap kali kita berjalan-jalan dan menyeberangi jalan raya karena takut aku tertabrak mobil atau sepeda. Papa bilang papa menyayangiku. Apa itu berarti papa juga menyayangi wanita itu?” kauterus mengoceh dengan kue penuh di mulutmu. Kalimat panjang yang menjadi tambang pencekik, membuat aku susah bernafas. Bahkan sesaat aku merasa jantungku berhenti berdetak.
“Sudah jangan banyak bicara, cuci kakimu, dan segera ganti baju.Kau masih berdiri diambang meja dengan mulut yang masih terus berbicara.
“Kalau nanti aku sudah dewasa, aku ingin secantik wanita itu Ma, tapi tidak...... Aku ingin seperti mama. Mama juga cantik. Mama juga pintar memasak, membuat kue, menguncir rambutku, dan masih banyak lagi. Iya kan Ma?”
“ Jangan banyak bicara, cuci kakimu, dan segera masuk kamar!” Tanpa kusadari nada bicaraku mendadak tinggi. Kau berhenti mengunyah dan mulai menangis.
“Kenapa Mama marah padaku?”
Saat itu juga aku baru menyadari betapa segala tingkah polahmu selalu memancing amarahku. Kata-katamu, gerak tubuhmu, senyummu, air matamu, rambutmu, matamu, bibirmu, dan semua yang ada padamu. Karena pada dirimu aku melihat pria itu, papamu, suamiku.
“Jangan pernah bertanya tentang papamu. Dia sudah pergi meninggalkan kita. Dia pergi dan tidak akan pernah pulang lagi, kautahu itu! Jadi jangan pernah bertanya lagi, karena papa lebih memilih wanita itu daripada kita.
Kemarahanku semakin menjadi, entah setan apa yang merasuki otakku. Kau masih terlalu kecil untuk mengerti bahkan memahami ini. Kau tidak seharusnya tahu semua ini, tapi amarahku tak terkunci. Kulempar tas dan seragammu. Aku seret kaumasuk kamar dan kubanting pintu. Saat itu juga tubuhku terasa lumpuh, air mata tak tersaring lagi. Amarahku tumpah menjadi-jadi.
Semua dimulai sejak hari itu. Hari di mana aku mendapati suamiku berada dalam satu selimut yang sama dengan seorang wanita. Wanita jalang yang selama ini aku kenal baik. Aku percaya. Aku terima sebagai penggantiku. Mengerjakan semua pekerjaanku di kantor. Kantor kecil yang aku rintis bersama suamiku. Aku harus mundur karena kewajibanku sebagai seorang ibu. Aku diharuskan menjaga anak kami dengan pertimbangan kelebihan energi yang ia miliki. Kemampuannya melakukan segala sesuatu melebihi teman-temannya, membuatku harus memberinya pengawasan ekstra. Tapi kini, bagiku semua ini hanya alasan. Hanya kedok. Aku membenci semuanya.
Pada suatu Minggu pagi, semua masih terasa abu-abu karena teriakanku dan teriakanmu yang hampir setiap hari bergantian kadang bersamaan mengisi rumah ini. Kaukembali memecah sinar mentari dengan teriakan dan tangismu yang membabi buta hanya karena setangkai bunga mawar. Kau menangis kencang pada pembantu, karena dia hampir mematahkan tangkainya.
“Kenapa kau menangis? Jangan berteriak. katakan pada Mama.” Aku masih bingung apa yang kautangisi dari setangkai mawar.
“Bibi hampir mematahkan mawarku. Mawarku patah mama!”
“Bukankah itu masih belum patah. Bahkan ada satu mawar lagi yang lebih mekar dan indah dari yang itu sayang.”
“Tapi itu mawarku. Sudah patah satu, sekarang mau patah lagi!”
“Iya, sudahlah. Mama tahu itu kau yang tanam. Sekarang kita pindahkan mawar ini ke beranda kamar saja, ya!” Aku menggandeng tanganmu dan merayu. Namun tampaknya rayuanku tak juga meluluhkan hati kerasmu. Kau semakin menangis menjadi-jadi, membuat aku kembali naik pitam dan memasukkanmu ke dalam kamar. Kau masih meraung-raung dengan tangismu dan menggedor pintu keras-keras dari sisi yang lain.
“Mama jangan kunci aku. Aku janji tidak akan menangis lagi. Lengking suaramu menusuk telinga dan hatiku, membuat mataku panas, air mataku menetes, mengalir, dan tak dapat kubendung lagi. Aku terisak. Kau berhasil membuat hari ini terasa sesak di dadaku. Sebenarnya bukan hanya hari ini, tapi juga hari-hari sebelum ini. Setelah hari itu.
*
Aku melihat kau menggambar dengan beberapa crayon berserakan di lantai, membelakangi pintu. Aku memutuskan untuk masuk kamarku dan mandi, berharap itu cara terbaik yang dapat melunturkan segala penat hari ini.
Waktu makan malam. Kau tertidur pulas di atas kertas gambarmu dengan crayon masih tergenggam. Seketika mulutku terasa bisu, saat aku melihat gambar di kertasmu. Gambar seorang wanita dan putri kecilnya, dengan bunga-bunga mawar di atas kepala mereka.
“Selamat ulang tahun Ma. Aku sayang Mama. Ma, aku tidak akan tanya-tanya papa lagi. Aku hanya ingin mama, karena mawar papa sudah patah dan papa tidak memakai mahkota mawar di atas kepalanya. Aku tidak akan nakal, tidak menangis, dan tidak berteriak. Asal mama berjanji tidak akan meninggalkanku dan menggandeng tangan orang lain seperti papa. Aku sayang mama.”
Hujan es mengguyurku malam itu. Mengaliri setiap lekuk saraf dan otakku. Aku merasa otakku berhenti bekerja. Yang kurasa hanya sesal. Betapa bodohnya aku, menjadi seorang ibu yang sama sekali tidak peka pada apa yang dirasakan buah hatinya.
Bukan hanya aku yang kecewa. Bukan hanya aku yang kehilangan, tapi juga dia. Putriku satu-satunya. Menjaga mawar yang kini tersisa. Yang tak ingin kembali kehilangan satu kuntumnya. Karena kini, hanya aku yang dia punya. Maafkan mama sayang. Mama bersalah, mama egois, mama hanya memikirkan perasaan mama. Mama akan bertahan untukmu, untuk kita, putri mawar mama.
Sejak malam itu aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan melupakan pria itu. Pria yang telah meninggalkan kami. Aku akan menjadi ibu yang kuat untuk putriku. Ibu yang akan selalu menjaganya. Hanya menggandeng tangannya dan tidak akan pernah menggandeng tangan siapa pun lagi, selain dia.


Tentang Penulis:
Elok Wulandari, tinggal di Mojosari. Seorang penggila karya-karya Kahlil Gibran. Saat ini sedang nyantrik di Komunitas Arek Japan (KAJ) untuk mengasah kemampuan menulis dan teater.

No comments:

Post a Comment