Thursday 16 May 2013

Pengumuman Roangga




Cerpen Nasrulloh Habibi*)
(Dimuat di Harian Republika, 12 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)

            Lelaki yang memakan waktu separuh abad lebih itu akhirnya telah tiada. Setelah sekian lamanya menjerang nasib dalam lilitan usia dan yang melelahkan. Ia meninggal dalam keadaan tenang dan tersenyum segar. Mati yang sekian hari ia nanti dalam tepi  keterputusasaan hutang  tak terperi. Beberapa kali serangan jantung itu membuat kami anak-anaknya was-was dan mengomatkamitkan doa apa saja. Dan serangan yang terakhir inilah, saat penantiannya yang terindah. Saat bibirnya menyebut ayat Tuhan di tahiyat akhir pada sebuah Subuh. Dan merasakan detak jantung yang berdenyut tak teratur semenjak lama. Tanpa perawatan sebagaimana mestinya. 

            Ia ayahku, berpulang dalam penantian hidup yang melelahkan bagiku, setidaknya mungkin bagi dirinya. Dalam kematian senja yang indah. Orang-orang lalu berbondong-bondong mengitarinya yang telah terbungkus kafan kasar nan putih. Hujan tangis bercucuran rebah menumpah ke bumi dari air mata mereka yang kehilangan. Aku sedikit bersyukur dalam hal ini. Meski ada gurat sesal yang mesti menjalar pelan menusuk kalbu. Air genangan bekas memandikan ayah pun pelan dan seolah enggan meresap pekarangan sedari waktu yang berlalu. Wanginya masih lekat kukenal, sisa daki keringat tuanya yang sekian tahun takkan pernah kulupa. Ah, sosok itu, kenapa harus senaas ini takdirnya. Menukar kebebasan dan senyum putra-putrinya dengan ajal yang kian lama menjemput. Sekali lagi aku tetap bersyukur, setidaknya aku tak terlalu menyesal semasa menemani menjemput ajalnya kini.
*****
            Sebelumnya, aku sering mendapat telepon ayah. Ia selalu menyuruhku lekas pulang untuk menjenguk rumah. “Pulanglah Nak, ibumu menghilang entah ke mana…” tak ayal aku  pulang meski malas tetap ada. Aku harus merelakan waktu tempuh sepuluh jam lebih dan jatah kocek selama seminggu dalam sebulan untuk memenuhi panggilan ayah dari Yogya ke Mojokerto. Sesampainya, aku selalu mencium punggung tangannya yang menua. Dan seperti biasa ia suka curhat tentang ini itu. Tentang masalah yang sama dan itu-itu saja. Sampai aku bosan. 

           “Jika tidak kuat tinggalkan saja Ibu, aku siap hidup tanpanya…” suatu ketika kata-kata itu menelusup ke daun telinga ayah. Dan kata-kata itu kini sudah lapuk. Tak ada gunanya mengulang pernyataan yang sama. Aku tetap menemani curhat ayah yang itu-itu tadi. Tentang ibu yang berkicau dan suka meraung tak jelas, adik lelaki yang tak punya banyak mimpi, dan kakak yang menjadi regenerasi ibu.

Semua masalah itu terdengar klise di tengah masa pendidikanku. Di bangku perkampusan yang bergengsi dan berbudaya, Fakultas Ilmu Budaya di UGM atas mengadu nasib dengan anak panah melalui tes pada umumnya.

Seperti saat-saat kepulanganku di rumah. Aku melihat adik sedang syahdu bermimpi-mimpi di kasur reotnya. Lalu, tampak kakak sibuk menghitung-hitung pengeluaran untuk keperluan perut ke bawah. Entah kenapa sejak ia menikah dengan rentenir, otak kirinya menjadi melebihi profesor. Tak terlebih nuraninya. Sebutir nasi yang ditelan selain dirinya musti dihitung. Tak ubahnya hutang.

Baginya ia sudah menjadi tanggung jawab orang lain. Dan uang yang ia pegang ialah harus seizin suami yang ganas itu jika menagih utang pada pelanggan. Nyatanya kakak masih menempelkan hidup dengan suaminya di rumahku.

Aku mafhum dengan kondisi ayah yang seperti itu. Ketika bertahun-tahun kukenali kening ayah yang semakin berkerut. Rasanya tak ada yang aneh dari semua ini. Kegelisahan yang sama dan selalu membikin kebaruan luka. Kini ibu masih menghilang. Yang kudengar dari tetangga atau sanak “Ibumu sering dijemput lelaki berseragam coklat muda dengan mobil dinasnya sepulang  dari pabrik”.

Di tengah gemuruh rumah tangga yang kelabu dan pertengkaran ayah-ibu aku sering menghilang. Biasanya aku akan menghilang usai ibu menumpahkan magma di hatinya perihal hutang dan kebutuhan yang semakin membiak kepada ayah dan seisi rumah. Lalu, mulutnya akan menyumpahserapahi apa pun, tak lain ayah sebagai tersangka utama. Begitu juga adikku, lenyap secepat kilat. Tidak dengan kakak. Ia lebih memilih menenggelamkan diri di ruangan pribadi dengan suaminya yang selalu terbangun menjelang bedug1

“Ayahmu kian kurus dan sakit-sakitan Man, seringlah pulang. Jika kau di rumah ayahmu sedikit terang wajahnya.” Suatu ketika paman menasihati di tengah malam keheninganku menatap langit. Lalu aku sering pulang memenuhi panggilan dan nasihatnya. Memang benar ayah tenang di tengah kehadiran dan detik-detik kepulanganku. Kutengok ia yang semakin tua menghabiskan masa. Hari-harinya meski tenggelam di sekolahnya yang hampir roboh dan kusam. Jika tidak, pagi menjelang bedug separuh geraknya menghabiskan umur di pasar desa menjual tikar pandan, gerabah, dan terompah. Setelah itu, ia beranjak mengajar di rumah ibadahnya. Di kampungku ayah menempati pendidikan yang cukup terpandang. Walau hanya tamatan Pendidikan Guru Agama (PGA) di tahun tujuh puluhan.

Hingga menjelang hayatnya, ia masih menghibahkan umurnya untuk yayasan warisan leluhur. Pasar dan dunia pendidikan adalah dua mata uang hidupnya yang tak terpisahkan. Keduanya memiliki dunia sendiri namun bergandengan dan menguatkan. Tak ada kata mengeluh dalam segala keterbatasan. Kasihan ia, sedari dulu hidupnya hanya untuk ibu, anak-anaknya, dan yayasan sekolah, lain tidak. Jika sudah begitu yang terjadi ialah tuntutan ini itu yang bermunculan dan menambah kerut di dahinya yang coklat tua. Saat kami memandang gedung sekolah yang dindingnya kusam itu ia bergumam pelan.

“Lihatlah anak-anak desa yang bersekolah itu, hanya pada mereka tersimpan jariyahku kelak saat tiada. Kuharap kaubisa meneruskannya, ini pesan si mbahmu sebelum wafat.”
“Tidak ada pesan lain ayah?”
“Tidak, tapi jika kau punya mimpi lain, bolehlah. Asal kaupenuhi harapan ayah yang satu ini. Mimpi tak harus satu, tapi harus tinggi dan banyak. Apa mimpimu Nak?”
“Aku ingin seperti ayah tentu. Akrab dengan kesabaran dan ikhlas.”
“Demikiankah, tapi ayah gemar curhat katamu?”
“Tak mengapa, toh itu membuat ayah menjadi tenang di kala badai keluarga kita. Aku bahagia jika ayah tenang.”
“Ayah membaca tulisanmu di koran. Kau tak suka orang gemar curhat.”
“Ah, itu hanya kepada mereka yang hanya curhat dan tak mau naik kelas dari tempatnya berada, ayah lain.”
“Bagaimana ayahmu?’
“Curhat ayah adalah wasiat. Ayah tak sekadar curhat tapi merakitnya dengan bingkai pesan dan cinta.”
“Kau memang anak yang paling kubanggakan, jagalah adik-kakakmu jika ayah tiada kelak.”
“Aku akan menjadi pengganti ayah?”
“Tentu, kelak kau akan seperti ayah, seperti mimpimu. Bahkan lebih baik. Orang yang beruntung adalah yang bertambahnya kecemerlangan lahir batin di hari esoknya.”
“Pasti! Hari esok akan kuukir cemerlang lebih besar.”
“Mari pulang, senja akan datang dan waktunya kita lekas mendahului berbuka.”

Kami pulang berbonceng bebek merah kepunyaan ayah tahun generasi pertama. Warna keberanian menantang badai dan rintangan. Dan jalanan ke rumah adalah jalanan yang panjang kami lalui. Penuh lubang dan kelokan tajam. Lihat saja. Di rumah, kami disuguhi dengan ceracau ibu yang sedang bergelut dengan setumpuk jemuran yang enggan kering. Bisa ditebak bakal apa yang terjadi. Sembari membanting tutup panci yang pudar warnanya ia bersungut.

“Roangga datang lagi, aku tidak betah bermelas-melas dengannya. Bulan depan rumah kita akan disegel.”
“Harus bagaimana aku, sudah kuusahakan apa pun. Namun, semua hanya bisa bertahan. Bersabarlah barang sejenak. Kasihan anak-anakmu harus panik tiap kau berkata kasar.”
“Baik, mereka akan segera tenang sebentar lagi dan makan sendiri kesabaranmu. Aku tak sudi.”

Jika demikian, aku lekas hilang entah ke mana. Meninggalkan ayah yang kalang kabut menghadapi ibu. Dan lainnya akan memilih mendekap bisu. Sebuah dramatisasi yang sering berulang dengan berbagai macam klimaks adegan. Kadang memuncak. Kadang juga tertumpah haru biru kesedihan. Tanpa disadari, di Maghrib yang seharusnya menikmati buka yang khidmat itulah aku terakhir bertemu ibu, juga ayah.

*****

Kini aku sedang bersimpuh sebelah jenazah ayah. Kubisikkan pelan seraya terus menerus ayat-ayat suci. Sedemikian rupa kuusahakan airmata tak tumpah, karena aku tahu dia tidak suka itu. Kelegaan sedikit menyeruak lantaran banyak yang menyalatinya. Lebih dari empat puluh orang. Kebanyakan dari teman yayasan dan takmir masjid. Rahmat, murid ayah dan teman-temannya yang berjumlah sepuluh menjadi penambah sesak jamaah.

Untuk urusan kematian. Orang-orang lekas bergerak dengan sendirinya. Kerabat, sanak, saudara, teman, dan tetangga cekatan melakukan pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Ada yang menggali kuburan, menanak nasi, menakar beras dari pelayat, dan banyak lagi.

Di saat duka-dukanya aku tak melihat adik. Mungkin ia sedang mengutuki stresnya. Entah juga kakak. Aku hanya ingat setiap Kamis begini, ia menemani suaminya narik. Biasanya mereka pulang tengah malam dengan membawa jajanan yang disembunyikan dalam tas dinasnya. Ah, apa yang harus kukatakan pada ayah nanti sewaktu mengiring jenazahnya di pembaringan terakhir jika mereka tak turut. Biarlah aku akan meminta maaf. Akan kuurus nanti.

 Apa?! kawanan penagih itu juga muncul. Roangga, Ratiman, Lamangun, dan... Mungkin mereka datang untuk membebaskan tunggakan ayah, sekali lagi tersusup perasaan lega yang janggal di hati. Dan tibalah saat itu, sudah waktunya. Keranda sudah dipersiapkan. Tubuh ayah dimasukkan. Suara tahlil2 bergemuruh merdu.

Ketika jenazah ayah terkubur dalam gundukan tanah dan taburan kamboja. Tibalah  Mudin Rohim membacakan tahlil. Seusainya warga diharap mendengar pesan darinya. “Hadirin  di sini perlu saya sampaikan beberapa pesan mengenai hal yang bersangkutan dengan saudara kita Abdurrahman Bin Abdullah. Sebagai manusia yang bersosial tentu beliau pernah melakukan khilaf pada sesamanya baik yang disengaja maupun tidak. Dengan demikian, perkenankanlah saya atas nama keluarga menghaturkan permohonan maaf jika almarhum mempunyai salah. Selanjutnya saudara-saudara yang merasa almarhum memunyai tanggungan harap mengikhlaskannya atau langsung menghubungi keluarga. Terima kasih, wassalamualaikum…”

Suara Mudin Rohim langsung disambut suara lain yang sangat kukenal. Dengan mengucap salam yang keras dan berlebihan suara itu bergerak. “Assalamualaikum... Perkenankanlah saya ingin mengumumkan bahwa saudara almarhum  masih mempunyai hutang senilai enam puluh juta rupiah dan telah menunggak angsuran selama lima bulan terakhir dan jika dalam bulan terakhir ini keluarga belum melunasi, maka rumah almarhum beserta isinya akan disita oleh pihak yang berwenang.” Orang-orang saling pandang. 

Mataku tak mau berkedip sebab bukan karena Roangga, melainkan orang di sebelahnya yang memeluk erat lengan rentenir itu, ia ibuku. Apakah ibu jadi berubah pikiran. Lantas, apakah rentenir itu tidak paham kata Mudin Rohim tadi. Aku yakin orang-orang juga berpikiran sama mengenai  Roangga dan ibu.

Paras, 19 Maret 2013.

 Catatan.
:  Waktu salat Dhuhur.
2: Bacaan ayat suci al-Quran (Laailahaillallah Muhammadarrasulullah), biasa dibacakan berulang kali saat mengiring jenazah umat Islam ke pemakaman.





*)Nasrulloh Habibi dilahirkan di Mojokerto, 22 Mei 1988. Hobi mengoleksi buku semenjak kuliah dan menghabiskan waktu dengan jalan-jalan, membaca, menulis, dan menghadiri acara keseneian. Seorang penikmat seni dan budaya. Menyelesaikan pendidikan sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  Universitas Negeri Surabaya (UNESA) pada tahun 2010. Semasa kuliah sempat Aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan dan Fakultas Bahasa dan Seni. Mulai menulis puisi, cerpen, esai, dan resensi sejak tahun 2008. Pernah tergabung dalam beberapa forum diskusi sastra dan seni seperti Komunitas Rabo Sore (KRS), Komunitas Bangbang Wetan, Halte Sastra (DKS), Komunitas Arek Japan (KAJ) dan Teater Institut (TI). Pernah turut sebagai salah satu aktor latar dalam naskah Nyai Ontosoroh oleh R. Giryadi diadaptasi dari Novel Bumi Manusia karya Pramoediya Ananta Tour di Jakarta. Taman Budaya dan Kesenian Ismail Marzuki (TIM) Festamasio IV.
Sejumlah karyanya dimuat di beberapa media dan antologi bersama seperti Majalah Sesasi, Tabloid Gema, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Radar Madura, Berita Metro, Buletin KRS, Metamorfosis Kepak (Antologi Puisi Bersama), Kusir Bulan Gunjai (Antologi Puisi dan Cerpen Bersama), dan Tentang Kami Para Penghuni Sorter (Antologi Cerpen Mojokerto). Pernah nyantri dan tinggal di Pon. Pes. Sabilillah Lidah Wetan No. 17 A Surabaya dan Pon. Pes. Fathcul Ulum II Pacet, Mojokerto. Saat ini menjadi staf tenaga pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus pembimbing kegiatan ekstrakurikuler Penulisan Kreatif dan Jurnalistik di SMP Unggulan Berbasis Pesantren, SMA Unggulan Berbasis Pesantren, dan MTs. Program Akselerasi Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto. Sesekali diundang sebagai juri lomba baca puisi dan pidato tingkat SD di Gresik dan Surabaya. Aktif bergiat di Komunitas Arek Japan dan menjadi anggota redaksi bulletin Jurnal Lembah Biru beralamat di (bibisabil@yahoo.com) dan NasrullohHabibi.blogspot.com Nomor yang bisa dihubungi:  085730066188. 





No comments:

Post a Comment