Friday 27 June 2008

analisis cerpen

PERLAWANAN KULTURAL DAN PERTALIAN TEMA
DALAM CERPEN ‘PUSARAN LUBUK PENGANTIN’
DAN CERKAK ‘DEN MAS MARGOPOK’



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sabda klasik yang masih bergema dalam setiap pembelajaran sastra adalah sabda yang diucapkan Plato, yang begini bunyinya: sebuah karya sastra adalah jiplakan dari masyarakat. Artinya, Plato paham benar bahwa; tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya (creato ex nihilo). Dalam keberkaitannya dengan latar budaya, dunia yang disajikan karya sastra adalah tetap sebuah dunia yang imajinatif, ( Wellek-Warren, 1990:14) sebab komponen inilah yang membedakan pengarang dengan seorang fotografer.
Kerena sebuah karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, (Teeuw, 1983:15) mengatakan dalam kitabnya, bahwa untuk memahami karya sastra perlu memperhatikan tiga sasmita yaitu: kode sastra, kode bahasa, dan kode budaya. Dalam kode sastra yang perlu diperhatikan adalah adalah kode individual yang dicomot oleh pengarang; dalam kode bahasa yang perlu diperhatikan prinsip ekuidensi (kesepadanan), dan prinsip devisi (penyimpangan); dan dalam kode budaya perlu dilihat lingkup budaya di mana karya sastra itu diciptakan, yang mencakup: lingkungan sosial dan adat istiadat setempat.
Menurut Hutomo, di dalam karya sastra selalu terjadi dialog antara teks dalaman dan teks luaran (Hutomo, 1983:13). Teks dalaman merupakan komponen yang membangun karya sastra, sedangkan teks luaran bertugas membangun unsur di luar karya sastra, yang dalam makalah ini berkaitan dengan setting budaya yang diboyong oleh pengarang. Dialog tersebut menjadi suatu keseimbangan antara karya sastra dengan komponen-komponen yang ada di luar karya sastra, antara otonomitas dengan latar budaya.
Latar budaya menjadi perhatian sentral dalam makalah ini, di mana kode budaya hadir dan menjadi titik perhatian pengarang, baik dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ (PLP), karya Raudal Tanjung Banua dan cerkak ‘Den Mas Margopok’ (DMM), karya Ismoen Rianto, di mana budaya dan adat istiadat Sumatra dibingkai oleh Raudal dalam cerpennya seperti halnya budaya Jawa yang dikemas dalam cerkak Ismoen. Kedua cerpen tersebut berkisah tentang bagaimana sebuah upacara pernikahan dihadapkan dengan tradisi kultural dan adat istiadat yang berlaku di kedua tempat.
Pada cerpen pertama (PLP) seorang pengantin terpaksa meninggalkan rumah persis setelah malam pertama karana di luar kesengajaannya perempuan itu telah melanggar tradisi setelah ketahuan tidak perawan, dan harus membayar denda moral dan material. Pada cerkak (DMM) konflik terjadi karena pasangan pengantin dianggap menentang adat kultural atau nyingkur pranatan dengan tidak mengindahkan Numerology Jawa yang berupa neptu yang dilarang secara matematis-jawa. (setidaknya satu alasan yang menjadikan (semacam) penulis membandingkan dalam kepentingan tugas sastra bandingan).
Menurut Renok, kajian sastra bandingan meliputi kajian sejarah, persamaan tema, persamaan dan perbedaan, hubungan tema, masalah yang diangkat, genre, dan style. Dalam makalah ini yang akan dikaji dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan cerkak ‘Den Mas Margopok’ adalah sebatas pada perlawanan kultural dan pertalian tema dalam kedua karya tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan seperangkat latar belakang di atas, rumusan masalah dalam (semacam) makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana perlawanan kultural dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan cerkak ‘Den Mas Margopok’?
Bagaimana pertalian tema dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan ‘Den Mas Margopok’?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kilasan Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan Cerkak ‘Den Mas Margopok.’

2.1.1 Kilasan Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’
Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ adalah sebuah miniatur dicomot dari Sumatra Barat. Cerpen tersebut berkisah bagaimana seorang pengantin (Banun) yang terpaksa meninggalkan rumah persis setelah malam pertama. Tradisi yang berlaku mengharuskan seorang yang tidak perawan harus menanggung denda moral dan material. Lihat kutipan berikut:
Sebab orang-orang telah sepakat (ah, seturut adat!): kain yang tak bernoda justru pertanda dosa dan noda. Ibarat kelapa, Sanak, diri perempuan diamsal mumbang atau kelapa tekong, sisa kumbang atau tupai jatuh terbuang. Kalau sudah begini tak ada alas an melanjutkan perkawinan. Jalan satu-satunya tetap tunduk pada aturan adapt: pihak perempuan harus membayar denda tunai kepada pihak lelaki, seberapapun mereka maui. Ada yang meminta kerbau dan pedati, bahkan sawah-sawah yang diteruka. Meski dengan itu, aib dan hina tak begitu saja enyah, disesah gunjing tak berkesudah….
Dalam cerpen ini akan sangat terasa betapa tradisi kultural yang berlaku adalah tradisi patrilinial yang sangat menguntungkan dan dimonopoli oleh kaum laki-laki. Lihat sepotong potongan berikut:
Saat itu kain tetoron yang menjadi bukti keperawanan seorang perempuan, tapi tidak seorang laki-laki diletakkan di atas tilam – selayaknya kesucian orang langgekan – lalu dipertontonkan kepada kedua belah pihak sampai tak ada lagi keraguan…
Tradisi lapuk yang uasang inilah yang oleh tokoh Banun dan tokoh Bu Suniar karena dirasa sangat tidak adil dan menindas kaum perempuan. Lihat kutipan berikut:
Ia tahu adat sopan-santun, tak kenal lelah namun juga keras dalam urusan pendirian. Suniar berani berterus terang tentang apa yang ia lihat dan ia rasakan, semisal soal perempuan bunting yang harus membantu suaminya ke sawah-ladang. Ia menyarankan sepenuhnya istirahat; biarlah menggaruh dan menanam sementara ditangani laki-laki…

2.1.2 Kilasan Cerkak ‘Den Mas Margopok.’
Cerkak ‘Den Mas Margapok’ bercerita tentang bagaimana pasangan pengantin yang nyingkur pranatan dan tidak mengindahkan numerology-jawa. Konflik terjadi setelah Margapok (tokoh sentral dan senioritas desa) menunjukan bahwa acara resepsi pernikahan yang berlangsung telah melanggar aturan jawa. lihat kutipan berikut:
Margapok sedhelo-sedhelo nggereng, maedo seng duwe gawe seng jarene nyingkur pranatan, nerak wewaton, ora nguwongake babar pisan…
Numelorogi jawa adalah suatu perhitungan matematis yang menurut Suwardi Endrasworo (2003:19) adalah perhitungan yang menggunakan otak-atik-matuk. Missalnya, perhitungan berdasarkan neptu dan mitos ganjil yang sangat erat dengan pola pikir orang jawa yang tidak bisa dinalar dan irasional namun masih dipercaya oleh orang yang ngaku njawani. Lihat potongan berikut:
Sing dienggo patokan dina pasaran lan dina Neptune penganten loro-lorone. Sing lanang Seloso kliwon. Seloso telu, kliwon wolu, gunggunge suwelas. Penanten wadon lahire Seloso Pon, Seloso telu, Pon pitu, gunggunge sepuluh. Loro-lorone, gunggunge selikur…
Perhitungan yang tidak rasional itu, yang dianut secara temurun itu, terkadang dalam kehidupan orang jawa sangat disakralkan dan tidak jarang merepotkan. Pola pikir yang tidak rasional inilah yang akan ‘dilawan’ oleh tokoh (pasangan mempelai) dalam cerkak DMM.



2.2 Perlawanan Kultural dalam Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan Cerkak ‘Den Mas Margopok’

a. Perlawanan Kultural dalam Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’.
Dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ pelawanan cultural lebih terfokus pada tradisi patrilinal yang didominasi oleh kaum laki-laki. Semua pranata yang melekat pada budaya setempat umumnya dibuat untuk kepentingan laki-laki, tidak terkecuali persaratan dalam sebuah pernikahan. Itulah yang menyebabkan tokoh Banun dan Bu Suniar marah melihat kesewenangan yang diawetkan oleh kaum laki-laki. Lihat potongan berikut:
Ia akan marah besar melihat perempuan yang sakit atau tak enak badan, apalagi menjalani masa nifas dipaksa berkerja sendirian. Suami selalu minta didampingi tak peduli istri hamil besar; tapi giliran istri sakit atau melahirkan suami tak pernah perduli…
b. Perlawan Kultural dalam Cerkak ‘Den Mas Margopok.’
Dalam cerkak ‘Den Mas Margopok’ perlawanan cultural lebih kearah kepercayaan yang dianut orang Jawa secara turun-temurun yang tidak rasional namun, sangat disakralkan oleh sebagian orang jawa yang mengaku njawani. Tradisi numerology dan otak-atik-matuk inilah yang diterak oleh pasangan pengantin yang neptu-nya dipercaya kurang baik dan bisa mendatangkan molo atau musibah.

2.3 Pertalian Tema Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan Cerkak ‘Den Mas Margopok’
Tradisi merupakan pola hidup yang diwariskan antar generasi. Tradisi hidup, dianut, dan berkembang dalam suatu masyarakat sebagai suatu pola yang mengikat masyarakat dalam suatu tatanan yang tunggal dan seragam.
Tuntutan hidup yang selalu bergeser dan berkembang sesuai desa-kala-patra-nya, dihapapkan dengan tradisi yang dianut suatu masyarakat terkadang sering tidak relevan dengan tuntutan zaman. Cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan ‘Den Mas Margopok’ adalah sebuah cerita yang menunjukkan ketidakrelevanan suatu pola tradisi yang dianut masyarakat setampat. Sehingga ada (semacam) persamaan dan pertalian tema antara keduanya, yaitu: ‘melawan’ tradisi yang kadaluarsa dan tidak relevan tersebut. Dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ perlawanannya lebih kearah tradisi patrilinial yang lebih menguntungkan pihak laki-laki; sedangkan dalam cerkak ‘Den Mas Margopok’ lebih memfokus pada sistim numerology dan pola otak-atik-matuk sebagai ilmu matematis orang jawa yang tidak rasional namun oleh sebagian orang jawa sangat disakralkan.

BAB III
PENUTUP

Sebuah karya sastra adalah jiplakan realitas yang imajinatif. Di sana fakta bersetubuh dengan fiktif yang membawanya ke sebuah kenikmatan yang otonom dan bebas. Oleh karena itu memahami tiga kode untuk memahami suatu karya sastra yang ‘licin’ dan berlapis, menjadi penting. Dalam cerpen ‘Pusaran Lubuk Pengantin’ dan cerkak ‘Den Mas Margopok’ kode budaya mempunyai kedudukan yang sentral, karana ada nuansa tradisi yang mencirikan budaya Sumatra Barat dan Budaya Jawa dalam cerita tersebut
Ada dua persamaan yang manunggal dalam cerpen tesebut yaitu: pertalian tema yang menyuguhkan ‘perlawanan’ cultural dari budaya masa yang sudah tidak sesuai dengan desa-kala-patra.



DAFTAR PUSTAKA

Banua, Raudal, Tanjung. Pusaran Lubuk Pengantin. Horison. 2004.
Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa.
Hutomo, Suripan, Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. PT. Gaya Masa.
Rianto, Ismoe. Den Mas Margopok. Jaya Baya. 2005.
Wellek& Warren. 1990. Teori Kesusstraan: Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.

No comments:

Post a Comment