Oleh: Elok Wulandari
(Termuat di Radar Mojokerto, 26 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)
Temaram lampu tak
akan dapat menggantikan sinarmu meski saat ini engkau telah hangat kudekap. Hembus nafasmu terasa hangat mengaliri kulit ari
dan bulu halus di dadaku. Hanya ada bisik dalam hati, tak terucap, betapa kau
sungguh berarti. Maafkan mama sayang, tidak akan mama lakukan kesalahan serupa,
cukup sampai hari ini, malam ini.
Pagi itu mentari
tak bersinar seperti biasanya, kabut tipis menyelimuti halaman dengan tetes
gerimis mengetuk atap teras jendela kamar. Kamar ini terasa dingin, pengap. Begitu dingin dan pengap, sehingga dapat membuat aku yang sedang enggan membuka
mata, semakin tenggelam dalam denyut
jantung yang semakin lambat. Mataku semakin sayu dalam lelap. Tapi lamunan pagiku buyar
bersama dengan teriakan suaramu yang semakin gaduh. Saat itu juga aku berharap
apa yang kulihat beberapa waktu lalu juga hanya mimpi yang tak nyata dan
selesai begitu teriakanmu membangunkanku. Akhir-akhir ini ada yang salah di antara
kita, aku merasa apa yang kau lakukan, apa yang kau ucapkan, selalu membuatku
naik pitam. Sejenak aku menyesal atas setiap kata-kata kasar yang aku ucapkan. Namun sedetik kemudian kaukembali membuatku harus
berteriak dan melarangmu melakukan sesuatu yang seolah sama saja dengan
memberimu perintah melakukan hal yang lebih gila. Kau seolah memiliki ratusan
bahkan ribuan macam cara untuk membuat mataku mendelik dan otot pipiku terasa
kaku karena menahan amarah.
Suatu siang, sepulang sekolah, kau berlari dari halaman memasuki rumah. Membanting pintu tanpa melepas sepatu. Aku
mencoba menahan amarah, saat kulihat bekas lumpur di atas lantai dengan stempel
sepatu yang kaubawa entah darimana karena kita tinggal di rumah tanpa halaman,
dengan sedikit beranda menghadap jalan meski bukan jalan raya. Kulihat matamu
membelalak besar penuh ceria saat kausantap kue hangat di atas meja.
“ Ma, kenapa papa
tidak pulang?” singkat kau bertanya.
Siluet malam itu kembali datang meski
samar. Aku hanya diam. Tak hendak menjawab pertanyaanmu sembari membereskan tas dan seragam merah
putih yang kaulempar di atas kursi sembarangan.
“Aku tadi melihat
papa. Papa sedang berjalan melewati jalan raya
dekat pusat perbelanjaan di ujung jalan sana, tapi papa menggandeng tangan seorang wanita Ma. Dia sangat cantik dengan kacamata hitam
besar dan kemeja warna pink. Kenapa papa menggandeng tangannya ya Ma? Apakah wanita itu juga tidak bisa
menyeberang jalan raya sepertiku? Sebab papa juga selalu menggandeng tanganku setiap kali kita
berjalan-jalan dan menyeberangi jalan raya karena takut aku tertabrak mobil atau sepeda. Papa
bilang papa menyayangiku. Apa itu berarti papa juga menyayangi wanita itu?” kauterus
mengoceh dengan kue penuh di mulutmu. Kalimat panjang yang menjadi tambang
pencekik, membuat aku susah bernafas. Bahkan sesaat aku merasa jantungku
berhenti berdetak.
“Sudah jangan
banyak bicara, cuci kakimu, dan segera ganti baju.” Kau masih berdiri diambang meja dengan mulut yang masih
terus berbicara.
“Kalau nanti aku
sudah dewasa,
aku ingin secantik wanita itu Ma, tapi tidak...... Aku ingin seperti mama. Mama juga cantik. Mama juga pintar memasak, membuat kue,
menguncir rambutku, dan masih banyak lagi. Iya kan Ma?”
“ Jangan banyak
bicara, cuci kakimu, dan segera masuk kamar!” Tanpa kusadari nada bicaraku mendadak tinggi. Kau
berhenti mengunyah dan mulai menangis.
“Kenapa Mama marah
padaku?”
Saat itu juga aku
baru menyadari betapa segala tingkah polahmu selalu memancing amarahku.
Kata-katamu, gerak tubuhmu, senyummu, air matamu, rambutmu, matamu, bibirmu,
dan semua yang ada padamu. Karena pada dirimu aku melihat pria itu, papamu, suamiku.
“Jangan pernah
bertanya tentang papamu. Dia sudah pergi meninggalkan kita. Dia pergi dan tidak akan pernah pulang
lagi, kautahu itu! Jadi jangan pernah bertanya lagi, karena papa lebih memilih wanita
itu daripada kita.”
Kemarahanku semakin
menjadi, entah setan apa yang merasuki otakku. Kau masih terlalu kecil untuk
mengerti bahkan memahami ini. Kau tidak seharusnya tahu semua ini, tapi amarahku tak terkunci. Kulempar tas dan
seragammu. Aku seret kaumasuk kamar dan kubanting pintu. Saat itu juga tubuhku
terasa lumpuh, air mata tak tersaring lagi. Amarahku tumpah menjadi-jadi.
Semua dimulai sejak
hari itu. Hari di mana aku mendapati suamiku berada dalam satu selimut yang sama dengan
seorang wanita. Wanita jalang yang selama ini aku kenal baik. Aku percaya. Aku terima sebagai penggantiku. Mengerjakan semua pekerjaanku di kantor.
Kantor kecil yang aku rintis bersama suamiku. Aku harus mundur karena kewajibanku
sebagai seorang ibu. Aku diharuskan menjaga anak kami dengan pertimbangan
kelebihan energi yang ia miliki. Kemampuannya melakukan segala sesuatu melebihi
teman-temannya,
membuatku harus memberinya pengawasan ekstra. Tapi kini, bagiku semua ini hanya
alasan. Hanya kedok. Aku membenci semuanya.
Pada suatu Minggu pagi,
semua masih terasa abu-abu karena teriakanku dan teriakanmu yang hampir setiap
hari bergantian kadang bersamaan mengisi rumah ini. Kaukembali memecah sinar
mentari dengan teriakan dan tangismu yang membabi buta hanya karena setangkai
bunga mawar. Kau menangis kencang pada pembantu, karena dia hampir mematahkan tangkainya.
“Kenapa kau
menangis? Jangan berteriak. katakan pada Mama.”
Aku masih bingung apa yang kautangisi dari setangkai
mawar.
“Bibi hampir
mematahkan mawarku. Mawarku patah mama!”
“Bukankah itu masih belum patah. Bahkan ada satu mawar lagi yang lebih
mekar dan indah dari yang itu sayang.”
“Tapi itu mawarku. Sudah patah satu, sekarang mau patah
lagi!”
“Iya, sudahlah. Mama tahu itu kau yang tanam. Sekarang kita pindahkan mawar ini ke beranda
kamar saja, ya!” Aku menggandeng tanganmu dan merayu. Namun tampaknya rayuanku tak juga
meluluhkan hati kerasmu. Kau semakin menangis menjadi-jadi, membuat aku kembali naik pitam dan
memasukkanmu ke dalam kamar. Kau masih meraung-raung dengan tangismu dan
menggedor pintu keras-keras dari sisi yang lain.
“Mama jangan kunci
aku. Aku janji tidak akan menangis lagi.” Lengking suaramu menusuk telinga dan hatiku, membuat mataku panas, air mataku menetes,
mengalir, dan tak dapat kubendung lagi. Aku terisak.
Kau berhasil membuat hari ini terasa sesak di dadaku. Sebenarnya
bukan hanya hari ini, tapi juga hari-hari sebelum ini. Setelah hari itu.
*
Aku melihat kau
menggambar dengan beberapa crayon berserakan di lantai, membelakangi pintu.
Aku memutuskan untuk masuk kamarku dan mandi, berharap
itu cara terbaik yang dapat melunturkan segala penat hari ini.
Waktu makan malam. Kau tertidur pulas di atas kertas gambarmu dengan crayon
masih tergenggam. Seketika mulutku terasa bisu, saat aku melihat gambar di kertasmu. Gambar seorang wanita dan putri kecilnya, dengan bunga-bunga mawar di
atas kepala mereka.
“Selamat ulang
tahun Ma. Aku sayang Mama. Ma, aku tidak akan
tanya-tanya papa lagi. Aku hanya ingin mama, karena mawar papa sudah patah dan papa
tidak memakai mahkota mawar di atas kepalanya. Aku tidak akan nakal, tidak menangis, dan
tidak berteriak. Asal mama berjanji tidak akan meninggalkanku dan menggandeng
tangan orang lain seperti papa. Aku sayang mama.”
Hujan es
mengguyurku malam itu. Mengaliri setiap lekuk saraf dan otakku. Aku merasa otakku berhenti
bekerja. Yang kurasa hanya sesal. Betapa bodohnya aku, menjadi seorang ibu yang
sama sekali tidak peka pada apa yang dirasakan buah hatinya.
Bukan hanya aku
yang kecewa. Bukan hanya aku yang kehilangan, tapi juga dia. Putriku satu-satunya. Menjaga mawar yang kini tersisa.
Yang tak ingin kembali kehilangan satu kuntumnya. Karena
kini, hanya aku yang dia punya. Maafkan mama sayang. Mama bersalah, mama egois, mama hanya
memikirkan perasaan mama. Mama akan bertahan untukmu, untuk kita, putri mawar
mama.
Sejak malam itu aku
berjanji pada diriku sendiri. Aku akan melupakan pria itu. Pria yang telah meninggalkan kami. Aku
akan menjadi ibu yang kuat untuk putriku. Ibu yang akan selalu menjaganya. Hanya menggandeng tangannya dan tidak akan
pernah menggandeng tangan siapa pun lagi, selain dia.
Tentang
Penulis:
Elok
Wulandari, tinggal di Mojosari. Seorang penggila karya-karya
Kahlil Gibran. Saat ini sedang nyantrik di Komunitas Arek Japan (KAJ) untuk
mengasah kemampuan menulis dan teater.
No comments:
Post a Comment