Tuesday 20 October 2009

puisi-puisi akhmad fatoni

Ceritakanlah tentang sebuah cinta

Di bukumu, kau tempelkan foto-foto lelaki
seperti kancing-kancing yang melekat di bajumu
dari atas hingga bawah bahkan
di saku juga terkadang ada di atas bahu

membuka bajumu, aku bingung memilih kancing
yang mana akan kubuka terlebih dahulu. Kancing
di sakumu
tempat kau menyimpan lelaki
dari matamu

di bagian lain, entah siapa yang mendesain baju
sehingga begitu banyak
kancingnya, sedangkan hidup
harus memilih, seperti
warga yang merasa wajib mengeluarkan
suara untuk memilih pemimpin yang
kelak menipunya

ingatanku sangat lemah, kau tahu sendiri bahwa
aku sakit-sakitan, dan
kau takut bila sakitku kambuh.
Dan memilih memberiku cinta, tapi
tanpa tau, bahkan kau hanya
ingin membuat sebuah catatan tentang
cinta untuk kau ceritakan padaku
bahwa cinta akan melahirkan derita

sajak akhmad fatoni

jauh

jauh sebelum kau menaburi tamanku dengan bunga-bunga
airmata, aku telah merasakan ketakutan
yang menjamah tubuhku ini
dengan hati yang tak lagi seindah
senyuman di bibirmu

jauh sebelum kau meninggalkanku
pesakitan telah bersemayam di tubuhku,
di kepalaku, dan kau datang membisikkan
suara yang lirih di telingaku
karena kau takut kebohonganmu
didengarkan telinga-telinga di sekelingmu

puisi-puisi akhmad fatoni

malam menjelang pagi

udara malam mulai terasa dingin,
sedingin hatimu sore itu

perlahan-lahan kau mengendap dari hidupku,
melahirkan kenangan semu
lalu diam-diam kau
menyuruhku membungkuskan kisah untukmu

tapi aku tak tahu tempat tinggalmu
sebab rumah tinggalmu bukan lagi di hatiku

puisi-puisi

sajak Akhmad Fatoni


Sepucuk surat

: untuk si mungil

Jika mimpi akan tetap tertanam dalam batinku, engkau akan tetap terpatri dalam hatiku, meski ribuan wanita melamarku dengan keindahan dan kekayaan, aku akan tetap melepas rasa itu. walau bersemayam, hanya akan sekadar bersenandung. Sebab senyummu telah berakar dalam imaji membentuk siluet api yang menjaga wajahmu dalam hatiku. Sehingga tak seorang wanita pun akan mengantikan posisimu.

Dinda, mungkin kau tak akan pernah percaya dengan perasaan ini, tapi percayalah setitik sinar yang terpancar dalam mataku, yang akan mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu. Memang aku saat ini tak punya sesuatu yang akan menebar senyum dan rasa bangga di hatimu untuk kau wartakan pada bapakmu, juga pada ibumu.

Apalagi tentang kepolosanmu yang selalu membuat aku geli, dan menetaskan suka dalam sukmamu. Tentang bebulu yang menghiasi tubuhmu selalu membuat aku gemas dan meningkatkan adrenalinku.

Dinda, sejak Februari itu aku tak bisa melupakanmu, meski kini engkau telah menganggapku angin yang hanya bisa menyejukkanmu di saat penat dan gerahmu, asalkan kau tahu itu adalah semangat dalam hidupku.


Sebelum aku kau hapus dalam memori hidupmu, izinkan aku membuktikan bahwa aku bisa seperti banyak lelaki yang pernah kau lihat, kau kenal dan bahkan sempat akrap denganmu, sebab aku ingin membuatmu bahagia dari keringatku sendiri.



Surabaya, 25 Juni 2009

puisi-puisi

sajak Akhmad Fatoni


Tentang kau malam itu

Tentang kau malam itu,
yang diam-diam membuatku layu

seperti katamu, aku seperti kembang api
yang jika disulut tak akan berhenti.

Dan lama aku tak mememang tanganmu,
tangan yang hangat seperti selimut tebal
kesayanganku, pemberian ibu.

Kau banyak berubah, kulitmu sekarang
lebih cerah, mengingatkanku tentang bulan purnama
yang indah, dan menyejukkan jiwa

tapi wajahmu tak seperti dulu, kuyu
hampir mirip kucing di rumah yang selalu mengeong
meminta susu,

dan seperti itulah aku menilaimu, sama
seperti nilaiku raporku yang membuat aku menjadi malu.

Dan tentang kau malam itu,
Aku sedikit kecewa, sebab matamu, senyummu
Tak lagi seperti boneka-boneka yang lucu di kamar adikku.

puisi-puisi

sajak Akhmad Fatoni

Di suatu pagi

Di suatu pagi,
Ku ingin menyebut namamu
Nama yang meruntuhkan langit jiwaku
hingga membuatku terjatuh di tanah kerinduan

Angin yang semilir datang membawa
kenangan-kenangan tumbuh di antara
puing-puing harapan yang mulai meluap
bersama wajahmu. Hingga kerinduan
itu pun bersemi di antara hati-hati yang gulana

di suatu pagi,
ku sebut namamu sebagai rintihan cinta
yang berlahan-lahan menjelma debu, dan
terselip di mataku.

puisi-puisi

sajak Akhmad Fatoni

Sebuah perjalanan

1.
Malamku kian merah,
serupa darah yang mengucur dari jantungku
saat terbelah ketika aku memilih mencintaimu.
Warna yang tak pernah pudar itu,
seperti matahari yang ada di bibirmu,
yang selalu menyinariku di saat aku merindukanmu

2.
wahai burung-burung malam
yang selalu terjaga,
jagalah dia seperti kalian menjaga tirani malam
yang menghiasi liuk alammu

3.
ketika batinku letih,
Mentiung tak tahan akan goncangan rindu
Sebab di medio hidupku
Engkau adalah penghuni yang mencintai sepi

4.
Dan hanya dengan mimpi,
Aku akan menjemputmu.

puisi-puisi

sajak Akhmad Fatoni

Dendang kenangan

Malam terasa amat panjang,
Sepanjang kata cinta
yang tak pernah bisa kutahu maknanya.

Berhari-hari sepi menggigil dalam hijau hatiku.
Tetapi senyummu tetap subur dan mengembang di hati ini

Sungguh demi mawar yang mencintai duri
Aku akan menahan rintik di pagi buta.
Sehingga aku bisa menatap wajahmu
Tanpa selimut dusta.

Dan di sana hanya ada aku dan kamu
Merajut benang-benang cinta

Monday 3 August 2009

PARA JAHANAM!

Naskah: Zulfikri Sasma
Adaptasi Cerpen LAMPOR Karya Joni Ariadinata

Para Pelaku:
JOHARI (suami)
TUMIYAH (istri)
ROS (anak perempuan)
UJANG (anak laki-laki)

Bagi masyarakat yang bermukim di tepi kali comberan, yang hanya terdiri dari puluhan gubuk-gubuk reot, parade hingar bingar adalah hal yang biasa terjadi. Terlebih pada saat matahari mulai menciumi bau busuk pada tepian kali comber yang dipenuhi bermacam-macam sampah. Sumpah serapah, caci maki, suara bantingan piring yang sering berakhir dengan saling cakar, ternyata telah menjadi upacara bangun pagi yang mengasyikkan. Hingga, tak ada satupun yang menarik untuk didengar, apalagi ditonton.
Inilah kisah tentang kaum comberan, kisah tentang orang-orang yang mengatakan bahwa hidup adalah untuk makan dan senang-senang!

I
Sebuah gubuk reot persis di tepi kali comberan. Dengan artistik ruangan 3x4 meter yang amat sederana, tampak seorang bapak paroh baya keluar dari kamar yang hanya dibatasi oleh triplek dan kain kumal. Pak Johari namanya, ia menguap lalu duduk di dipan kayu yang sama reotnya. Terasa sekali bahwa denyut kehidupan di rumah ini baru dimulai pada pukul 7 pagi.
Pak Johari terlihat sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas di atas mejanya. Ada banyak angka-angka yang tertulis di kertas itu. Ia terlihat berpikir keras, tak ubahnya seperti seorang professor yang akan menyelesaikan penelitiannya. Kemudia ia batuk-batuk, lalu meludahkan dahak kental ke lantai dengan santai.
JOHARI:
Merah delima?
(Johari kembali berpikir keras. Kemudian ia teringat sesuatu, lalu mencarinya diantara tumpukan kertas tersebut, tapi tidak ketemu)
Tum! Tumiyah! Tumiyah…!
(Tak ada sahutan, Johari lalu mengambil sisa tembakau tadi malam dan melinting, membakar, alu menghirupnya dalam-dalam)
Tumiyah! Tum! Hei! Apa kau lihat lembaran syair yang tadi malam kutarok di meja?
Tum! Kau dengar aku Tum?
(Tetap tak ada sahutan, Johari kemudian melanjutkan pekerjaannya)

II
Tiba-tiba Tumiyah datang membawa ember plastik sambil membanting daun pintu. Tak ayal lagi, sumpah serapah keluar dari mulutnya sendiri. Johari tetap konsentrasi dengan pekerjaannya. Sepertinya sikap Tumiyah yang datang begitu tiba-tiba adalah hal biasa yang dinikmatinya tiap hari.
TUMIYAH:
Betul-betul kurang ajar itu anak! Pagi-pagi sudah mencuri! Dasar anak jadah! Kau tahu Pak Tua? Uangku 3000 perak yang kusimpan di lemari sudah dicuri oleh si Ujang, padahal uang itu akan kupakai untuk membeli minyak tanah! Dasar anak sinting! Anak setan!
JOHARI:
Heh, apa kau lihat lembaran syairku yang kusimpan disini?
TUMIYAH:
Mana aku tahu syairmu, pagi ini aku sedang kesal. Lagi pula, apa tidak ada pekerjaan lain selain meramal syair-syair sialanmu itu?
JOHARI:
Dari pada kau mencaci maki terus-terusan, lebih baik kau bikinkan aku segelas kopi, biar otakku sedikit encer menghitung angka-angka ini
TUMIYAH:
Hari ini tak ada kopi Pak Tua! Sebaiknya kau simpan saja impianmu itu!
JOHARI:
Alah! Kau tahu apa tentang merah delima?
(Johari melanjutkan pekerjaannya dan Tumiyah menghilang menuju dapur)

III
Ketika Johari asyik dengan pekerjaannya, Ujang anaknya—yang masih berusia 10 tahun—datang, pakaiannya basah kuyup. Dengan melenggang kangkung, ujang mendekati bapaknya dan duduk di dipan. Matanya sibuk memperhatikan bapaknya yang sibuk menghitung angka-angka.
JOHARI:
He, anak jadah! Kenapa bajumu basah? Heh, aaa, aku tahu, kau pasti ngintip janda kembang itu mandi ya? Kecil-kecil sudah kurang ajar! Ayo pergi sana! Ganti bajumu! Mengganggu konsentrasiku saja!
(Dengan cuek Ujang beranjak menuju dapur, Johari masih melototkan matanya pada Ujang. Setelah Ujang menghilang, Johari kembali dengan pekerjaannya. Tapi, itupun hanya sebentar, karena tak lama setelah itu, Ujang berlari keluar dari dapur diiringi terikan istrinya yang memekakkan telinga.)
TUMIYAH:
Anak sialan! Hei, mau kemana kau? Heh, jangan lari! Kembalikan dulu uangku yang 3000 perak! Pasti kau yang mencurinya! Hei, jangan lari! Keparat, sampai kapan kau mempermainakan orang tua, heh? Awas kau! Awas!
(Tumiyah terlambat, lari Ujang begitu cepat, begitu keluar dari dapur, ia hanya mendapati suaminya yang tengah asyik dengan angka-angkanya, kontan saja, suaminya pun jadi sasaran kemarahannya)
TUMIYAH:
Pak tua, apa kau pikir akan makan dengan berada di rumah terus, heh? Ke pasar kek, kemana saja. Aku sudah tidak punya minyak tanah pak tua!
JOHARI:
Kau ikhlaskan saja 3000 perak itu, untuk beli minyak tanah ngutang dulu di warung si Leman, aku sedang nunggu si Kontan untuk urusan penting.
TUMIYAH:
Kontan gundul bonyok! Apa sepenting itu Kontan hingga kau harus menunggu? Dengar pak tua, utang sama si Leman sudah tiga puluh ribu perak, yang penting sekarang minyak tanah, bukan Kontan
JOHARI:
Perempuan goblok, kau tahu apa tentang merah delima? Heh, kalau jadi…hem. Kita akan lekas kaya! Aku akan bangun rumah dengan lampu yang lebih besar dari yang ada di Griya Arta sana. Biar mereka nyahok! Kemudian, aku akan…
TUMIYAH:
Alah sudah! Dasar pembual!
(Tumiyah memotong ucapan suaminya, bertengkar dengan lelaki ini, tak akan menghasilkan apa-apa. Otaknya sudah budek. Lalu menyapu gubuknya yang seperti kapal pecah. Tengah asyik menyapu, ia teringat bahwa hari ini adalah hari rabu. Tumiyah tersenyum, emosinya sedikit reda. Ia berhenti menyapu dan mendekati suaminya yang sedang mabuk membayangkan rumah sehebat Griya Arta)
TUMIYAH:
Apa kau sudah mendapatkan inpo alam pak tua?
JOHARI:
Heeeeh perempuan, kamu bilang enggak punya duit!
TUMIYAH:
Weeaalahh, tololnya, kalau kau menang kan aku juga yang senang, lagian, apa kau punya duit? Beli minyak tanah saja tidak becus!
JOHARI:
Ya sudah, aku cuman mancing-mancing kalau kamu diam-diam masih menyembunyikan uang. Hem, kelihatannya wangsit kali ini memang benar. Coba kau bayangkan, dalam mimpi itu aku dikelilingi tiga ekor kalkun. Kalkun Arab. Setelah dikutak-kutik, ternyata kena pada tujuh delapan dengan ekor dua tujuh. Pokoknya untuk yang satu ini aku harus bisa. Aku akan mengandalkan si Kontan, setidaknya untuk dua kupon
TUMIYAH:
Terserah, mau Kontan mau setan, aku sudah tak mau tahu, yang penting sekarang minyak! Aku tak mau kelaparan karena Kontan.
(Tumiyah buru-buru bangkit, menyelesaikan pekerjaanya menyapu rumah, agak lama. Ia menoleh ke belakang, ke arah suaminya yang masih bermimpi dengan rumah seindah Griya Arta, hati-hati, ia kemudian menyelinap keluar, bukan ke warung Leman, tetapi ke Pasar untuk membeli dua lembar kupon)

IV
Hingga pukul 12.00 siang, Kontan belum jua muncul. Tiba-tiba Ros—anak gadisnya—muncul, Ros datang dengan membawa nasi bungkus dan memakannya sendiri dengan enak. Pak Johari jadi iri dan lapar. Pak Johari jadi ingat bahwa perutnya belum di isi sejak pagi tadi, sedang Tumiyah istrinya ngelayap entah kemana.
JOHARI:
Tentu kau masih menyimpan uang, belikan ayah sebungkus lagi, pake tahu
ROS:
Nggak! Nggak mau. Uangku hanya tingga 2000 perak buat beli viva, bedakku habis
(Ros tiba-tiba menjauh, menjaga nasinya agar tidak terjangkau oleh ayahnya)
JOHARI:
Heh, bukankah itu uangku? Uang dari si Ujang kan?
ROS:
Enak saja, bang Nasrul yang kasih aku lima ribu
JOHARI:
Nasrul? Laki-laki brengsek itu? O ya, kalau begitu tolong kamu pinjamkan sama Nasrul. Nasrul senang kamu? Bagus. Tidak apa-apa
ROS:
Nggak! Pergi saja sendiri
(Ros kemudian lari ke belakang, tentu saja Johari marah sambil berteriak)
JOHARI:
Keparat! Awas kamu Ros, aku doakan kau nyahok dengan Nasrul!
(Pak Johari pun pergi keluar rumah)

V
Malam telah larut, lampu minyak telah lama dinyalakan. Kecuali Pak Johari yang memang belum pulang, semua penghuni di rumah itu telah lama lelap bersama mimpi-mimpi indahnya. Ya, tak ada yang perlu dikerjakan selain tidur. Hanya dengan tidurlah keluarga semacam itu bisa tentram dan sunyi.
Pukul sebelas malam, pak Johari baru pulang. Tubuhnya sedikit oleng pertanda sedang mabuk berat. Mulutnya menceracau-ceracau tak karuan. Memanggil-manggil Tumiyah Istrinya.
JOHARI:
Tum, Tumiyah, aku gagal Tum, hik, aku gagal mendapatkan kupon itu, padahal nomornya jitu, hik. Jika saja tidak, mungkin malam ini kita sudah bercinta di Griya Arta, eh, hik, bercinta? O ya, malam ini kita bercinta lagi ya Tum, hik, itulah obat bagi segalanya, hik. Tenanglah Tum, besok akan kupikirkan lagi kabar tentang merah delima, hik. Tum, hik, Tum..
(Mulut Johari terus menceracau, dalam benaknya sudah terbayang nikmatnya bercinta dengan Istrinya. Johari kemudian bergerak menuju salah satu kamar dalam gubuknya, tapi bukan ke kamar dimana Tumiyah Istrinya telah lama terlelap. Barangkali gara-gara terlalu mabuk sehingga Johari lupa bahwa ia telah masuk ke kamar Ros anak gadisnya. Dan…)
* * *
SELESAI

Pagi Bening

P a g i B e n i n g
( Drama Komedi Satu Babak dari tanah Spanyol )
Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero
Terjemahan Drs. Sapardi Joko Damono


T e m p a t K e j a d i a n
Madrid – Spanyol
Di suatu tempat – Taman terbuka
Di jaman ini juga


P e m a i n
Donna Laura
Wanita tua, berumur kira-kira 70 tahun
Masih nampak jelas bahwa dulunya cantik dan tindak tanduknya menunjukkan bahwa mentalnya juga baik.
Don Gonzalo
Lelaki tua, berumur kira-kira 70 tahun lebih
Agak congkak dan selalu tampak tidak sabaran
Petra
Gadis pembantu Laura
Juanito
Pemuda pembantu Gonzalo










( DONNA LAURA MASUK, BERPEGANGAN TANGAN PADA PETRA. TANGANNYA YAN LAIN MEMBAWA PAYUNG YANG JUGA UNTUK TONGKATNYA )

LAURA : Aku selalu merasa gembira sekali di sini. Syukur bangkuku tidak ditempati orang lain. Duhai, pagi yang cerah! Cerah sekali.

PETRA : Tapi matahari agak panas, Senora.

LAURA : Ya, kau masih duapuluh tahun (IA DUDUK DI BANGKU BELAKANG). Aku merasa lebih letih dari biasanya (MELIHAT PETRA YANG NAMPAK TAK SABAR), pergilah kalau kau ingin ngobrol dengan tukang kebunmu itu!

PETRA : Dia bukan tukang kebunku, Senora, dia tukang kebun taman ini!

LAURA : Ia lebih tepat disebut milikmu daripada milik taman ini. Cari saja dia. Tapi jangan sampai terlalu jauh hingga tak kau dengar panggilanku.

PETRA : Saya sudah melihatnya di sana, menanti.

LAURA : Pergilah, tapi jangan lebih dari sepuluh menit!

PETRA : Baik, Senora (BERJALAN KE KANAN)

LAURA : Hei, nanti dulu!

PETRA : Ada apa lagi, Senora?

LAURA : Berikan remah-remah roti itu!

PETRA : Ah, pelupa benar aku ini!

LAURA : (SENYUM) Aku tahu! Pikiranmu sudah lekat ke sana, heh, si tukang kebun itu!

PETRA : Ini, Senora (MENGELUARKAN BUNGKUSAN ROTI. KELUAR KE KANAN)

LAURA : Adios! (MEMANDANG KE ARAH PEPOHONAN). Ha, mereka datang. Mereka tahu kapan mesti datang menemui aku (BANGKIT DAN MENYERAHKAN REMAH-REMAH ROTI). Ini buat yang putih, ini untuk yang coklat, dan ini untuk yang paling kecil tapi kenes. (TERTAWA DAN DUDUK LAGI MEMANDANG MERPATI YANG SEDANG MAKAN). Ah, merpati-merpati yang manis. Itu yang besar mesti lebih dulu, kentara dari kepalanya yang besar, dan itu ... aduh , kenes benar. Hai, yang satu itu selesai mematuk terus terbang ke dahan. Bersunyi diri. Agaknya ia suka berfilsafat. Tapi dari mana saja mereka ini datang? Seperti kabar angin saja! Meluas dengan mudah. Ha, ha, jangan bertengkar. Masih banyak. Besok kubawakan yang lebih banyak lagi!
(DON GONZALO DAN JUANITO MASUK DARI KIRI. GONZALO BERGANTUNG SEDIKIT PADA JUANITO. KAKINYA BENGKAK, AGAK DI SERET)

GONZALO : Membuang-buang waktu melulu! Mereka itu suka benar bicara yang bukan-bukan.

JUANITO : Duduk di sini sajalah, senior. Hanya ada seorang wanita.
(DONA LAURA MENENGOK DAN MENDENGARKAN)

GONZALO : Tidak, Juanito. Aku mau tersendiri.

JUANITO : Tapi tak ada .

GONZALO : Yang di sana itu kan milikku!

JUANITO : Tiga orang pendeta duduk di sana, Senior!

GONZALO : Singkirkan saja mereka! ... ... ... Sudah pergi!

JUANITO : Tentu saja belum! Mereka tengah bercakap-cakap.

GONZALO : Seperti merekat pada bangku saja mereka itu! Heh, tak ada harapan lagi, Juanito. Mari!

JUANITO : (MENGGANDENG KE ARAH MERPATI-MERPATI)

LAURA : (MARAH). Awas hati-hati!

GONZALO : Apa Senora berbicara dengan saya?

LAURA : Ya, dengan tuan!

GONZALO : Ada apa?

LAURA : Tuan menakut-nakuti burung-burung merpati saya!

GONZALO : Peduli apa burung-burung itu!

LAURA : Apa, ha?

GONZALO : Ini taman umum, Senora!

LAURA : Tapi kenapa tadi tuan mengutuki pendeta-pendeta di sana itu?

GONZALO : Senora, tapi kita belum pernah jumpa! Dan kenapa tadi Senora menegur saya? Ayo, juanito! (MELANGKAH KE KANAN)

LAURA : Buruk amat perangai si tuan itu! Kenapa orang mesti jadi tolol dan pandir kalau sudah meningkat tua? (MELIHAT KE KANAN). Syukur. Ia tidak mendapat bangku! Itu, orang yang menakut-nakuti merpati-merpatiku. Ha, ia marah-marah. Ya, ayo, carilah bangku kalau kau dapat! Aduh, kasihan, ia menyeka keringat di dahi. Nah, itu dia kemari lagi. Debu-debu mengepul seperti kereta lewat! (JUANITO DAN GONZALO MASUK)

GONZALO : Apa sudah pergi pendeta-pendeta yang ngobrol itu, Juan?

JUANITO : Tentu saja belum, Senior?

GONZALO : Walikota seharusnya lebih banyak menaruh bangku-bangku di sini! Terpaksa juga aku kini duduk bersama wanita tua itu!
(IA DUDUK DI UJUNG BANGKU,MEMANDANG DENGAN IRI KEPADA LAURA, DAN MEMBERI HORMAT DENGAN MENGANGKAT TOPI). Selamat pagi.

LAURA : Jadi tuan di sini lagi?

GONZALO : Ku ulang lagi, kita kan belum pernah jumpa!

LAURA : Saya toh cuma membalas salam tuan!

GONZALO : “Selamat Pagi”, mestinya cukup dibalas dengan “selamat pagi” saja.

LAURA : Tapi tuan seharusnya juga minta ijin untuk duduk di bangku saya ini.

GONZALO : Ahai, bangku ini kan milik umum!

LAURA : Kenapa bangku yang di san itu juga tuan katakan milik tuan, hah?

GONZALO : Baik, baik! Sekian sajalah!
( PADA DIRINYA SENDIRI ) Dasar perempuan tua! Patutnya dia di rumah saja, merenda atau menghitung tasbih.

LAURA : Jangan mengoceh lagi. Aku juga tokh, tak akan pergi untuk sekedar menyenangkan hatimu!

GONZALO : (MENGELAP SEPATUNYA DENGAN SAPU TANGAN). Kalau disiram air sedikit tentu lebih baik. Tak berdebu lagi jadinya taman ini.

LAURA : Apa tuan biasa menggunakan saputangan sebagai lap?

GONZALO : Kenapa tidak?!

LAURA : Apa tuan juga menggunakan lap sebagai sapu tangan?

GONZALO : Hah? Nyonya kan tak punya hak untuk mengeritik saya!

LAURA : Toh sekarang saya ini tetangga tuan!

GONZALO : Juanito! Buku! Bosan mendengarkan nonsense macam itu!

LAURA : Alangkah sopan santun tuan ini!

GONZALO : Maaf saja nyonya. Tapi saya mengharap nyonya tidak bernapsu campur tangan urusan orang lain!

LAURA : Saya memang biasa melahirkan pikiran-pikiran saya.

GONZALO : Hhh, Juanito! Buku!

JUANITO : Ini, tuan! (MENGAMBIL BUKU DARI KANTONG, DON GONZALO MEMANDANG DENGKI PADA LAURA; GONZALO MENGELUARKAN KACA PEMBESAR DAN KACAMATA: MEMBUKA BUKU)

LAURA : Oh, saya kira tuan mengeluarkan teleskop.

GONZALO : Nyonya bicara lagi!

LAURA : Tentunya penglihatan tuan masih baik sekali!!

GONZALO : Jauh lebih baik dari penglihatan nyonya!

LAURA : Ahai, tentu saja!

GONZALO : Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada kelinci-kelinci dan burung-burung.

LAURA : Artinya tuan suka berburu kelinci dan burung?

GONZALO : Saya pemburu memang. Dan sekarang pun saya tengah berburu.

LAURA : Ya, tentunya! Begitulah!

GONZALO : Ya, Senora. Tiap Minggu saya menyandang bedil bersama anjing saya pergi ke Arazaca. Iseng-iseng berburu! Membunuh waktu!

LAURA : Ya, membunuh waktu! Apa hanya waktu saja bisa tuan bunuh?

GONZALO : Nyonya kira begitu? Saya bisa menunjukkan kepala beruang besar dikamar saya!

LAURA : Dan saya juga bisa menunjukkan kepala singa di kamar tamu saya, meskipun saya bukan pemburu!

GONZALO : Sudahlah nyonya, sudah! Saya mau membaca. Percakapan cukup! Ngomong putus!

LAURA : Ha, tuan menyerah!

GONZALO : Tapi saya mau ambil obat bersin dulu. (MENGAMBIL TEMPAT OBAT). Nyonya mau? (MEMBERIKAN OBAT ITU)

LAURA : Kalau cocok!

GONZALO : Ini nomor satu! Nyonya tentu akan suka!

LAURA : Memang biasanya akan menghilangkan pusing.

GONZALO : Saya pun begitu.

LAURA : Tuan suka bersin?

GONZALO : Ya tiga kali.

LAURA : Persis sama dengan saya! (SETELAH MENGAMBIL BUBUKAN, KEDUANYA BERSIN BERGANTI-GANTI MASING-MASING TIGA KALI).

GONZALO : Ehaaaah, agak enakan sekarang.

LAURA : Saya pun merasa enak sekarang.
(KE SAMPING) Obat itu telah mendamaikan kami rupanya!

GONZALO : Maaf, saya mau membaca keras. Tidak mengganggu kan?

LAURA : Silahkan sekeras mungkin, tuan tidak menggangu saya lagi.

GONZALO : (MEMBACA) “ Segala cinta itu menyakitkan hati
Tetapi bagaimana jugapun pedihnya
Cinta adalah sesuatu yang terbaik
Yang pernah kita miliki “
Nah, bait itu dari penyair Campoamor.

LAURA : Ah!

GONZALO : (MEMBACA) “ Anak-anak dari para bunda
Yang pernah kucinta
Menciumku sekarang
Seperti bayangan hampa “
Baris-baris ini agak lucu juga rasanya.

LAURA : (TERTAWA) Kukira juga begitu.

GONZALO : Ada beberapa sajak bagus dalam buku ini. Dengar!
(MEMBACA) “ Duapuluh tahun berlalu
Ia pun kembalilah “

LAURA : Cara tuan membaca dengan kaca pembesar itu sungguh agak menggelikan saya.

GONZALO : Jadi nyonya bisa membaca tanpa kaca pembesar?

LAURA : Tentu saja, tuan.

GONZALO : Setua itu? Ahai, nyonya main-main saja!

LAURA : Coba saya pinjam buku tuan itu!
(MENGAMBIL BUKU DAN MEMBACANYA KERAS-KERAS)
“ Duapuluh tahun berlalu
Dan ia pun kembalilah
Masing-masing saling memandang,
Berkata :
Mungkinkah dia orangnya?
Ya Allah, dimana oranya itu? “

GONZALO : Hebat! Saya iri hati pada penglihatan nyonya.

LAURA : (KESAMPING) Hmm, saya hafal tiap kata syair itu.

GONZALO : Saya gemar sekali puisi-puisi yang bagus. Sungguh gemar sekali. Bahkan ketika masih muda, kadang-kadang suka bersyair.

LAURA : Sajak-sajak bagus juga?

GONZALO : Ya, macam-macamlah. Saya dulu sahabat dari Exprosoda, Zorilla, Bocquer, dan penyair-penyair lain. Saya kenal Zorilla pertama kali di Amerika.

LAURA : Eh, tuan pernah ke Amerika?

GONZALO : Sering juga. Pertama kesana saya waktu umur 6 tahun.

LAURA : Tentunya dulu tuan ikut Colombus.

GONZALO : (TERTAWA) Yah, tidak sejelek itu nasibku! Saya sudah tua, tapi belum pernah kenal Raja Ferdinand serta Ratu Isabella!
(KEDUANYA TERTAWA). Saya juga teman Campoamor, berjumpa pertama kali di Valensia. Saya warga kota di sana.

LAURA : Apa sungguh?

GONZALO : Saya dibesarkan disana. Dan masa mudaku habis di kota itu. Apa nyonya pernah ke Valensia?

LAURA : Pernah! Tiada jauh dari Valensia ada sebuah villa dan kalau masih berdiri sekarang, bisa mengembalikan kenangan-kenangan yang manis. Saya pernah tinggal beberapa musim di sana. Tapi sudah lama lampau. Villa itu dekat laut, tersembunyi antara pohon jeruk. Mereka menyebutnya ... ah ... lupa ... o ya, Villa Maricella.

GONZALO : Maricella?

LAURA : Maricella. Apa tuan pernah mendengarnya?

GONZALO : Tak asing lagi nama itu ... ah, kita tambah tua tambah pelupa ... di Villa itu dulu ada seorang wanita paling cantik yang pernah saya lihat dan saya kenal. Dan namanya ... O ya, Laura Liorento!

LAURA : (KAGET) Laura Liorento?

GONZALO : Benar (MEREKA SALING TATAP)

LAURA : (SADAR LAGI) Ah, tak apa-apa, hanya mengingatkan saya pada teman karib saya.

GONZALO : Aneh juga.

LAURA : Memang aneh! Dia diberi sebutan “ Perawan Bagai Perak”.

GONZALO : Tepat, “Perawan Bagai Perak”. Nama itulah yang terkenal di sana. Sekarang saya seperti melihatnya kembali di jendela di antara kembang mawar merah itu. Nyonya ingat jendela itu?

LAURA : Ya, saya ingat itulah jendela kamarnya.

GONZALO : Dulu dia suka berjam-jam di jendela.

LAURA : (MELAMUN) Ya, memang dulu dia suka begitu.

GONZALO : Dia gadis ideal. Manis bagai kembang lilia. Rambutnya hitam. Sungguh mengesankan sekali! Mengesankan sampai kapan saja. Tubuhnya ramping sempurna. Betapa Tuhan telah menciptakan keindahan seperti itu. Dia seperti impian saja.

LAURA : (KE SAMPING) Jika seandainya tuan tahu bahwa impian itu ada di samping tuan, tuan akan sadar impian macam apa itu, heh?
(KERAS-KERAS) Dia adalah gadis yang malang yang gagal cinta.

GONZALO : Betapa sedihnya (MEREKA SALING MEMANDANG)

LAURA : Tuan pernah mendengar kabarnya?

GONZALO : Ya, pernah.

LAURA : Nasib malang meminta yang lain.
(KESAMPING) Gonzalo!

GONZALO : Si jago cinta cakap itu! Peristiwa cinta yang sama.

LAURA : Ah, duel itu.

GONZALO : Tepat, duel itu. Si Jago Cinta itu adalah ... saudara sepupu saya. Saya juga sayang sekali kepadanya.

LAURA : Oh ya, saudara sepupu. Seorang temanku menyurati saya dan bercerita tentang mereka. Dia ... saudara sepupu tuan itu ... tiap pagi lewat di depan jendelanya dengan naik kuda, dan melemparkan ke atas seberkas kembang yang segera disambut gadisnya.

GONZALO : Dan tak lama kemudian, dia ... saudara sepupu saya itu ... lewat lagi untuk menerima kembang dari atas. Begitu?

LAURA : Benar. Dan keluarga gadis itu ingin agar ia kawin dengan saudagar yang tidak ia cintai.

GONZALO : Dan pada suatu malam, ketika saudara sepupuku tadi tengah menanti gadisnya menyanyi ... di bawah jendela, lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.

LAURA : Dan menghina saudara tuan itu.

GONZALO : Kemudian pertengkaran terjadi.

LAURA : Dan kemudian ... duel!

GONZALO : Ya, waktu matahari terbit, di tepi pantai, dan si Saudagar itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya itu harus bersembunyi dan kemudian melarikan diri.
LAURA : Tuan rupanya mengetahui benar ceritanya.

GONZALO : Nyonya pun begitu agaknya.

LAURA : Saya katakan tadi, seorang teman telah menyurati saya.

GONZALO : Saya pun diceritai oleh saudara sepupu saya.
(KE SAMPING) Heh, inilah Laura itu! Tak salah!

LAURA : (KE SAMPING) Kenapa menceritakan padanya? Dia tak curiga apa-apa.

GONZALO : (KE SAMPING) Dia sama sekali tak bersalah.

LAURA : Dan apakah tuan pula yang menasihati saudara tuan itu untuk melupakan Laura?

GONZALO : Ooo, saudara sepupu saya tak pernah melupakannya.

LAURA : Bagaimana begitu?

GONZALO : Akan saya ceritakan segalanya kepada nyonya.
Anak muda – Don Gonzalo itu – bersembunyi di rumah saya, takut menanggung akibatnya yang buruk sehabis menang duel itu. Dari rumah saya ia terus lari ke Madrid. Ia kirim surat-surat kepada Laura, di antaranya sajak-sajak. Tapi tentunya surat-surat itu jatuh ke tangan orang tuanya. Buktinya tak ada balasan. Kemudian Gonzalo pergi ke Afrika, sebab cintanya telah gagal sama sekali, masuk tentara dan terbunuh di sebuah selokan sambil menyebut berulangkali nama Lauranya yang sangat tercinta.

LAURA : (KE SAMPING) Dusta! Heh, dusta kotor belaka!

GONZALO : (KE SAMPING) Saya tak bisa membunuh diriku lebih ngeri lagi.

LAURA : Tuan tentunya telah ditumbangkan kesedihan yang sangat

GONZALO : Memang betul, nyonya. Dia seperti saudaraku sendiri. Dan saya kira tak lama kemudian, Laura telah melupakannya. Kembali bermain memburu kupu-kupu seperti biasanya. Tak pernah meratapinya.

LAURA : Tidak, Senior. Sama sekali tidak!

GONZALO : Biasanya perempuan memang begitu!

LAURA : Kalaupun itu sudah sifat perempuan, “Perawan Bagai Perak” adalah terkecuali! Teman saya itu menanti berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan tak selembar suratpun tiba. Suatu senja ketika matahari terbenam, dia meninggalkan rumahnya dan dengan langkah tergesa menuju pantai tempat kekasihnya menjaga nama baiknya. Ia menuliskan namanya di pasir, lalu duduk di atas karang, memandang ke kaki langit. Ombak menyanyikan tembang duka yang kekal, dan menggapai batu karang di mana perawan itu duduk. Air pasang segera tiba dan menyapu gadis itu dari muka bumi.

GONZALO : Ya Allah!

LAURA : Para nelayan di situ sering menceritakan bahwa nama yang ditulis gadis itu lenyap ditelan air pasang.
(KE SAMPING) Toh kamu tak tahu aku reka-reka sendiri cerita kematianku!

GONZALO : ( KE SAMPING ) Dia berdusta lebih ngeri dari dustaku!

LAURA : Ah, Laura yang malang!

GONZALO : Wahai Gonzalo yang malang!

LAURA : (KE SAMPING) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa aku kawin dua tahun kemudian setelah duel itu!

GONZALO : (KE SAMPING) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa dua bulan kemudian aku mengawini penari ballet dari Paris!

LAURA : Nasib memang selalu aneh. Di sini, tuan dan saya, dua orang asing, bertemu secara kebetulan dan saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua teman lama yang telah bertahun lalu terjadi, seperti sudah akrab benar kita ini!

GONZALO : Ya, memang aneh. Padahal mula-mula kita bertemu tadi, kita bertengkar.

LAURA : Tuan juga yang tadi mengganggu merpati-merpati saya.

GONZALO : Memang agak kasar saya tadi.

LAURA : Memang kasar. (RAMAH) Tuan datang lagi besok pagi?

GONZALO : Tentu, asal pagi secerah ini. Dan takkan lagi mengganggu merpati-merpati itu, tapi saya akan membawa remah-remah roti besok.

LAURA : Oh, terima kasih. Burung-burung selalu tahu berterimakasih. Hei! Mana pembantuku tadi? – Petra!

GONZALO : (MELIHAT LAURA YANG MEMBELAKANG) Tidak! Tak akan kukatakan siapa aku ini sebenarnya. Aku sudah tua dan lemah. Biarlah dia mengangankan aku sebagai penunggang kuda tampan yang lewat di bawah jendelanya.

LAURA : Nah, itu dia.

GONZALO : Itu Juanito! Dia sedang bercanda dengan gadisnya! (MENGISYARATI)

LAURA : (MEMANDANG GONZALO YANG MEMBELAKANG) Tidak, aku sudah berubah tua. Lebih baik ia mengingatku sebagai gadis bermata hitam yang melempar bunga dari jendela.
(JUANITO DAN PETRA MASUK) Hei, Petra!

GONZALO : Juanito, kau sedikit lambat.

PETRA : (KEPADA LAURA) Si tukang kebun memberikan bunga-bunga ini kepada Seniora.

LAURA : Alangkah bagusnya. Terima kasih. Sedap benar baunya! (BEBERAPA BUNGA GUGUR KE TANAH)

GONZALO : Ini semua sungguh menyenangkan, Senora!

LAURA : Demikian juga saya, Senior!

GONZALO : Sampai besok, nyonya!

LAURA : Sampai besok, tuan!

GONZALO : Agak panas hari ini!

LAURA : Pagi yang cerah. Tuan besok pergi ke bangku tuan?

GONZALO : Tidak, saya akan kemari saja. Itu kalau nyonya tidak berkeberatan.

LAURA : Bangku ini selalu menanti tuan!

GONZALO : Akan saya bawa remah-remah roti!

LAURA : Besok pagi, jadilah!

GONZALO : Besok pagi. (LAURA MELANGKAH KE KANAN BERPEGANG PADA PETRA. GONZALO MEMBUNGKUK SUSAH PAYAH MEMUNGUT BUNGA YANG JATUH TADI, DAN LAURA MENENGOK KETIKA ITU)

LAURA : Apa yang tuan kerjakan?

GONZALO : Juanito, tunggu dong!

LAURA : Tak salah, dialah Gonzalo!

GONZALO : (KE SAMPING) Tak salah, dialah Laura!
(MEREKA MASING-MASING MELAMBAIKAN TANGAN)

LAURA : Mungkinkah dia itu benar orangnya?

GONZALO : Ya Allah, diakah orangnya itu?
(KEDUANYA TERSENYUM)


L a y a r T u r u n

S A R I M I N

Sebuah Monolog

Karya Agus Noor [ agus2noor@yahoo.com ]


1.

Tampak panggung pertunjukan, mengingatkan pada pentas kampung…

Para pemusik muncul, nyante, seakan-akan mereka hendak melakukan persiapan. Ada yang mumcul masih membawa minuman. Ngobrol dengan sesama pemusik. Kemudian mengecek peralatan musik. Mencoba menabuhnya. Suasana seperti persiapan pentas. Tak terlihat batas awal pertunjukan.

pemusik-opening.jpg

Sesekali pemusik menyampaikan pengumunan soal-soal yang sepele: Memanggil penonton yang ditunggu saudaranya di luar gedung, karena anaknya mau melahirkan; menyuruh pemilik kendaraan untuk memindahkan parkir mobilnya, atau mengumumkan bahwa Presiden tidak bisa datang menyaksikan pertunjukan malam ini karena memang tidak diundang; pengumuman-pengumuman yang remeh-remeh dan bergaya jenaka… Atau menyapa penonton yang dikenalnya, bercanda, say hello, sembari sesekali menyetem peralatannya.

Kemudian mereka menyanyikan lagu tetabuhan, yang mengingatkan pada musik topeng monyet. Para pemusik bernyanyi dan berceloteh jenaka. Sementara ruang pertunjukan masih terang. Tertengar lagu tetabuhan yang riang…

Lalu muncullah aktor pemeran monolog ini atau Tukang Cerita. Terlihat jenaka menari-nari mengikuti irama. Hingga musik tetabuhan berhenti, dan Tukang Cerita mulai menyapa penonton dengan penuh semangat bak rocker,

TUKANG CERITA:
Selamat malam semuanya! Yeah!…

Wah, gayanya seperti rocker, tapi nafasnya megap-megap. Rocker tuek…

Senang sekali saya bisa ketemu Saudara semua. Ini kesempatan langka, bertemu dalam peristiwa budaya. Anda mau datang nonton pertunjukan ini saja sudah berarti menghargai peristiwa budaya, ya kan?! Hanya orang-orang yang berbudaya yang mau nonton peristiwa budaya. Jadi, bersyukurlah, kalau malam ini Anda merasa ge-er sebagai orang yang berbudaya. Soalnya, di negeri ini, manusia yang masuk dalam kategori manusia berbudaya itu lumayan tidak banyak. Jadi manusia berbudaya itu agak sama dengan badak bercula. Sama-sama langka.

tukang-cerita-bag-awal.jpg

Nah, salah satu ciri penonton berbudaya itu kalau nonton pertunjukan, selalu mematikan handphone. Ayo sekarang, silakan men-non atifkan-kan HP Anda, sambil berimajinasi seakan-akan Anda itu Presiden yang sedang men-non aktif-kan menteri Anda. Atau kalau selama ini Saudara punya bakat dan naluri membunuh, silakan diekspresikan bakat membunuh Saudara dengan cara membunuh handphone masing-masing.

Nanti, selama pertunjukan, juga dilarang memotret pakai lampu kilat. Nanti ndak jantung saya kaget. Di dalam gedung ini juga dilarang makan, minum atau merokok…. kecuali pemainnya.

Malam ini, saya akan bercerita tentang Sarimin. Perlu Anda ketahui, nama Sarimin ini bukanlah nama asli. Tapi nama paraban. Nama panggilan. Nama aslinya sendiri sebenarnya cukup keren: Butet Kartaredjasa..1 Mungkin nama ini kurang membawa berkah. Meski pun ada juga lho orang yang memakai nama Butet Kartaredjasa, lah kok nasibnya malah mujur: tersesat jadi Raja Monolog. Atau istilah yang lebih populisnya: pengecer jasa cangkem.

Nah, dia dipanggil Sarimin, karena berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Agak aneh juga sebenarnya, kenapa nama Sarimin itu identik dengan topeng menyet. Begitu mendengar nama Sarimin, langsung ingatan kita… tuinggg… melayang ke topeng monyet.

Memang sih ada nama-nama yang identik dengan sesuatu. Yah, misalnya sepertu nama Pleki. Begitu mendengar nama Pleki, kita pasti langsung teringat pada… (sambil menunjuk ke arah pemusik).. anjing kampung. Atau nama Munir, misalnya. Nama munir selalu mengingatkan kita pada aktivis hak asasi yang mendapat berkah diracuni arsenik. Memang kebangeten kok yang ngracun itu, kok ya ndak merasa bersalah… Kita juga kenal Baharudin Lopa, yang identik dengan sosok yang jujur dalam hukum. Nama Gesang… identik dengan Bengawan Solo. Suharto… yang identik selalu mendadak sakit kalau dipanggil pengadilan. Atau Sumanto… Begitu mendengar nama Sumanto, kita langsung teringat…

Celetukan pemusik: “Kanibalisme…”

TUKANG CERITA:
Itu terlalu keren… Bukan kanibalisme, tapi ciak kempol! Atau yang sekarang lagi popular: Bondan Winarno… Begitu mendengar nama Bondan Winarno, langung ingat wisata kuliner… mak yuss…

Musik memberi tekanan dan membangun suasana…

TUKANG CERITA:
Sebagai tukang topeng monyet keliling, Sarimin lumanyan konsisten menekuni kariernya. Lebih kurang 47 tahun dia jadi tukang topeng monyet. Sekarang dia sudah berumur 54 tahun. Jadi kalau dihitung-hitung, dia sudah menjadi tukang topeng monyet sejak umur 7 tahun. Ini profesi yang diwarisi Sarimin dari Bapaknya yang sudah almarhum.

Mungkin Saudara pernah bertemu Sarimin. Atau pernah melihat Sarimin melintas di jalanan yang macet. Kemacetan yang sepertinya sengaja diselenggarakan oleh Gubernurnya.

Atau mungkin suatu hari Anda pernah secara sengaja berpapasan dengan Sarimin. Mungkin malah Anda sempat ngobrol sebentar berbasa-basi denganya… Tapi Anda tak lagi mengingatnya. Tampang dan nasib Sarimin memang membuat orang malas mengingatnya. Saking leceknya. Bajunya…

Tukang Cerita itu mengambil baju dari kotak pikulan topeng monyet yang ada di dekatnya. tukang-cer-jadi-sarimin.jpgDan mulai di sini, pelan-pelan, Tukang Cerita itu mengubah dirinya menjadi tokoh Sarimin. Sambil terus bicara ia mengganti baju Tukang Cerita dengan pakaian Sarimin…

TUKANG CERITA:
Lihat saja bajunya… Setahun sekali kena sabun saja sudah lumayan… (Kepada para pemusik) Coba cium…, baunya… hmmm, mak brengg… Belum lagi celananya…Coba lihat… (sambil memakai celana itu). Selalu cingkrang…. Tapi ini cingkrang yang tidak menakutkan lho ya… Karena meski celananya cingkrang, tidak jenggotan.. Tidak suka merusak kafe-kafe atau tempat hiburan malam…

Sembari terus berubah menjadi Sarimin, menempelkan bermacam “asesoris” penyakit kulit di tubuhnya…

TUKANG CERITA:
Tubuh Sarimin juga full asesoris… Penuh tato emping, alias panu. Dia juga punya bisul yang nggak sembuh-sembuh. Ada kutil di lehernya… Kurap ada. Kadas, kudis, jerawat, koreng, kutu air…. Pokoknya segala macam jenis penyakit kulit tersedia lengkap di badannya.

Dengan segala macam anugerah penyakit yang dimilikinya itu, sudah barang tentu Sarimin bukanlah sosok yang menarik untuk Anda ingat. Sarimin bukanlah orang yang cocok untuk dijadikan monument ingatan. Makanya, saya pun akan maklum, apabila setelah menyaksikan pertunjukan ini Anda pun tetap tak akan mengingat Sarimin… Sekarang ini, yang paling sulit memang mengingat. Karena kita sudah terlalu l ama dididik keadaan untuk gampang lupa!

Musik menghentak, memberi tekanan perubahan suasana dan karakter. Kini aktor itu sudah sepenuhnya berperan menjadi Sarimin. Sementara musik tetabuhan topeng monyet berbunyi,sarimin-jalan2.jpg Sarimin mulai mengambil peralatan topeng monyetnya, kemudian mulai berjalan memikul peralatan topeng monyetnya, seolah mulai berjalan keliling menyusuri jalanan… Suasana makin meriah dengan teriakan suitan para pemusik yang mencelotehi tingkah Sarimin…
Sampai kemudin Sarimin mendadak berhenti, memandang ke bawah, ke dekat kakinya. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Segera Sarimin memungut sesuatu yang tergeletak di pinggir jalan itu. Sebuah KTP. Sarimin dengan ragu-ragu memungut KTP itu. Memeganginya, memandanginya…

Pada saat inilah, lampu di bagian penonton meredup dan menggelap. Dan cahaya di panggung mulai mengarah pada Sarimin yang memegangi dan mengamati KTP yang ditemukannya itu: bergaya membaca nama di KTP itu, padahal ia tak bisa membaca… Baru kemudian ia menunjukkan KTP yang ditemukannya itu kepada para pemusik…

SARIMIN:
Ini KTP siapa, ya? Ada yang merasa kehilangan KTP tidak? Coba cek dulu mungkin dompet sampeyan jatuh.. Atau kecopetan… Gimana, ada yang merasa kehilangan KTP?

Para pemusik berceloteh menangapi, merasa tak kehilangan dompet atau KTP. Lalu Sarimin mencoba bertanya kepada para penonton…

SARIMIN:
Maaf, Bu… Pak… Ada yang merasa kehilangan KTP ndak ya? Ini tadi saya nemu…. Nanti kalau sampeyan ndak ada KTP kena razia Operasi Justisia lho… Bisa-bisa dianggap penduduk gelap… Ini KTP sampeyan bukan?

Celoteh Pemusik: “Mas, tanyanya yang sopan… yang halus…”

Lalu Sarimin pun bersikap sopan yang dilebih-lebihkan, bertanya pada para penonton sekali lagi,

SARIMIN:
Maaf, Bapak-bapak… Ibu-ibu… Apakah dari pada Bapak Ibu ada yang merasa kehilangan dari pada KTP? Tidak? Bener, dari pada Bapak Ibu ndak ada yang merasa kehilangan KTP?

Seorang Pemusik menyuruh Sarimin untuk membacakan nama di KTP itu, “Kamu kan bisa baca, di situ ada namanya…, nanti kan tahu itu KTP siapa?!”

Sarimin bergaya membaca tulisan di KTP itu, tetapi hanya bibirnya yang komat-kamit…

SARIMIN:
Eee, anu, mata saya ini rada aneh kok… Kalau buat mbaca langsung mendadak rabun… Lha ini, tulisannya mendadak ndak jelas… Gini ajah, gimana kalau sampeyan yang bacain…

Para Pemusik meledek Sarimin: “Allahh.., bilang saja nggak bisa baca. Nggak bisa baca ajah kok nggaya!”

SARIMIN:
Lho, siapa yang nggaya? Siapa yang ndak bisa baca? Mbok jangan menghina begitu. Sukanya kok ya menyepelekan. Jangan meledek orang yang ndak bisa baca… Banyak juga kok orang yang tidak bisa baca tapi ya sukses… Malah ada orang ndak bisa baca tapi jadi pemimpin…

Celoteh Pemusik: “Lho emangnya ada pemimpin yang nggak bisa baca?”

SARIMIN:
Ya ada… Gini saja kok ya ndak tahu…

Celoteh Pemusik: “Coba sebutkan, siapa?”

SARIMIN:
Pokoknya ada… Ndak usah saya sebutkan…

Celoteh Pemusik: “Bilang saja takut…. Hayo, coba sebutkan, siapa?”

Sarimin tampak bingung, terpojok karena terus didesak, mencoba menutupi ketakutannya. Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Ayo, coba sebutkan kalau berani…”

SARIMIN:
(Melihat-lihat ke arah penonton, masih ketakutan dan hati-hati) Ada Pasukan Berani Mati yang nonton ndak ya… (Sarimin tampak nggak berani menyebut)… Ya, pokoknya ada!

Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Iya, siapa? Sebutkan!”

SARIMIN:
(Berpikir sejenak, lalu menjawab) Prabu Destarata… Itu, pemimpin Hastina! Dia kan tidak bisa baca… Kalian mau memancing saya kan, biar saya menjawab Gus Dur… Ya ndak mungkinlah saya berani menyebut Gus Dur… Boleh kan pemain teater juga takut. Nanti kalau ada apa-apa ya kalian paling cuman bisa nyukurin… Bikin slametan begitu saya dipenjara…

Sarimin kembali menimang-nimang dan memandangi KTP itu.

sarimin-nemu-ktp2.jpg

SARIMIN:
Bener, ini bukan KTP sampeyan?… (Bingung menimbang-nimbang KTP itu) Ya, sudah, nanti sekalian saya pulang, saya tak mapir ke Kantor Pulisi… Dari pada repot, kan mendingan KTP ini dititipkan ke Pak Pulisi… Ya ndak? Nanti biar Pak Pulisi yang nganter ke pemiliknya…

Dan Sarimin pun kembali memikul kotak topeng monyetnya. Musik tetabuhan mengiringi perjalanan sarimin. “Sarimin pergi ke Kantor Pulisi…” teriak para pemusik riang bagai pertunjukan topeng monyet.

Tampak Sarimin berjalan menuju kantor pulisi.

Musik terus mengiringi perjalannan Sarimin. Pada saat inilah, aktor juga mulai menata setting untuk perpindahan adegan. Menggeser beberapa dekorasi hingga terjadi pergantian ruang…

2.

Ahhirnya, Sarimin pun sampai di Kantor Pulisi. Ia tampak kelelahan dan capai setelah berjalan jauh. Sarimin memperhatikan Kantor Pulisi itu, tanpak sepi. Tak ada Petugas Jaga. Ia sejenak clingukan, agak ragu memasuki halaman Kantor Pulisi itu. Ia berjalan pelan dan sopan mendekat…

SARIMIN :
Permisi, Pak Pulisi….Asalamualaikum, Pak Pulisi…

Mendadak nongol sosok Pulisi, yang langsung sibuk mengetik begitu mengetahui kedatangan Sarimin. Maka Pulisi itu pun tampak terus sibuk mengetik…

sarimin-ketemu-polisi.jpg

SARIMIN:
Wah…, Pak Pulisinya ternyata lagi sibuk… Sibuk kok ya mendadak ya…

Pulisi itu terus mengetik, mengabaikan Sarimin.

SARIMIN:
Ya sudah…, biar saya tunggu saja…(Lalu menjauhi Pulisi itu, sementara suara mesin ketik terus terdengar, membangun suasana) Yah, lumayan…, sambil nunggu bisa numpang istirahat… (Sembari memijit-mijit kakinya yang terasa pegal-pegal atau sesekali meregangkan badan atau mengeluk pinggangnya) Lagi pula saya juga lagi males keliling… Udah dari pagi keluar masuk kampung, tapi nggak ada yang nanggap. Capek juga kan seharian keliling tapi ndak dapet duit…

Sarimin mengeluarkan sebiji pisang dan mengupasnya. Kemudian terdengar suara monyet, yang nangkring di kotak topeng monyet itu. Monyet itu merajuk minta pisang yang dimakan Sarimin itu…

SARIMIN:
(Bicara pada monyet itu) Apa? Pingin?… Iya, iya…, nanti saya bagi…

Sarimin mengambil monyetnya dengan penuh perhatian, memangku monyet itu…

SARIMIN:
(Sambil mengelus-elus monyetnya, bicara kepada penonton) Oh ya, kalian belum kenal toh sama monyet saya ini… Lah ya ini yang namanya Sarimin… Kalau saya dipanggil Sarimin ya cuman karna kena efeknya saja… Itu disebut The Sarimin Effect…

Monyet saya ini bukan monyet sembarangan lho… Kalau ditelusuri garis keturunannya, dia itu keturunan monyetnya Si Badra Mandrawata…

Para pemusik heran: “Siapa itu?”

SARIMIN:
Si Buta dari Gua Hantu…

Suara monyet itu terdengar senang, seperti meloncat-loncat. Sarimin mulai menyuapi monyet itu dengan pisangnya.
sarimin-nyante-di-kanpol.jpg
SARIMIN:
Nih, kamu separo…

Tampak pisang yang dibaginya itu lebih kecil. Monyetnya tampak senang. Tetapi, begitu mau menyuapkan pisang itu ke monyetnya, pisang itu malah dimakan Sarimin sendiri. Hingga monyet itu berterak-teriak. Tapi Sarimin terus mengunyah pisang itu buat dirinya sendiri…

Melihat itu, Para Pemusik pun berkomentar: “Was, Mase ini, sama monyetnya sendiri kok pelit! Medit!”… “Sudah persis kayak monyet lho Mase ini kalau makan pisang gitu!”…”Ngirit, ya Mas?”

SARIMIN:
Kalian itu jangan salah faham. Ini bukan ngirit! Saya makan pisang begini ini karna saya lagi nglakoni ngelmu munyuk!

Tahu ngelmu munyuk, ndak? Ngelmu munyuk itu ya ilmu kebajikan yang bersumber dari munyuk. Ada kitabnya! Namanya Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk.

Sarimin segera mengambil sebuah buku tua dari kotak topeng monyetnya…

SARIMIN:
Nah ini kitabnya… Ilmu soal permonyetan ada di sini semua. Kenapa manusia disebut keturunan monyet, ada penjelasannya di sini. Juga soal Jaman Monyet… Nih… (membaca halman kitab itu) hamenangi jaman monyet. Sing ora dadi monyet ora keduman. Sak begja-begjane wong sing dadi monyet, isih luwih begja wong sing koyo monyet nanging kuoso…

Seorang Pemusik memotong: “Lho, kok mendadak situ bisa baca? Tadi katanya nggak bisa baca. Nggak konsisten!”

SARIMIN:
Ini aksara Jawa. Honocoroko. Kalau huruf Jawa saya bisa baca…

Gimana, mau tahu soal ngelmu munyuk, ndak?… Lihat nih, halaman 79… (membaca) Living English Structure… Lho, kok malah bahasa Inggris. Maaf, maklum saya belinya di loakan. Ini buku bajakan, jadi halamannya kecampur-campur. Nah, ini… halaman 67… Di sini dijelaskan, kenapa monyet suka pisang… Ini ada filosofinya. Ada maknanya.

Pisang itu buah yang murah. Artinya kita harus pemurah. Mau berbagi. Maksudnya, hidup kita itu seyogyanya ya seperti pohon pisang. Anda tahu kan pohon pisang? Setiap bagian dari pohon pisang itu semuanya berguna. Tangkai daunnya bisa ditekuk-tekut, dibuat mainan kuda-kudaan. Batang pohonnyanya buat nancepin wayang. Antok-nya, jantungnya, bisa dibikin sayur yang enak.

Celoteh Pemusik: “Kalau pelepahnya, Mas?”

SARIMIN:
Pelepahnya? Ya bisa buat mainan plesetan…. Daunnya bisa dipakai buat mbungkus… Atau bisa juga di pakai buat payungan kalau hujan. Bisa buat berteduh….

Berdasarkan ngelmu munyuk ini, pohon pisang sebenarnya mengajarkan kita agar tidak egois. Karena pohon pisang memang bukan pohon yang mementingkan dirinya sendiri. Pohon pisang itu beda dengan… pohon beringin, misalnya. Ini misalnya lho ya… Kalau Pohon beringin itu kan cuman mementingkan dirinya sendiri.

Kalian lihat sendiri kan, pohon beringin itu tumbuh besar, tinggi menjulang, rimbun, tetapi ia menyedot kesuburan pohon-pohon di sekelilingnya…

Celoteh Pemusik: “Ya, tapi kan Pohon Beringin bisa buat berteduh. Kan bayak itu kere-kere yang suka berteduh di bawah Pohon Beringin…”

SARIMIN:
Kalau yang suka berteduh sih bukan cuman kere… Tapi juga keple… lonte…

Makanya, kalau orang yang pinter, pasti ndak mau lagi berteduh di bawah Pohon Beringin. Seperti para Jenderal itu… Kan sekarang banyak Jenderal yang memilih membikin dan membesarkan pohon sendiri… Lebih senang membesarkan Pohon Gelombang Cinta… Seolah-olah mereka merasa masih dicintai rakyat.

Nah, kalau sampai ada Jenderal yang terus ngotot ikut berteduh di bawah Pohon Beringin, pasti agak diragukan kredibilitasnya: ini Jenderal apa lonte…

Membuka-buka halaman kitab itu dengan serius…

SARIMIN:
Makanya kalian mesti belajar ngelmu pisang. Pohon pisang itu selalu membiarkan anak-anaknya tumbuh besar. Sampeyan tahu, pohon pisang itu juga baru mati kalau sudah berbuah. Artinya, hidup kita itu berbuah. Mesti membuahkan kebaikan. Jangan sampai kita mati tapi belum sempat berbuat baik.

Celoteh Pemusik, agak meledek: “Kata siapa…”

SARIMIN:
Lah ya menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk ini… Kalau kalian baca kitab ini, pasti kalian ngerti ilmu sejati. Ini ilmu tidak main-main. Ilmu filsafat tingkat tinggi. Tidak sembarang orang bisa mempelajari. Otak anak-anak Jurusan Filsafat saja mungkin ndak nyampe kalau mempelajari ini. Frans Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, Pak Damardjati Supajar juga ndak level ama ilmu ini. Makanya mesti hati-hati. Karna bisa-bisa nanti kebablasen: begitu mempelajari ilmu sejati ini, langsung ngaku-ngaku jadi Nabi…

Ngelmu munyuk itu ilmu ketauladanan. Mangsud-nya, banyak ketauladanan yang bisa kita pelajari dari monyet. Karena kalau monyet suka pisang, sesungguhnya monyet itu sedang memberi kita tauladan hidup. Makanya, kalau sekarang ini ndak ada tokoh atau pemimpin bangsa yang bisa kita tauladani, kenapa kita ndak meneladani monyet saja? Ya, ndak?

Sementara itu terdengar suara ngorok…

SARIMIN:
Sudah ah, nanti saja lagi saya kasih tahu soal ngelmu munyuk-nya… (Seperti tersadar kalau sudah lama menunggu)… Dari tadi kok ya belum dipanggil-panggil ya….

Suara ngorok itu makin keras terdengar, ternyata datang dari Kantor Pulisi. Tampak ruangan kantor itu sepi, hanya terdengar suara orang tertidur ngorok…

SARIMIN:
Welah, Pulisinya malah ngorok…

Lalu Sarimin menuju meja jaga pulisi itu. Tak tampak pulisi. Hanya terdengar suaranya yang mendengkur keras…

SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya cuman mau nyerahkan KTP ini kok, Pak… Soalnya saya mesti pulang… Sudah sore….

Mendadak Pulisi itu bangkit, dan langsung sibuk mengetik. Terdengar suara mesik ketik yang langsung sibuk…

(SUARA) POLISI:
(Membentak, sambil terus mengetik) Tunggu saja dulu! Apa tidak liat saya lagi sibuk!

SARIMIN:
I..ya, Pak… Iya… Sibuk kok mendadak…

Pulisi terus terus mengetik, terus sibuk. Sementara Sarimin hanya bisa memandangi dengan tatapan tak berdaya. Merasa marah disepelekan, tetapi tak bisa apa-apa, hanya ngedumel…

SARIMIN:
Ama orang kecil kok ya selalu menyepelekan… Coba kalau ndak pakai seragam, sudah saya plinteng matane…

Sarimin hanya bisa menunggu. Tapi kemudian ia seperti sudah tak bisa menahan untuk kencing…

SARIMIN:
(Kepada penonton) Ee, tolong, nanti kalau Pak Pulisinya nyari, bilang saya kencing dulu ya… Ke toilet bentar.

Sarimin kemudian bergegas hendak ke toilet, tetapi mendadak terdengar bentakan:

(SUARA) POLISI:
Hai! Mau mana?!

SARIMIN:
Mau ke belakang, Pak…

(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!… Nanti saya panggil!

Dengan terbungkuk-bungkuk sopan Sarimin akhirnya kembali duduk, tetapi tampak jengkel juga…

SARIMIN:
Gimana sih! Dari tadi cuman nyuruh tungga-tunggu… Mau kencing bentar ajah ndak boleh… Sok kuasa! Sok merasa dibutuhkan! Seneng kalau melihat orang menderita. Begitu kok ngakunya sahabat rakyat…

Sarimin tampak gelisah menahan keinginannya untuk kencing. Pada saat itu terdengar suara monyet yang menjerit-jerit, membuat sarimin gugup dan panik.

SARIMIN:
(Menenangkan monyetnya yang mulai rewel) Sstt! Jangan ribut, toh… Pak Pulisinya kayak buto galak. Nanti kamu dimarahin!

Monyet itu malah bertambah rewel, terus memekik-mekik.

SARIMIN:
(Terus berusaha menenangkan monyetnya) Apa? Haus? Pingin mimi, ya?

Mengambil botol air mineral dari kotak pikulannya, tetapi botol itu ternyata sudah kosong…

SARIMIN:
Wah, habis… Sabar, ya… Ntar minum di rumah saja ya… Cup cup cup… Bentar lagi kita pulang kok…

Tapi monyet itu makin rewel dan ribut…

SARIMIN:
Jadi monyet itu mbok yang sabar… Lama-lama kamu itu ketularan manusia lho! Ndak bisa nahan sabar! Dasar monyet asu!

Monyet itu terus memekik-mekik minta minum. Sarimin bingung. Ia melihat kepada Pulisi yang tampak sudah kembali tertidur bersandar di depan mesin tiknya. Melihat Pulisi yang lelap itu, maka Sarimin pun hati-hati menegendap-endap menuju toilet di bagian belakang…

Tampak silhuet Sarimin yang kencing, dan menadahi air kencingnya dengan botol.

Sarimin kembali muncul dan segera ia mendatangi monyetnya yang masih rewel. Dengan tenang Sarimin meminumkan isi botol itu ke monyetnya…

SARIMIN:
Nih minum… Enak, kan? Dijamin fresh from the batangan. Lagi ndak? Manis, kan? Lah wong saya kecing manis kok… Kalau gini ada untungnya juga lho kena diabet…

Sarimin terus meminumkan isi botol itu pada monyetnya, sampai kemudian monyet itu tampak tenang dan senang…

SARIMIN:
Monyet saya memang rada manja. Kalau sudah kepingin ndak mau ditunda. Paling repot ya kalu pas dia lagi birahi pingin kawin…

Seorang Pemusik nyeletuk bertanya: “Memangnya itu monyet jantan apa betina?”

SARIMIN:
Monyet jantang dong…

Pemusik: “Memangnya gimana sih caranya membedakan monyet jantan dan monyet betina?”

SARIMIN:
(Tampak sebel dengan pertanyaan itu) Ya gampang… Tinggal kamu kawinin. Kalau hamil, berarti monyet itu betina. Gitu saja kok repot! Mas, mbok kalau nanya itu yang cerdas, biar ndak bikin tambah jengkel… Maaf lho ya kalau saya jadi ketus… Kamu kan lihat sendiri, dari tadi saya sebel nunggu, lah kok malah ditanyain yang ndak mutu gitu! Sebel! Sebel! Sebelll!!! Makanya kalian jangan nambahin sebel saya…

Melihat Sarimin marah begitu, para pemusik langsung diam. Suasana jadi tidak enak. Sarimin hanya diam, gelisah, bingung nggak tahu mesti berbuat apa. Sampai kemudian Sarimin mengeluarkan beberapa alat atrasksi topeng monyetnya. Memain-mainkan payung kecil, gerobak kecil, dan lainnya. Mencoba membunuh kegelisahannya. Mencoba menyibukkan diri. Tetapi ia tetap merasa gelisah karena terus menunggu. Lalu ia melihat papan catur di atas kotak peralatannya. Ia mengambil papan catur itu, lalu mengajak para pemusik itu untuk menemaninya main catur…

SARIMIN:
Main catur yuk… Dari pada cuman bengong…

Tapi Para Pemusik tak menanggapi ajakan itu: “Ndak”… “ Mase nesuan, sih!”

Kemudian Sarimin membawa papan catur itu, mencoba mengajak para penonton untuk main catur dengannya,

SARIMIN:
Ayo, main catur yok… Masa segini banyak ndak ada yang pinter main catur? Ada yang jadi penyair, ndak? Biasanya kalau penyair itu pinter main catur… Soalnya job-nya dikit… Jadi banyak waktu luang buat main catur. Ayo, main catur…. Nemenin saya… Mungkin ibu-ibu atau mba-mba… Ayo, Mba…Main catur bareng saya…, dijamin tidak terjadi kehamilan…

Bener nih ndak ada yang mau main catur? Ya sudah kalau ndak mau… Biar saya main sama monyet saya saja…

Lalu Sarimin menata bidak catur itu, berhadap-hadapan dengan monyetnya…

SARIMIN:
Monyet saya ini lumayan cerdas juga kok kalau main catur…. Saya sudah melatihnya main catur sejak dia masih kenyung, masik kecil, masih balibul…

Seorang Pemusik bertanya: “Apa itu balibul?”

SARIMIN:
Bawah lima bulan… Kalau saja saya punya duit, pasti sudah saya sekolahkan di sekolah catur… Biar jadi Grand Master… Ayo, Min, sini, Min…

Kemudian Sarimin pun bermain catur dengan monyetnya. Suara monyet yang riang membuat Sarimin sedikit terhibur. Ia tampak senang bisa bermain catur dengan monyetnya…

SARIMIN:
Ayo cepet jalan…. Kamu duluan… Eh, eh… bentar… kamu putih apa hitam? Ya dah, kamu putih ya… Tapi aku jalan duluan lho ya…

Lalu Sarimin dan monyetnya segera main. Sarimin yang menjalankan bidak catur. Kemudian tampak bidak yang bergerak sendiri, seakan-akan tengah dimainkan oleh monyet itu. Keduanya tampak asyik dan serius.

SARIMIN:
Eeh, lho, kok mentrinya kok kamu makan… Ndak boleh… Monyet dilarang makan mentri… Yang boleh ciak menteri itu cuman mandatarisnya rakyat! Jangan sembrono lho kamu… Ayo ulang… Eh, tapi jangan ngeper gitu dong! Kamu ini kok sukanya ngawur gitu sih!

Sarimin kelihatan jengkel…

SARIMIN:
Curang! Curang kamu! Bubar! Bubar!…

Suara monyet menjerit-jerit sementara Sarimin dengan jengkel menutup papan catur itu dan menaruhnya kembali ke kotak pikulannya. Monyet itu menjerit-jerit marah…

SARIMIN:
Sudah, diam toh! Kok malah kamu yang marah. Mestinya saya jengkel. Sudah malem begini ndak dipanggil-panggil. Ngapain ajah sih tuh Pulisi! (Menengok ke arah Pulisi, yang tampak lelap tertidur) Allaahh, kok ya malah micek!

Sarimin mencoba mendekati Pulisi itu. Begitu sarimin sudah dekat dan hendak menyodorkan KTP, mendadak Pulisi itu bangun dan langsung sibuk mengetik. Suara mesin ketik yang sibuk membuat Sarimin hanya bisa neraik nafas jengkel.

Lalu Sarimin menjahui Pulisi itu. Dan begitu Sarimin sudah jauh, perlahan-lahan Pulisi itu pun kembali tidur, menyandarkan kepelanya ke meja mesin ketik.

Sarimin menengok ke belakang, melihat Pulisi yang kembali tidur. Maka Sarimin pun berbalik kembali mendekati Pulisi itu. Baru saja Sarimin mau mendekat, Pulisi itu langsung jenggirat bangun dan menyibukkan diri dengan mesin ketiknya. Melihat Pulisi itu kembali sibuk mengetik, maka Sarimin kembali merasa jengkel, tak berdaya, dan mencoba kembali menunggu. Dan begitu Sarimin menjauh, tampak Pulisi itu dengan penuh kemenangan tidur kembali…

Begitu seterusnya, setiap kali Sarimin mendekat, langsung saja Pulisi itu langsung bangun sibuk mengetik…

Sampai kemudian Sarimin tampak pasrah menunggu. Ia kini terlihat mengantuk. Menguap. Meregangkan badannya yang pegel karena lama duduk… Sarimin bangkit, hendak mendekati kembali Pulisi itu, tetapi Puisi itu langsung bangun dan membentak:

(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!! Nanti saya panggil!!!

Sarimin, yang lelah dan tak tahu mesti berbuat apa, segera kembali duduk menunggu. Ia merebahkan tubuhnya di kursi tunggu itu. Mencoba tidur. Saat itulah sebentang kain perlahan turun, seperti langit malam yang menebarkan kegelapan. Terlihat silhuet Sarimin yang tertidur. Tampak cahaya bulan, malam dengan segala kesedihannya.

Nampak Sarimin yang bangkit, dan dengan setengah mengantuk mendekati Pulisi jaga itu. Tapi kembali Pulisi itu langsung membentak:

(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!!

Dengan lunglai Sarimin kembali masuk ke balik tirai, kembali merebahkan tubuhnya. Tampak bayangan Sarimin yang tertidur di bawah redup rembulan.

Kemudian pagi datang, terdengar kokok ayam. Matahari yang cerah bangkit. Sarimin terbangun dari tidurnya, kaget…

SARIMIN:
` Astaga, sudah hari ke 192… Belum dipanggil juga….

Lalu malam kembali datang. Rembulan mengapung kesepian. Sarimin kembali tidur… Musik kesunyian seperti menghantar perubahan hari.

Dan ketika ayam kembali berkokok, matahari muncul, Sarimin pun langsung tergeragap bangun, dan mendapati dirinya masih menunggu…

SARIMIN:
Hari ke 347….

Karena tak juga dipanggil, sarimin pun kembali tidur. Musik yang galau bagai menggambarkan perasaan Sarimin yang gelisah. Cahaya menggelap. 2 Lalu Waktu bagai terus berputar. Di bagian layar belakang, muncul gambaran waktu berabd-abad…

Sementara waktu berubah, Sarimin terus menunggu, memandangi KTP yang entah milik siapa itu…

3.

Mendadak Tukang Cerita muncul dari sisi lain panggung. Pada saat yang bersamaan, silhuet Sarimin pada tirai itu lenyap.3

TUKANG CERITA:
Begitulah, Sarimin dibiarkan menunggu bertahun-tahun…

kembali-jd-tuk-cer.jpg

Sebagai Tukang Cerita saya perlu sedikit mengingatkan, agar Anda jangan terlalu menyalahkan para petugas itu. Jangan sampai Anda punya anggapan: seakan-akan para polisi itu menyepelekan Sarimin.

Sebagai warga negara yang baik dan yang percaya pada integritas dan profesionalitas polisi, kita harus maklum akan banyaknya urusan yang harus diselesaikan para polisi itu. Cobalah sesekali Anda datang ke kantor Polisi. Pasti Anda akan melihat betapa setiap hari polisi-polisi itu selalu tampak sibuk. Sibuk SMS-an… Sibuk ngobrol… Sibuk iseng ngisi TTS… Sibuk menginterogasi penjahat…. Sibuk menangkap bandar narkoba, sekaligus sibuk membagi-bagi barang buktinya…

Apalagi belakangan ini kesibukan Polisi itu makin bertambah… Karena para Polisi itu lumayan repot menahan para koruptor. Asal Anda tahu saja, menangkap koruptor itu pekerjakaan yang paling merepotkan. Karna begitu ada koruptor tertangkap, maka para polisi itu jadi punya kesibukan tambahan: sibuk menyiapkan karpet merah untuk menyambut koruptor itu… Sibuk menyiapkan sel tahanan dengan fasilitas VVIP… Dan yang terpenting: sibuk menegosiasikan pasal-pasal tuntutan yang saling menguntungkan.

Dengan segala macam kesibukan yang bertumpuk-tumpuk seperti itulah, menjadi wajar kalau Sarimin agak sedikit diabaikan.

Tapi untunglah… Untunglah, nasib baik agak sedikit berfihak pada Sarimin. Suatu pagi, ada petugas yang sedang bersih-bersih kantor polisi itu, dan secara tak sengaja melihat Saridin!

Musik tetabuhan transisi mengiringi perubahan Tukang Cerita itu menjadi Polisi. Aktor itu mulai mengenakan kostum untuk peran Polisi.

Dengan iringan musik, Polisi itu menata setting, untuk pergantian adegan. Menata meja kursi, seakan tengah berberes-beres. Musik mengiringi terus mengiringi adegan pergantian ini. Sampai kemudian Polisi itu menarik tirai yang menutupi kursi di mana Sarimin menunggu, seakan-akan ia tengah menarik tirai jendela. Saat tirai itu terangkat, Polisi itu kaget melihat Sarimin di kursi tunggu itu…

POLISI
Astaga! Ini kok ada kere di sini!!

muncul-polisi-dan-boneka-sarimin.jpg

Di kursi itu kini tampak boneka Sarimin, boneka yang secara visual mengingatkan pada sosok Sarimin…

POLISI:
Hai, ngapain kamu di sini?!

SUARA SARIMIN: 4
(Sambil menyodorkan amplop) Aa…nu, Pak.. Mau ngasih ini, Pak Pulisi…

Polisi itu memandang heran pada amplop di tangan Sarimin.

POLISI:
Apa itu? Ooo, kamu mau nyuap saya? Iya?! Oooo, hapa kamu pikir semua Polisi bisa disuap, begitu? (Penuh gaya) Huah ha haha… Maaf ya, Polisi seperti saya pantang menerima suap…. Tidak mungkin. Tidak mungkin… Polisi tidak mungkin mau menerima suap…

Mendadak dengan clingukan Polisi itu tengok kanan kiri melihat-lihat keadaan…

POLISI:
Tapi ya kalau nggak ada yang liat sih ya nggak papa… Berapa tuh isinya?

SUARA SARIMIN:
Ini bukan uang kok , Pak Pulisi… Isinya cuman KTP… Saya mau titip…

POLISI:
(Jengkel) Cuman KTP kok ya dikasihkan saya! Apa kamu nggak ngeliat saya banyak kerjaan… Kok malah ngrepotin mau titip KTP segala!

Dengan ngedumel jengkel Polisi itu akhirnya menerima amplop yang disodorkan Sarimin. Dengan tak terlalu suka Polisi itu memeriksa isi amplop itu. Benar. Isinya KTP. Mula-mula Polisi itu tak terlalu serius membaca KTP itu. Tetapi kemudian tampak tiba-tiba ekspresi Polisi itu langsung kaget. Ia membaca nama di KTP itu dengan teliti.

POLISI:
Astaga! Ini kan KTP Bapak Hakim Agung! Harataya…. Mbelgedes! Kok bisa KTP Bapak Hakim Agung sama kamu? Pasti kamu curi, ya?!

SUARA SARIMIN:
Ti…tidak, Pak Pulisi! Saya nemu di jalan…

POLISI:
Nemu di jalan mana?

SUARA SARIMIN:
Di jalan Taman Lawang, Pak Pulisi…

POLISI:
Edan! Oooo… Ini keterlaluan! Masa KTP Hakim Agung bisa jatuh di Taman Lawang… Tidak mungkin, tidak mungkin! Emangnya Hakim Agung suka keluyuran ke sana! Oooo, apa kamu kira Hakim Agung itu jenis mahasiswa yang nggak bisa bayar…, lalu ninggal KTP! Ooo jelas kamu mau mencemarkan nama baik Hakim Agung!

Ooo ini bener-bener keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan! Ayo ikut saya ke kantor!

Musik menghentak, black out. Tembang kecemasan terdengar. Kemudian ketika lampu menerangi panggung, tampak Polisi yang sudah berdiri di dekat meja interogasi, memandang Sarimin yang duduk di kursi, hingga Polisi dan Sarimin berhadap-hadapan.

POLISI:
Nggak usah gemeter begitu! Jawab yang jujur! Nggak usah berbelit-belit! Ngerti?!

Polisi itu (seakan-akan) memasang berkas kertas ke mesin tik di atas meja…

POLISI:
Nama?

SUARA SARIMIN:
Ee… saya biasa dipanggil Sarimin, Pak Pulisi…

POLISI:
(Sambil mengetik) Sa-ri-min… (Lalu kembali menatap tajam Sarimin) Umur?!

SUARA SARIMIN:
Lima puluh empat, Pak Pulisi…

POLISI:
(Sambil mengetik) Li-ma-pu-luh-em-pat… Hmmm… Pekerjaan?!

SUARA SARIMIN:
Tukang topeng monyet keliling, Pak Pulisi…

POLISI:
(Sambil mengetik) Tu-ka-ng… to-pe-ng… mo-nyet… ke-li-li-ng… Sekarang coba kamu jelaskan, bagaimana kamu mencuri KTP ini…

SUARA SARIMIN:
Saya tidak mencuri, Pak Pulisi… Saya nemu KTP itu di jalan…

POLISI:
Saya tanya bagaimana kamu mencuri KTP ini, bukan bagimana kamu nemu KTP ini!

SUARA SARIMIN:
Lho tapi saya memang nemu KTP itu kok… Sumpah! Saya tidak mencuri!

POLISI:
Tidak usah pakai sumpah-sumpahan segala! Saya tahu kok modus operandi orang macam kamu! Pura-pura nemu KTP. Padahal dompetnya kamu copet! Iya tidak?! Pura-pura berbaik hati hendak mengembalikan KTP, padahal minta uang. Mau memeras! Kamu bisa kena pasal…. Sebentar… (mengambil buku KUHP dari sakunya) Hmmm… halaman berapa, ya… Oh ini… Kamu bisa kena pasal 362 dan 368! Pencurian dan pemerasan! Itu berate kamu bisa kena sepuluh tahun! Ngerti!

Sarimin tampak mengangguk-angguk…

POLISI:
Ngerti tidak! Jangan cuman manggut-manggut begitu! Nah, sekali lagi saya tanya baik-baik: kamu nyuri KTP ini kan?

SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… saya nemu di jalan…

Polisi itu mengambil pentungan, memain-mainkannya, memprovosasi Sarimin, sambil terus mencecar,

POLISI:
Nyuri apa nemu?

SUARA SARIMIN:
(Melihat itu Sarimin agak jiper juga) Ne..nemu, Pak Pulisi…

Polisi makin mencecar Sarimin…

POLISI:
Nemu apa nyuri?

SUARA SARIMIN:
Ne…ne..mu…

POLISI:
(Membentak keras, sambil seakan mau menggebug Sarimin) Nemu apa nyuri?!

SUARA SARIMIN:
I..iya.. Pak, Polisi.. Mungkin ada orang lain yang nyuri… Tapi saya cuman nemu kok, Pak Pulisi…

POLISI:
Oooo begitu ya…. Jadi ternyata kamu tidak sendirian. Orang lain yang nyuri. Dan kamu yang pura-pura nemu. Hoo ho hooo…, lumayan cerdik juga kamu, ya! Ho ho ho…kamu ketahuan, nyolong KTP!

Berarti kamu sudah merencanakan semua ini dengan komplotanmu, kan?! Ini kejahatan berkelompok dan terencana. Kamu dan komplotanmu hendak memeras Bapak Hakim Agung, begitu kan? Ooo… Ini namanya kejahatan berkelompok dan terencana!

SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… Saya tidak tahu kalau itu KTP Bapak Hakim Agung…

POLISI:
Mau mungkir, ya! Kamu kan bisa membaca nama di KTP ini…

SUARA SARIMIN:
Sa..ya ti..tidak bisa membaca, Pak Pulisi…

POLISI:
Astaga! OO ho hoho… Kamu bener-bener keterlaluan. Itu namanya menghina pemerintah! Kamu menghina pemerintah! Kamu mau menjelek-jelekkan pemerintah!

Sudah sejak tahun 74 pemerintah memberantas buta huruf! Sudah jelas-jelas pemerintah mengatakan kalau sekarang ini sudah bebas buta huruf! Lho kok kamu berani-beraninya ngaku buta huruf?! Apa kamu mau membuat malu pemerintah?! Mau mengatakan kalau pemerintah bohong, karena masih ada orang yang buta huruf macam kamu! Ooo… kamu bisa kena pasal… (memebuka-buka lagi buku KUHP-nya) Pasal berapa, ya… Kamu maunya kena pasal berapa?! Ooo… ini.., pasal137… Penghinaan pada pemerintah!

SUARA SARIMIN:
Lho, tapi saya memang ndak bisa baca kok, Pak Pulisi…

POLISI:
Sudah, nggak usah berbohong! Saya sudah terlalu sering ngadepin bandit kecil tapi licik macam kamu! Pura-pura kelihatan lugu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak bisa membaca. Tampangnya sengaja disedih-sedihkan, biar saya kasihan. Biar saya iba, lalu saya bebaskan… (Kepada para pemusik, yang seakan-akan kini adalah juga polisi) Ooo dia kira Polisi macam kita bisa dikibulin… Tukang kibul kok mau dikibulin!

Orang lugu macam kami inilah penjahat yang berbahaya! Karena selalu memakai keluguan sebagai kedok kejahatan…

Kejahatan tetap saja kejahatan. Tidak perduli kamu bisa baca atau tidak.

Polisi itu memperhatikan KTP itu pada Sarimin…

POLISI:
Lihat KTP ini sampai lecek begini, pasti sudah kamu simpan lama ya! Kamu pasti sengaja tidak cepat-cepat mengembalikan! Pasti KTP ini kamu pamerin ke temen-temen copetmu kamu! Pasti statusmu jadi naik di kalangan pencopet karena berhasil mencopet KTP Hakim Agung! Setidaknya kamu ingin dianggap hebat karenasarimin-diinterogasi2.jpg punya KTP Hakim Agung! Biar kamu disangka saudaranya Hakim Agung… Iya, kan?!
SUARA SARIMIN:
Tidak, Pak Pulisi… Sumpah… Wong begitu saya nemu KTP itu, saya langsung lapor ke sini kok… Tapi saya malah disuruh nunggu terus…

Mendengar jawaban itu Polisi langsung marah, dan mau memukul…

POLISI:
Kurang ajar! Apa kamu pingin saya gebugin kayak praja IPDN!…

Para Pemusik mencoba menengangan: “Sabar….sabar….”

POLISI:
Hati-hati kalau bicara! Kamu bisa kena pasal penghinaan pada aparat! Menuduh Polisi tidak cepat tanggap!

Kalau kamu memang bener-bener datang melaporkan soal KTP ini, pasti petugas jaga akan langsung menanggapi. Ooo ho ho… tidak mungkin, tidak mungkin polisi menyepelakan rakyat… Karna Polisi itu sahabat masyarakat!

Polisi itu di mana-mana selalu melindungi rakyat! Yah paling-paling ya ada polisi yang kesasar salah nembak rakyat… Tapi itu kan ya hanya insiden… Insiden yang kadang direncanakan….

Polisi kemudian mengambil berkas kertas di meja mesin tik, sambil menatap tajam pada Sarimin yang terdiam…

POLISI:
Sebagai Polisi, sudah barang tentu, saya pun harus melindungi kamu… Ngerti tidak? Makanya, kamu juga mesti pengertian… Ini, lihat (menyodorkan berkas kerast itu ke hadapan wajah Sarimin)…

Kesalahanmu sudah bertumpuk-tumpuk… Kalau berkas ini saya bawa ke pengadilan, kamu bisa dihukum lebih dari 20 tahun penjara… Bahkan mungkin lebih. Karna kamu mesti berhadapan dengan jaksa dan hakim, yang pasti tidak ssuka dengan kamu!

Asal kamu tahu saja, ya! Jaksa-jaksa itu selalu minta bayaran lebih banyak. Juga hakim-hakim. Sulit sekarang menemukan hakim yang baik. Kalau kamu nggak ada duit, pasti dengan enteng hakim itu kan menjebloskanmu ke penjara!

Kamu nggak ingin masuk penjara, kan? Makanya, kamu nurut sama saya saja. Nanti laporannya saya bikin yang baik-baik. Faham maksud saya?!

Tapi ya kamu tahu sendiri, itu perlu biaya. Ooo ho ho ho…. ini bukannya saya mau minta duit lho ya… Tidak! Saya tidak minta! Saya cuman menyarankan….

Para pemusik ikutan membujuk: “Iya, Min… Sudahlah, Min… Selesaikan saja secata adat ketimuran, Min…”

POLISI:
Tapi ya terserah kamu. Sebagai Polisi yang mengerti perasaat rakyat, ya saya hanya bisa membantu semampu saya. Saya ngerti, kamu tidak terlalu punya duit. Makanya cukup 5 juta saja.. Kalau kamu setuju, bekas ini langsung saya kip, dan kamu boleh pulang…

SUARA SARIMIN:
(Terpana tak percaya) Lima juta?… Saya ya tidak punya uang segitu, Pak Pulisi…

Tampak Polisi itu mencoba sabar dan pengertian,

POLISI:
Ya sudah… Karena kamu punya itikad baik, ya bisa dikurangilah. Tiga juta, gimana?

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu saya juga ndak punya…

POLISI:
Ooo ho ho ho… Ya, ya sudah…, jangan sedih begitu. Saya kan hanya menawarkan. Kalau kamu masih keberatan ya bisa disesuaikan semampu kamulah… Ngerti kamu?

SUARA SARIMIN:
I..i..iya, Pak Pulisi…

POLISI:
Nah, gimana kalau dua juta!

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…

POLISI:
Kalau satu juta ..

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…

POLISI:
Saya diskon lagi, deh Mumpung masih suasana Lebaran, jadi bisa diobral… Gimana kalau lima ratus ribu…

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya bener-bener ndak punya…

POLISI:
Seratus ribu deh…Ya, ya, seratus ribu! Hitung-hitung buat uang rokok. Oke?

SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu juga saya ndak punya…

Kesabaran Polisi itu rupanya sudah sampai pada batasnya, dan ia langsung meledak marah,

POLISI:
Brengsek! Kamu bener-bener melecehkan saya! Dimana saya taruh harga diri saya alau segitu saja masih kamu tolak!

Memang susah kalau urusan sama orang miskin! Cuman dapat kesel Kalau kamu lebih suka ke pengadilan, silakan! Kamu bisa membusuk di penjara 50 tahun!

SUARA SARIMIN:
(Takjub dan heran tetapi juga tak berdaya) Cuman karna nemu KTP saya dihukum 50 tahun?

Polisi itu berdiri, dingin, tegas dan formal:

POLISI:
Hukum tetap hukum, Saudara Sarimin! Atas nama hukum dan undang-undang, Saudara Sarimin ditahan!

Musik menghentak. Dan lampu langsung menggelap seketika…

4.

Mengalun tembang sedih yang menyayat hati…

Lalu di layar bagian belakang perlahan muncul bayangan jeruji sel penjara. Lalu tampak bayangan Sarimin di balik jeruji sel penjara itu. Sarimin tampak termenung, tak berdaya. Tembang kesedihan terus menyayat kesunyian…

SUARA SARIMIN:
Apa salah saya, Gusti?… Apa salah saya…

Lalu mendadak muncul bayangan monyet Sarimin. Seperti muncul dari dalam mimpi Sarimin, seakan-akan itu ada dalam pikiran Sarimin. Terdengar suara monyet yang memekik-mekik…

SARIMIN:
Min? Sarimin… Itu kamu ya, Min? Lapar, Min?… Prihatin dulu, ya, Min…Banyak berdoa ya, Min… Biar saya cepet bebas. Doa monyet miskin dan teraniaya macam kamu kan biasanya didengar Tuhan, Min…

Bayangan monyet itu terus menjerit-jerit. Dalam bayangan itu pula, sesekali Sarimin mencoba mengusap dan menyentuh monyetnya…

Lagu kesedihan, yang juga terkesan agung menggaung, menjadi latar belakang adegan itu…5

Pak Hakim dan Pak Jaksa

Kapan saya akan di sidang

Sudah tiga bulan lamanya

Belum juga ada panggilan

Saya ingin cepat pulang…

5.

Lalu di penghujung lagu itu, musik berubah menghentak, bergaya hip-hop. Pada saat musik hip hop ini berlangsung, setting pun perlahan-lahan berubah. Bayangan Sarimin di balik jeruji penjara lenyap. Sementara di bagian lain panggung, segera tampak ruang tempat Pengacara.

Muncul Pengacara, tampak riang, dengan gaya genit cosmopolitan yang penuh gaya. Pengacara itu langsung menyuruh musik berhenti:

jadi-bensar-1.jpg

PENGACARA:
Hai, stop! Stop! Bah, kalian ini bener-benar tidak punya rasa keadilan! Ada orang dihukum malah hip-hop hip-hopan begitu! Cem mana pula kalian ini! Tunjukanlah simpati dikit!

Sembari bicara, pengacara itu merapikan diri, mengatur penampilannya. Memakai kalung emas dengan bandul initial namanya yang besar. Merapikan pakaiannya, merapikan gaya rambutnya, menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya… Sehingga tampak kalau ia lebih sibuk dengan dirinya ketimbang dengan apa yang dikatakannya…

PENGACARA:
Kalian itu mestinya prihatin, kenapa di negara hukum begini kok ada orang diperlakuan tidak adil! Ah, emang benar-benar sewenang-wenang Pak Polisi itu. Sebagai pengacara yang punya hati nurani, sudah tentulah aku tak bisa berdiam diri!

Pengacara terus sibuk merapikan diri, sampai kemudian ia seperti tersadar, dan segera bicara kepada penonton:

PENGACARA:
Sebentar…Kalian pasti merasa heran, kenapa pengacara kondang…, pengacara infotaimen macam aku ini, tiba-tiba nongol di lakon beginian.

Seharusnya tadi, Si Tukang Cerita itu, yang memperkenalkan aku lebih dulu. Menjelaskan, apa peran aku dalam lakon ini. Begitulah semestinya…

Tapi kupikir-pikir, kalau si Tukang Cerita itu yang memperkenalkan, nanti diledek-ledeknya pulalah aku ini. Mangkanya, kupikir-pikir lebih baik aku muncul saja langsung. Biar aku sendiri yang memperkenalkan diri.

Dengan penuh gaya menyemprotkan parfum ke lehernya…

PENGACARA:
Nama saya Bensar… Aku yakin kalian sudah tahu, dari mana aku ini. Tapi tak usahlah aku kasih tahu marga aku… Nanti aku kena somasi…

Aku di sini terpanggil karena ingin membela Sarimin. Kasihan kali orang itu. Kemarin aku sudah ketemu dia. Aku langsung jatuh iba. Tergerak hati nuraniku untuk membelanya habis-habisan.

Begitu Abang Bensar datang, Sarimin langsung tenang. Aku sudah jelaskan duduk perkaranya, dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyelamatkannya.

Aku bilang pada Sarimin, ”Sarimin, seharusnya kau ini malah merasa beruntung bisa masuk penjara. Susah lho ini masuk penjara… Coba itu kau lihat, banyak kali koruptor yang bermimpi bisa masuk penjara, tapi tak bisa-bisa masuk… makanya kubilang, kau ini benar-benar beruntung. Tidak berbuat salah, tapi masuk penjara. Itu prestasi luar biasa… Makanya Sarimin, tak usahlah kau takut! Ketaktan itu cumian soal pikiran. Kalau pikiranmu takut, maka takutlah kau. Makanya jangan kau berpikir hukum itu menakutkan. Hukum itu menyenangkan. Happy!

Kemudian Pengacara Bensar langsung merapikan bawaannya: tas golf beserta isinya. Ia Tampak riang bernyanyi-nyanyi gaya hip hop:

Happy happy

Hukum itu happy

Hukum itu menyenangkan

Hukum menguntungkan

Karna dengan hukum

Semua kesalahan

Bisa dinegosiasikan…

Hapy happy…

Hukum itu happy…

Sambil terus bernyanyi pengacara itu bergerak sambil mengubah setting panggung. Tampak kemudian sel penjara, di mana seakan-akan Pengacara itu berjalan dari rumah menuju ke sel penjara, tempat Sarimin di tahan. Dan Pengacara itu pun sampai di dekat sel Sarimin…

PENGACARA:
(Masih terus menyanyi) Happy happy…. Semua bisa Happy…

Sampai kemudian nyanyian berhenti. Dengan gayanya yang khas, Pengacara Bensar kembali menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya…

PENGACARA:
Bagimana Sarimin, apakah kamu merasa happy hari ini? Tenanglah, ini Abang Bensar sudah datang. Abang akan negosiasikan semua perkara kau.

Mengerti kau negosiasi?! Ah, sudahlah, tak usah kau berpikir yang berat-berat. Biar aku yang pikir saja gimana baiknya. Percayalah sama Abang…

Apa sih perkara yang tidak bisa abang selesaikan? Artis yang mau cerai…, begitu Abang tangani, dijamin langsung cerai. Terdakwa ilegal logging…, begitu Abang tangani, dijamin bisa langsung bebas kabur ke luar negeri…

Makanya, kau tenang saja di situ… Biar aku urus sebentar sama Pak Polisi. Biar lancar semuanya…

Lalu Pengacara berjalan ke arah belakang, seakan mendekati Polisi yang ada di pengacara-dan-wayang-polisi2.jpgbelakang. Dan Pengacara bensar pun berbicara dengan Polisi, yang tampak bayangannya, berupa wayang…


PENGACARA:
Ah, Apa kabar, Pak… Wah, tambah ganteng saja nih… Mungkin Bapak bisa tolong belikan makan atau minum buat klien saya… Nanti kembaliannya buat Bapak….


(SUARA ) WAYANG POLISI:
Maaf, dilarang membawa makanan dalam penjara!

PENGACARA:
Ah, aneh kali ini Pak Polisi… Kenapa makanan dak boleh masuk penjara? Narkoba saja bisa dibawa masuk ke penjara. Kimbek kali! Ingatlah Pak Polisi…, klien aku itu masih berstatus tersangka. Masih tahanan sementara. Jadi mesti kau hargai hak-hak pidananya.

(SUARA ) WAYANG POLISI:
Semua ada tata tertibnya. Ada peraturannya. Ada etikanya! Sebagai Pengacara, Saudara mestinya tahu itu!

PENGACARA:
Betul-betul aneh ini Polisi! Baru kali ini ada polisi mengajak bertengkar pengacara. Biasanya polisi macam kalian itu kan bertengkarnya sama tentara…

Tampak Pengacara Bensar kesal, dan segera meninggalkan Polisi itu. Ia segera kembali ke dekat sel penjara Sarimin.

PENGACARA:
(Kepada Sarimin) Biarlan nanti aku atur sama komandannya. Polisi emang suka berlagak begitu. Suka akting. Lagaknya kayak Politron… Polisi Sinetron…

Sekarang kau dengar… Biar semua gampang dan cepet beres, aku sarankan agar kau akui saja semuanya. Ini akan jadi kredit point yang bagus, karna kamu akomodatif. Artinya kamu dianggap bersikap baik Kalau kau bersikap baik, pasti nanti hakim akan member kau keringanan hukuman. Jadi, yang penting sekarang ini kau harus mengaku salah…

SUARA SARIMIN:
Mengaku salah bagaimana? Memangnya saya salah apa?

PENGACARA:
Aduuh! Kan tadi aku sudah bilang, tak perlulah kau membantah. Apa kau pikir kalau kau melawan kau akan menang. Jangankan orang kecil macam kau, majalah Time yang besar saja bisa divonis kalah kok! Makanya aku bilang, peluang terbaikmu adalah mengaku salah!

SUARA SARIMIN:
Iya… tapi salah saya apa?

PENGACARA:
Salah kau ya karna kau tidak mengerti kau berbuat salah! Bodoh betul kau ini ya… Kau pikir kau berbuat benar. Padahal kau berbuat salah. Kebenaran itu kadang menyesatkan, Sarimin. Kau bukannya benar, tetapi hanya merasa benar. Orang yang merasa benar itu belum tentu benar. Makanya ketika kau merasa benar, kau justru bisa bersalah. Karna benar, maka kamu salah!

Kau harus fahami betul itu. Makanya aku membantu kau, agar kau tidak tersesat di jalan yang kamu anggap benar itu! Kau mestinya beruntung aku mau jadi pembela kau.

Mendadak terdengar suara bunyi handphone, dengan nada dering yang norak… Pengecara Bensar dengan penuh gaya langsung mengambil handphone dari sakunya,

PENGACARA:
(Bicara di handphone-nya) Hallo sayang…Abang lagi sibuk nih. Lagi ketemu klien.. Sudahlah, kamu chek in dulu lah. Nanti Abang susul, ya…

Lalu mematikan handphone-nya, dan masih dengan penuh gaya bicara kembali pada Sarimin di balik selnya…

PENGACARA:
Maaf, bukannya gaya… Tapi ada klien lain yang mesti aku urus. Yah, maklumlah pengacara laris. Sudah pastilah orang miskin macam kau tak mampu membayar aku. Makanya kau mesti bersyukur, aku mau membela kau!

Aku tahu, banyak suara-suara miring di luar sana. Menganggap akupengacara mata duitan. Malah oleh kolega-koleganya saya sering distilahkan dengan pengacara begundal. Taik kucinglah semua! Pukima!

Sekarang aku mau buktikan, kalau aku juga punya perasaan keadilan. Aku juga mau membela orang lemah macam kau, Sarimin! Aku akan berjuang habis-habisan buat kau! Kalau perlu, nanti akan aku bentuk TPS… Tim Pembela Sarimin!

Memperlihatkan koran pada Sarimin…

PENGACARA:
Kau lihat ini… Kamu jadi berita di koran-koran., karna kau dianggap korban ketidakadilan..

Terlihat koran dengan berita Sarimin yang jadi headline itu kepada para pemusik. Pada saat bersamaan para pemusik segera bernyanyi, menghentak, dengan gaya hip hop yang rampak:

Sarimin jadi berita

Di koran-koran mendadak ia

Jadi ternama

Simbol korban ketidakadilan

Seolah-olah hukum adalah

Alat menindas orang yang lemah…

Seolah-olah tak ada lagi

keadilan di negri ini

Brengsek! Brengsek!

Hukum kita brengsek

Brengsek! Brengsek!

Semua orang bilang

Hukum kita brengsek!

Nyanyian berhenti. Pengacara itu kaget.

PENGACARA:
Apa kau bilang? Hukum kita kita brengsek?? Tidak betul itu! Hukum di negeri ini tidak brengsek… tapi luar biasa brengsek!

Kembali mendekati dan bicara pada Sarimin…

PENGACARA:
Tapi kita tak bolehlah putus asa… Aku yakin aku masih bisa membantumu, Sarimin. Aku jamin, kamu akan mendapat bagian keadilan. Memang kau tak akan menang. Tapi kau akan bangga, karena namamu akan dikenang. Kau akan jadi simbol dari perjuangan menegakkan keadilan. Ini peluang bagus buat kamu, Min… Artinya kalau kau nanti mati, kau tidak akan mati sia-sia!

SUARA SARIMIN:
Saya sudah tua… mati juga tidak apa-apa…

PENGACARA:
Eee, janganlah kau mati begitu saja. Nanti sia-sia aku membela kau!

Dengar ya, Min… Syarat untuk jadi simbol perjuangan, kau harus mati secara dramatis. Pejuang terkadang dikenang bukan karna apa yang telah dilakukannya, tetapi pada bagaimana cara matinya. Semangkin dramatis kematiannya, semangkin hebatlah dia…

Nah, makanya, nati biar aku aturlah sama Polisi itu, bagaimana baiknya cara kau mati. Aku sih kau mati dengan cara yang heroik. Mungkin diracun arsenik. Tapi aku kira itu bukan cara mati yang kreatif. Mesti lebih dramtis dikitlah. Mungkin kau disiksa lebih dulu. Di cabut sati persatu jari kau, lalu dicongkel mata kau… wah, itu kematian yang dramatis, Min! Gimana? Kamu mau kan?

Kalau kau mati dengan cara seperti itu, maka kematian kau itu akan dikenang sebagai korban kekejaman hukum. Namamu akan dijadikan monumen abadi… Itu berarti kau untung, dan aku pun untung. Itu primsip keadilan dalam hukum, Min! Kau untung jadi simbol ketidakadilan, aku pun untung karena jadi pembela korban ketidakadilan…

Pengacara itu nampak begitiu bahagia, memeluk tas golf-nya, mengambil kaca rias dan mengamati wajahnya, merapikan sisiran rambutnya, bahkan ia memupur pipinya dan mengoleskan lips gloss pada bibirnya, sambil terus berbicara…

PENGACARA:
Bayangkan, Min… Aku akan bisa mensejajarkan namaku di barisan para pejuang hukum. Pejuang keadilan! Ini peluang baik buat karier kepengacaraanku. Siapa tahu nanti aku bisa dapat Yap Tiap Him Award…

Makanya, Min, kau harus mengaku salah! Itu namanya kamu dapat karunia kesalahan! Kamu telah dipilih oleh Tuhan untuk menjadi orang yang salah…

SUARA SARIMIN:
(Begitu memelas) Saya ndak ngerti… Omongan sampeyan malah bikin saya bingung…

PENGACARA:
Jangankan kamu, saya sendiri kadang bingung dengan omongan saya kok… Maklumlah, Min, omongan pengacara…

SUARA SARIMIN:
Saya berbuat baik, kok malah disuruh ngaku salah… Menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk, berbuat baik itu ndak salah kok…

PENGACARA:
Eee, jangan ngacau kau. Bertahun-tahun aku belajar hukum, tidak ada itu…apa kau bilang tadi? Apa? Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk… Ahh, tidak ada itu kitab hukum macam itu! Ngaco kali kau!

Sudahlah! Kau ngaku salah apa susahnya sih! Bagaimana mungkin aku bisa membela kau kalau kau tidak bersalah.

Lagi pula Pak Polisi itu sudah bilang kau bersalah. Bagaimana mungkin kau masih saja merasa tidak bersalah, kalau Polisi sudang bilang kau bersalah.

SUARA SARIMIN:
Jadi saya harus ngaku salah?

Mendadak terdengar suara bentakan Polisi, bersama menculnya bayangan wayang Polisi…

SUARA POLISI:
Sudah ngaku saja salah. Sudah dibela masih saja ngeyel tak bersalah! PENGACARA:

Tuh, dengar apa kata Pak Polisi… Aku mau membela kau kalau kau mau ngaku bersalah, Min! Pengacara macam aku ini sudah terbiasa membela orang yang salah, nanti aku malah bingung kalau membela orang tidak bersalah. Makanya, kamu mengaku salah saja ya, Min…

Terdengar suara wayang Polisi, membentak Sarimin,

SUARA POLISI:
Kalau kamu ngaku salah, nanti saya atur sama Mas Pengacara…

PENGACARA:
Orang salah ngaku salah itu sudah biasa. orang yang bener tapi mau ngaku salah, itu baru mulia! Makanya kalau kau ngaku salah, kau akan jadi orang mulia!

Kembali suara wayang Polisi, membentak Sarimin,

SUARA POLISI:
Kamu tak punya pilihan, Sarimin! Kamu tidak bisa melawan hukum! Hukum telah menganggapmu bersalah!.. Bersalah!… Bersalah! Bersalah!…

Suara Polisi yang meninggi itu kemudian menjadi gema: “Bersalah! Bersalah! Bersalah!” Makin lama gema suara itu makin membahana, seperti mengepung dan mengurung Sarimin…

Bersamaan dengan itu, lampu perlahan-lahan meredup, menggelap. Hingga yang terdengar hanya gema suara Polisi dan Pengacara yang saling bersahut-sahutan, berulang-ulang, saling tumpuk, dan terus mengepung menggema:

GEMA SUARA PENGACARA:
Kau mesti beruntung karena menjadi orang yang terhukum, Sarimin!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!

GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!

Bersamaan dengan gema suara-suara itu, di bagian belakang layar muncul bayangan-bayangan yang berlesetan. Bayang-bayang wayang Polisi dan Pengacara, bayang-bayang yang bertumpuk-tumpuk, berkelebatan, kadang bayang-bayang itu membesar dan seakan siap menerkam, bersamaan dengan gema suara yang tumpang tindih dan berulang-ulang:

GEMA SUARA PENGACARA:
Kau harus merasa beruntung karena kau menjadi orang yang terhukum!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!

GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!

GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!

Di antara gema suara yang terus bersahut-sahutan itu terdengar rintihan Sarimin…

SARIMIN:
Ampun… Ampun…

Lalu suara-suara yang bergema itu perlahan menghilang. Ada kesunyian yang membentang. Lalu cahaya yang pucat dan layu bagai membelah kepedihan. Cahya itu menyorot ke Sarimin, yang tampak tak berdaya di balik jeruji sel penjara. Kesunyian yang menekan tampak bagai jaring yang meringkus Sarimin.

Pada layar di bagian belakang, muncul bayangan yang samar, simbolis, semacam Dewi Keadilan, sosok yang menggambarkan kehadiran Hakim Agung…

SARIMIN:
Maafkan saya, Bapak Hakim Agung…

Terdengar sosok Hakim Agung di bayangan layar itu berbicara pada Sarimin. Suara dingin dan datar:

SUARA HAKIM AGUNG:
Kalau saja saya bisa memaafkanmu, Sarimin…

SARIMIN:
Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Tapi hukum tidak bisa ditegakkan dengan maaf, Sarimin..

SARIMIN:
(Menghiba) Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Kamu jangan salah faham, Sarimin… Bukan saya yang menghukum kamu. Hukumlah yang menghukummu…

SARIMIN:
(Makin menghiba) Ampuni saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Hukum punya jalan keadilan sendiri, Sarimin.

Makin lama Sarimin makin menghiba dan mulai merangkak-rangkak, bersujud di bawak sel penjara…

SARIMIN:
(Makin menghiba tak berdaya) Ampuni saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Tak ada gunanya kamu merasa benar kalau hukum mengganggpmu tidak benar…

SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Biarlah hukum yang menentukan, Min… Bukan saya…

Di bagian layar itu pula, muncul bayangan monyet, yang menjerit-jerit, muncul di sela-sela gema suara Hakim Agung

SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan kamu… Hanya hukum yang benar…

Kembali terdengar suara monyet memekik-mekik…

SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan saya… Bukan kamu…

Sementara Sarimin terus menghiba memohon ampunan…

SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…

SUARA HAKIM AGUNG:
Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum… (Terdengar suara monyet)…

Suara Hakim Agung terus terdengar bertumpang tindih dengan suara pekikan monyet, sementara Sarimin terus merangkak-angkak, bersujud…

Sampai kemudian Sariin merasa aneh dengan gema suara Hakim Agung dan suara monyet yang bagai mengepung menerornya itu. Sarimin jadi termangu, memandang bingung ke luar penjara saat gema semua suara itu melenyap. Segalanya bagai di ruang hampa…

SARIMIN:
Aneh… Tadi itu suara Hakim Agung atau suara monyet ya?!

Gelap menyergap seketika. Black out!!
SELESAI.

Yogyakarta, 2007

Catatan-catatan tekhnis:

1 Nama ini boleh diganti, dengan nama penonton yang hadir. Penonton yang dikenal sebagai public figure, yang familiar dengan audience.

2 Di sinilah, secara tekhnis, aktor pembantu mulai menempatkan diri di balik tirai. Sementara aktor utama, pelakon monolog ini, bisa mempersiapkan diri mengganti kostum untuk adegan berikutnya.

3 Ini menjadi semacam trick pemanggungan: hingga muncul kejutan, seperti sulap, seakan aktor itu bisa berubah dalam sekejap. Padahal, yang di balik layar tadi adalah pemeran pengganti (yang secara postur dan bentuk tubuh, sama dengan aktor pemeran monolog ini)

4 Pada saat dan selama dialog Sarimin, boneka itu ‘bergerak’ mengikuti dialog. Secara tehknis yang menggerakkan boneka itu bisa crew artistik atau yang membantu. Tapi akan lebih bagus bila yang menggerakkan boneka itu justru aktor pemeran monolog ini sendiri. Di sini, secara tekhnis suara Sarimin juga bisa disuarakan oleh aktor monolog ini secara langsung dengan intoneasi dan karakter suara yang berbeda.

5 Di sini dipilih lagu dangdut “Tembok Derita”. Lagu ini dibawakan dengan gaya agung, bergaya Gregorian, hingga muncul semacam parody dari lagu dangdut itu, sekaligus menjadi gambaran suasana yang anomaly.

KERETA KENCANA ( Les Chaises )

Karya : Eugene Ionesco
Terjemahan : W.S. Rendra






( WAKTU LAYAR DIBUKA PANGGUNG GELAP DAN SUNYI, KEMUDIAN TERDENGAR SUARA)

………………… Wahai, Wahai……………….. Dengarlah engkau dua orang tua yang selalu bergandengan, dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai, wahai dengarlah !
Aku memanggilmu. Datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin, musim gugur menampari pepohonan dan daun-daun yang rebah berpusingan.
Wahai, wahai !
Di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencanaa untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, 10 kuda 1 warna.

( EMPAT KETUKAN, SETELAH ITU NENEK MASUK DENGAN LILIN MENYALA. DUHAI GUGUPNYA)

NENEK : Henry, engkaukah itu ?
Henry….. ah…. dari mana engkau sayang ?


( NENEK BERJALAN DENGAN LILIN MENYALA, IA DUDUK DI KURSI BAGUS TANPA SANDARAN, DAN MEMBISU )

NENEK : (MELETAKKAN LILIN KE MEJA ) Henry, dari mana engkau ? Kenapa diam saja ? saya mencarimu, ada apa dengan engkau ? Ayolah jangan diam saja ? Henry apakah kau tadi yang bersuara keras ?

KAKEK : ( MENGGELENGKAN KEPALA BAGAI TERMENUNG )

NENEK : Sakitkah engkau ? Ayolah jangan diam saja. Nyalakan lampu listriknya. Di kamar ini dan di kamar tidur kita saja yang ada lampu listriknya, dikamar lain sudah rusak semuanya. Oh Tuhan……. Alangkah bobroknya rumah kita ini. Baiklah. Ayolah nyalakan lampu listriknya Henry.

(KAKEK TETAP MEMBATU, NENEK LALU PERGI MENYALAKAN LAMPU. LAMPU MENYALA HIJAU, NENEK TERKEJUT )

NENEK : Kenapa sayang, kenapa? (MENGAMBIL LILIN KAKEK, MENARUHNYA KE SEBELAH LILIN NENEK, LALU MEMADAMKAN KEDUA LILIN TADI) Apakah kau sakit ? Oh, jangan membingungkan saya, apa kau tadi berteriak keras ?

KAKEK : ( MENGGELENGKAN KEPALA )

NENEK : Saya mendengarkan suara.

KAKEK : Saya juga.

NENEK : Kau juga ? Suara apa ?

KAKEK : Suara yang dulu lagi. Aku mendengar suara yang dulu lagi.

NENEK : Aku juga mendengarnya.

KAKEK : Suara yang berulang kali datang.

NENEK : Ya ! Suara yang dulu.

KAKEK : Angin bertiup keras.

NENEK : Ya !

KAKEK : Lalu ketukan pintu.

NENEK : Ya !

KAKEK : Tapi kali ini ada tambahannya.

NENEK : ?????

KAKEK : Suara orang berkata. ( DIAM SEJENAK)

NENEK : Jadi kau juga mendengarnya ? Cobalah kau katakan bagaimana mendengar kata itu.

KAKEK : Kita berdua mendapat panggilan.

NENEK : Jadi kau pikir panggilan itu untuk kita berdua ?

KAKEK : Dau orang tua yang dua abad usianya, siap lagi kalau bukan kita ? Baru dua hari yang lalu aku merayakan ulang tahun yang ke 200.

NENEK : Coba menurut kau bagaimana kau mendengar suara itu ?

KAKEK : Tengah malam nanti, apabila angin mendayu dan bulan luput dari mata. Akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua. Waktu itu aku sedang mencari-cari buku harianku di kamar perpustakaan, lalu kudengar suara itu isinya kurang lebih begitu, tapi aku tak tahu bagaimana persisnya.

NENEK : Aku tahu, aku juga mendengarnya. Engkau dua orang tua yang selalu bergandengan tangan dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai…wahai…. Dengarlah aku memanggilmu, datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menjemput kau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin. Musim gugur menampari pepohonan dan daun-daunan yang berpusing.
Wahai….wahai….. di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana. Kereta kencana 10 kuda 1 warna.

KAKEK : Jadi kau dengar suaranya ? Sementara mendengar itu semua.

NENEK : Jantungku berkeridutan, penyakit yang lama kembali lagi.

KAKEK : Aku juga, penyakitku kembali lagi, tubuhku berkeringat dan nafasku sesak.

NENEK : Tahukah kau artinya semua ini ?

KAKEK : Ya ! Malam ini kita akan mati bersama.

(HENING, KAKEK MELANGKAH KE JENDELA DAN MEMBUKANYA)

NENEK : Kenapa kau buka jendela itu ? Hawa di luar sangat dingin.

KAKEK : Malam musim gugur.

NENEK : Kau nanti masuk angin.

KAKEK : Bintang bertebaran dan bulan nampak pucat, sebentar lagi akan datang angin-angin itu menbawa mendung, dan mendung itu akan membawa bulan luput dari pandang mata.

NENEK : Tutuplah jendela itu.

( KAKEK MENUTUP JENDELA, MENUJU KURSI PIANO, LALU DUDUK )

KAKEK : Aku merasa kosong.

NENEK : Angin buruk gampang membuatmu sakit, sayang.

KAKEK : Kita terlalu hidup, dan terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur kita yang panjang ini. Berapa kali sajakah kita mengharap mati ? Tiap datang ketukan pintu, kita berpikir, inikah saatnya ? Tapi kita selalu salah duga.

NENEK : Tapi kali ini kita tidak akan salah duga.

KAKEK : Pasti, pasti tidak akan salah lagi. Setelah akan datang sungguh saat ini, beginilah rasanya.

NENEK : Apakah kau takut ?

KAKEK : Tak tahu, dan kau ?

NENEK : Tak tahu. Tapi sedihkah kau ?

KAKEK : Tidak. Sedihkah kau ?

NENEK : Saya kira tidak, aku tak tahu.

KAKEK : Tak tahu, itulah jawaban yang paling tepat. Kita balon yang berisi hawa. Tak takut, tak sedih, Cuma hawa yang hampa.

NENEK : Sebentar lagi takkan hampa-hampa juga. Kita sekali bisa mengisi hidup ini.

KAKEK : Aku merasa jemu dan lesu.

NENEK : Apa artinya kebudayaan kalau manusia tidak bisa menghibur dirinya.

KAKEK : Aku mau membuka jendela.

NENEK : Jangan, jangan sayang. Apakah kau akan bertingkah nakal lagi Henry ? Ah, kau terlalu banyak aku manjakan manis.

KAKEK : Aku tidak bertingkah, aku tidak berbuat apa-apa, hidupku sudah kosong.

NENEK : Jiwa dan akal lebih luas dari kejemuan. Kebudayaan kita harus menag dari kejemuan. Senyumlah sayang, senyum disaat seperti ini adalah kebudayaan.
KAKEK : Aku tidak mau tersenyum.
NENEK : Menyanyi ?

KAKEK : Tidak !

NENEK : Baiklah engkau seorang badut. (LAKUNYA SEPERTI BERKATA KEPADA ANAK KECIL)

KAKEK : Aku senang jadi badut. Ingatkah kau ketika aku masih mahasiswa? Aku pernah jadi juara lomba lawak.

NENEK : Tentu saja, engkau badut yang manis.

KAKEK : Manisku, aku sekarang badut.

NENEK : Badut yang pintar, bukan ?

KAKEK : Badut yang manja.

NENEK : Boleh, sekarang badut yang manja ingin apa ?

KAKEK : Saya ingin kau jadi layang-layang.

NENEK : Ini layang-layang (MENGEMBANGKAN TANGANNYA)

KAKEK : Uluuuuuur, tariiiiiiiiiiiiik, uluuuuuuuuuuur, tarik………….. uluuuuuuur-uluuuuuuuur…………. Ah putus.

(NENEK JATUH KE LANTAI, KAKEK TERTAWA SENANG )

NENEK : ( TERENGAH-ENGAH ) Wah, badutnya nakal. (TAPI NAMPAK NENEK SANGAT SENANG )

KAKEK : Hihihihihihihihihihi, lihatlah aku sendiri ketawa, kaulah badut dunia penghibur orang lain dan aku sendiri.

NENEK : (BERDIRI) Engkau tertawa dan mukamu segar seperti buah apel. Engkau mengalahkan kesempitan dan kekosonganmu, hiburan bukanlah pesta yang mahal. Hiburan sejati adalah kebijaksanaan (BERTEPUK TANGAN) Badutku, hore………. Hore……. (KAKEK MEMBUNGKUK HORMAT) Badut adalah raja kebudayaan (APPLAUSE DARI NENEK)

NENEK : Aku lelah sayang, maukah kau berbuat sesuatu untukku ?

KAKEK : Aku selalu bersedia sayang, Abunawas selalu bersedia.

NENEK : Tidak, engkau tidak lagi menjadi badut. Sekarang ganti jadilah Haodini main sulapan untuk saya.

KAKEK : Aku tidak mau. Tanganku yang tua tidak tangkas lagi main sulapan.

NENEK : Kalau begitu jadilah pagi hari.

KAKEK : Pagi hari manisku ?

NENEK : Ya ! Pagi hari.

KAKEK : Baiklah ini pagi hari. (MENGGAMBARKAN PAGI HARI DENGAN GERAK TANGAN) Pagi hari manisku.
NENEK : Terima kasih, hebat sekali, engkau sangat pandai, engkau mestinya jadi jendral, kalau engkau punya kemauan mestinya kau sudah jadi jendral sekarang.

KAKEK : Aku bukanlah jendral, aku hanya seorang profesor yang dilupakan.

NENEK : Tapi dulu kau pernah bergerilya, berjuang untuk Perancis. Engkaulah adalah pahlawan Perancis, putra Jeanne d’arc. Pahlawanku, apakah kau mencintai aku ?
KAKEK : Aku mencintaimu dengan semangat musim semi yang abadi.

NENEK : Cantikkah aku pahlawanku.

KAKEK : Engkau gilang-gemilang bagai putri Zeba !

NENEK : Darahku berdeburan, pahlawanku. Dengan hormat berbuat sesuatu untukku.

KAKEK : Ciuman-ciuman sudah terlalu badani, tapi…………. (MENGHAMPIRI MEJA) Akan kusajikan minuman untuk membujuk darahmu Zeba. Tuan putrid berkenan minum apa ? (ASOSIASI SEOLAH-OLAH ADA BENDA-BENDA ITU) Anggur dari Malaga, Wysky Scotlandia, Baounnet ? Martini ? Atau Champagne dari Canada ?

NENEK : (TERSENYUM)

KAKEK : Aha,…… atau teh dari Timur ?

NENEK : Terima kasih, ya.

KAKEK : (BERBUAT SEOLAH-OLAH MELAYANI TEH) Aha ? Inilah cawan dari Tiongkok, hasil karya tangan berbakat dari lembah Yang Tse Kiang (MENGAMBIL CANGKIR). Cangkir dan cawan berhias naga. Naga-naga ini berwarna hijau, karena disanapun hijau bagai zamrut. (MENUANG TEH). Dan inilah the dari Assam. Tuan putri ingin gula berapa ?

NENEK : Dua !

KAKEK : (MEMASUKKAN GULA MENGADUKNYA DAN MEMBERIKANNYA KEPADA NENEK). Teh dari timur untuk putri Zeba.

NENEK : Terima kasih pahlawanku, (MINUM TEH). Lezat sekali ! Ah (BANGKIT MENUJU KURSI GOYANG) Apakah sang pahlawan menghendaki kue-kue dan panganan ? dan silahkan panganan ini. Ini namanya kue “Harapan Senja Kala” Meskipun sebenarnya tidak lebih dari kue Cherio ditambah vanili telor dan irisan buah apel. (MENGAMBIL CAWAN) Ini juga bikinan Perancis tanah air kita. (MENGAMBIL GARPU DAN MENYUGUHKANNYA KEPADA KAKEK) Ini buat putra dari Perancis, pahlawan dari Orleance.

KAKEK : Terima kasih putri Zeba (MAKAN KUE)

NENEK : Enak ?

KAKEK : Lezat sekali.

NENEK : Dulu kau pernah gemar makan kue Cherio, tapi kemudian kegemaranmu selalu berubah-ubah.

KAKEK : Kau pernah membuat bistik dari Jerman yang lezat untuk saya.

NENEK : Ah iya ! Waktu itu kita gemar piknik dan main tenis, kenapa kita jadi tua.

KAKEK : Karena bumi berputar, berputar……………….

NENEK : Kau pintar sekali, mestinya kau jadi jendral.

KAKEK : (TIBA-TIBA DENGAN LEMAS DUDUK DI LANTAI). Aku bukan jendral. Aku hanyalah profesor yang dilupakan, aku sampah di buang.

NENEK : Jangan begitu ! Ayolah ! Bangkit dari lantai.

KAKEK : Aku orang hina, tempatku di tanah.

NENEK : Tidak. yang di tanah cuma cacing, pahlawanku selalu berdiri di atas kedua kaki. Engkau pahlawan Perancis, engkau pernah berjuang dan berperang untuk Perancis, engkau pernah mendapatkan Legion d’honour, engkau harus berdiri.

KAKEK : Hidupku hampa dan sia-sia.

NENEK : Putra Perancis berdirilah !
KAKEK : Aku orang terkutuk, aku tak punya anak, hidupku 200 tahun dan tak punya anak.

NENEK : (TERPAKU). Dengan hormat, saya minta………… (MULAI MENANGIS) dengan hormat sayang, dengan hormat manisku. Oh ! Kita tak boleh menangis. Bulan akan luput dari mata, kereta kencan akan tiba, kita tak boleh menangis, kita punya kebudayaan, kita tak boleh menangis (TIBA-TIBA) Henryyyyy mari, inilah bayi kita menangis Henry.

KAKEK : (MENDEKAT, NENEK MULAI BERSENANDUNG LAGU CRADLE SONG) Siapa nama anak kita ?

NENEK : Jean Valjan (DIBACA ZYONG VALZYONG).

KAKEK : Jean Valjan dari Les Misserable ? Jadi ia laki-laki ?

NENEK : Ya, laki-laki. Ah, bayi kadang-kadang membingungkan apakah ia laki-laki atau perempuan. Lihatl;ah sayang, mulutnya seperti mulutmu.

KAKEK : Hidungnya seperti hidungmu.

NENEK : Cobalah dukung dia.

KAKEK : Tak mau.

KAKEK : Ayolah Henry. (KAKEK MENDUKUNG TAPI KELIRU) Ya Tuhan jangna begitu (MEREBUT BAYI DARI KAKEK). La, laaaaaaaala lililililili, lulululululu, bayi harus diperlakukan secara halus, ia sangat lemah seperti kupu-kupu yang baru ke luar dari kepompongnya, lililililili…… lulululululu……

KAKEK : Oh,….. oh,……. Oh,…….!

NENEK : Kenapa ?

KAKEK : Bayinya kencing !

NENEK : Oh, oh, (RIBUT) Bayi nakal (MELETAKKAN BAYINYA DIBUAIAN) Ia nakal seperti papanya (MENGANTIKAN POPOK BAYI). Kalau ia sudah besar ia akan menjadi Jendral. Henry, cobalah kau sekarang menimangnya.

KAKEK : Aku belum bisa, beri dia makan dulu.

NENEK : Lili………li……..lulululu…….lu…

KAKEK : Lalalalala…..lalalala…….laaaaaaaaaalala………

NENEK : Anakku sayang, bungaku sayang, bintangku sayang, boboklah. Boboklah, boboklah supaya lekas besar.

KAKEK : (MEMAINKAN BIBIRNYA). Brrrrrrrrr, Brrrrrrrrrrrrrrr, brrrrrrrr, papa pinta ya! Papa gagah ya! Papa lucu ya!

NENEK : Kau menimang dirimu sendiri, bukan bayinya.

KAKEK : (TETAP MEMAINKAN BIBIRNYA). Brrrrrrrrrr, brrrrrrrrrrr (TIBA-TIBA MENINGGALKAN BUAIAN). Ah, aku sudah bosan bayinya nangis saja.

NENEK : (PERGI DULU KE KURSI BAGUS). Sekarang kita main halma ?
KAKEK : Malas.

NENEK : Sekarang baiklah, kau sekarang mendongeng saja.

KAKEK : Mendongeng apa ? Serigala dengan anggur ?

NENEK : Tidak, sambungan yang lalu.

KAKEK : Baiklah kalau belum bosan……… maka setelah pengembaraan yang lama itu, sampailah kita kesebuah gerbang besi yang besar, kita telah basah kuyub. Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan kehujanan, kita menggigil dan gigi gemeretukkan. Ini terjadi seratus dua puluh lima tahun yang lalu, ingatkah kau waktu kita minta dibukakan pintu, tapi mereka tak mau membukakannya. Dibalik gerbang itu ada padang rumput, dan ada jalan berkerikil yang menuju ke sebuah puri. Maka puri itu di kelilingi oleh kebun dan taman, dan taman itu penuh dengan bunga anggrek dan gladiol……. Kita tak diperkenankan masuk, kita harus mengembara lagi, 125 tahun lagi. Kita tiduri kota, seluruh ibu kota di dunia. New York, New Delhi, Angkara, Peking, Madrid, Jakarta……….

NENEK : Kota yang indah bukan ?

KAKEK : Lambang kebudayaan.

NENEK : Tapi London telah hancur…………

KAKEK : London hancur, Madrid hancur, Moskow jadi padang belantara, di Berlin tumbuh semak belukar lebat, dan tak terduga New York telah menjadi rawa.

NENEK : Dan Paris, manisku ? Paris yang dulu kau bela dengan senjata itu ?

KAKEK : Dan Paris kota yang tercinta itu telah hancur, kota yang jaya itu telah lebur manisku. Batu bata di atas batu bata telah punah.Eifel terjungkir balik, Arc de Triumph hilang dengan jejaknya dan Noterdam dun Paris telah terlibat oleh sangkala, hanya tinggal sebuah lagu di kota itu.

NENEK : Sebuah lagu ?

KAKEK : Sebuah lagu buaian, sebuah perumpamaan.

NENEK : Kota yang malang

KAKEK : Kota tercinta yang malang.

(PINTU DIKETUK KERAS-KERAS, NENEK DAN KAKEK TERKEJUT)

NENEK : Ada tamu.

KAKEK : Apakah bulan sudah luput dari pandangan mata ?

(KETUKAN PINTU)

NENEK : Bukalah pintu.

KAKEK : Apakah itu betul-betul tamu?

(KETUKAN PINTU)

NENEK : Putra Perancis, bukalah pintu.

(KAKEK MEMBUKA PINTU, TERKEJUT)

KAKEK : Perdana Menteri !

NENEK : Perdana Menteri ! (MENYAMBUT DENGAN GEMBIRA)

KAKEK : Ya, Perdana Menteri. Silahkan masuk yang mulia (ABSTRAK. KAKEK MEMBETULKAN PAKAIANYA, MEMBAWA TAMUNYA KE RUANG TENGAH ) Yang mulya inilah istri saya.

NENEK : Yang mulya.

KAKEK : Maafkanlah Yang mulya, harap topinya di bawa saja, di sini tidak ada kapstok, mantelnya juga harap dibawa saja.

NENEK : Maafkanlah keadaan rumah ini.

KAKEK : Semuanya sudah dimakan oleh sangkala. Rumah terlalu besar, orangnya terlalu kecil, tambah perabot rumah sudah punah. Tinggal kami berdua saja yang tinggal di rumah, sebagai dua ekor tikus yang pengap.

NENEK : Matahari menjahui kami.

KAKEK : Kami ini tikus yang tidak dikehendaki orang lagi.

NENEK : Silahkan duduk (MENUNJUK KE KURSI BAGUS). Bagaimana ?

KAKEK : Oh ? Paduka Perdana Menteri ingin duduk di kursi goyang. Silahkan Yang mulya, ya silahkan. (BERHENTI SEJENAK). Kami berdua mengucapkan terima kasih atas kunjungan paduka, yang berarti kehormatan bagi kami.

NENEK : Kunjungan paduka membuat kami bangga dan mendapatkan diri kami.

KAKEK : Oh ya, betul ! Sebenarnya dulu para perdana menteri suka mengunjungi kami. Ya perdana menteri Inggris, India, dan juga Khaisar Jepang, presiden America, Presiden Philipina dan Sekretaris PBB pernah datang mengunjungi kami.
Apa ? Oh ya, mereka datang meminta nasehat saya, mengenai urusan pemerinatahan. Pengadilan, Liberalisme, ataupun perlucutan senjata (MENJELASKAN).
Bagaimana ? Tidak, tidak…… saya tidak memberi nasehat, tak ada gunanya……… saya hanya memberi teka-teki saja.

NENEK : Tetapi sekarang dunia telah melupakan (SEJENAK). Ia telah ditindas roda jaman.

KAKEK : Begitu Paduka…………. Oh ya, terima kasih, saya sangat bersuka bahwa paduka tidak melupakan saya………..
Apa ?……. Oooo ya, ………. Astaga, jadi paduka pernah jadi murid saya ? Pada waktu saya di Sorbonne ? Tahun berapa ? ….Oh ! Dan mata kuliah apa yang paduka ambil pada waktu itu? Filsafat, apa kimia, apa sejarah ? Oh ekonomi……. Ya saya pernah mengajar semua itu, dan juga enthnologi, dan ilmu pasti. Ya……… saya pernah juga mengajar di fakultas kedokteran, saya menjadi dokter bedah ketika umur saya 32 tahun (TERTAWA).
Tidak, tidak……… saya tidak pernah jadi mantri. Saya hanya punya satu muka, sebab itu saya tidak bisa jadi politikus. Tidak, saya tidak berpendapat bahwa politikus punya dua muka, tapi saya berpendapat bahwa politikus punya seribu muka.

NENEK : Henry, jagalah lidahmu !

KAKEK : (KEPADA YANG MULIA) Bagaimana ? Ya, ya….. Kalau paduka marah boleh saja. Oh…….begitu, syukurlah kalau paduka tidak marah. Paduka seorang yang baik, memang kalau begitu paduka tidak suka bolos kuliah, bukan ? (TERSENYUM). Paduka memang seorang yang baik, dan juga paduka tidak pernah melupakan gurunya. Itu bagus, baiklah…….. sekarang harap diberi tahu, apakah perlunya paduka berkunjung kemari ? (BERHENTI SEJENAK). Apakah sesuatu yang bisa saya tolong…… Paduka telah tahu hal itu ? …….. Apa ? Ya, ya kami tidak akan mengadakan pesta perpisahan…….. Apa ? Muridku yang lain akan datang ? Wah ! Manisku bagaimana ini, sebentar lagi akan banyak tamu datang…………. Mereka ingin mengadakan pertemuan perpisahan dengan kita.

NENEK : Ya, ya……. Tapi rumah kita sudah bobrok, tak ada perabotan kecuali yang ada ini. (KEPADA YANG MULIA) bagaiman Yang mulia ?……….. Ya, betul……… mereka akan berdiri, tetapi saya malu……..dan ruang yang lain lebih buruk lagi.

(PINTU DIKETUK DENGAN KERAS DAN BERULANGKALI)

KAKEK : Mereka datang.

NENEK : ?????? Mereka datang, buka pintu !

KAKEK : (MEMBUKA PINTU DAN TAK ADA YANG NAMPAK)
(NENEK DAN KAKEK SIBUK DENGAN PARA TAMU)
Selamat datang Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya (ORANG-ORANG MENGAJAK BERSALAMAN). Nah itu istriku (SEOLAH-OLAH MENGAJAK TAMU UNTUK BERSALAMAN, NELAYANI PARA TAMU). Selamat datang, selamat malam, sayang atap rumah ini sudah hancur, perabot sudah habis. (ORANG TERUS DATANG DAN MENYALAMI, DAN ADA BEBERAPA ANAK KECIL). Selamat datang Tuan-tuan, selamat datang Nyonya-nyonya, selamat datang manis, selamat datang sayang, selamat datang mensinyur kardinal, selamat datang senator, selamat datang jendral, selamat datang kapten……… Ahaaaaa, inilah bintang film Perancis yang paling cantik, selamat datang. (SELAMA INI NENEK MENYAMBUNG). Selamat datang Mastro, selamat datang, Ayooooo silahkan duduk, nyonya yang dekat kursi itu, silahkan duduk. (MEREKA MEMAKSA KEDUANYA DUDUK). Apa saya sendiri………. (KEPADA NENEK) Ah, bagaimana ini ? Tidak saya berdiri saja. Wah, wah,…….. Baiklah. (MEREKA DIDORONG DUDUK DI KURSI) Bagus,bagus…….

NENEK : Kita tidak pantas duduk Henry, biarlah mensinyur saja.

KAKEK : Ya, jendral saja.

NENEK : Ya, baiklah kalau kami dipaksa ! Apa boleh buat.

KAKEK : Oh ya, saya lupa. Tuan-tuan, dan nyonya-nyonya saya perkenalkan tamu saya yang pertama ialah………. Paduka……. Hei, di mana beliau tadi ? Di mana ? Oh ! Itu dia ! Wah, wah. Jadi sudah kenal ? Maafkanlah orang tua gampang lupa.

NENEK : Henry, ucapkanlah pidato selamat datang. Ya, ya…….. ia akan pidato nanti.

KAKEK : Ah, tidak usah saya……….

NENEK : Henry. Ingat etika.

KAKEK : Baiklah……… (SEGAN-SEGAN BERDIRI DAN PIDATO DENGAN LANCARNYA). Yang mulya mensinyur kardinal, para uskup, para guru, para maha guru, para jendral, para senator, tuan tukang kayu, tuan penjual kelontong, tuan tukang kebun, tuan tukang masak, anak-anak yang manis, dan ya semua saja hadirin yang saya sayangi.
Kami ucapkan selamat datang, saya tidak akan berpidato dengan panjang lebar, dan sukar, karena banyak anak-anak berada ditengah kita. Maka dari itu pembicaraan kita akan bersifat sepanjang umur saja. Sebentar lagi bulan akan luput dari mata, angin menderu dan jam menunjukan tengah malam. Lalu datanglah kereta kencana itu, saya berterima kasih bahwa para hadirin telah suka datang untuk mengucapkan kata perpisahan. Tuan-tuan , nyonya-nyonya………………… Apa ? Bagaimana …………. Anak-anakku ?………….. Ah saya tidak boleh memakai kata anakku, sebab ada para menteri, para kardinal……….. Bagaimana ? ………………. Ah, baiklah……….. Anak-anakku……………… (TIBA-TIBA MENANGIS).

NENEK : Kenapa sayang, kenapa ?

KAKEK : Lihatlah……………. Ini semua anak kita. Di saat ini setelah 170 tahun. Nanti akhirnya diperkenankan juga kita mempunyai anak sebanyak ini, merekalah bunga Perancis, ahli waris dari prinsip-prinsip perjuangan yang telah kubela dengan senjata, ahli waris dari lagu cinta yang abadi. Ahli waris yang menantang penindasan dan penjajahan…………….. Anak-anakku………. Bapak ingin berburu bersama putra-putranya, bapak ingin bermain catur bersama dengan putri-putrinya…………. Anak-anakku (MENANGIS DENGA HEBAT DAN KEHABISAN DAYA DAN TERTUNDUK).

NENEK : (MEMBELAI KAKEK) Henry sayang, pahlawanku sayang…………... diamlah, pada suatu saat saja………. Ketika langit di timur bersinar jingga, di atas air laut yang juga jingga, adalah seekor elang laut yang hendak terbang meninggalkan sarang. Ia mempunyai dua ekor anak, dan keduanya menanggis semuanya, mereka semuanya tidak suka ditinggalkan ibunya. Ibunya menerangkan, bahwa sebentar lagi akan lapar……….. kalau lapar perut jadi sakit, dan lemas. Sebab itu ibu harus pergi ke laut, di laut banyak ikan-ikan yang lezat denga sisik megkilat. Ibu akan menangkap ikan-ikan itu itu untuk sarapan pagi anak-anaknya………. Aanak-anakku berhentilah menangis ………… dan anak-anakkupun berhenti menangis………… (TANGIS KAKEK REDA)

(PINTU DIKETUK DENGAN KERAS)

NENEK : Ada tamu.

KAKEK : (BERDIRI) Siapa ? Buka pintu (PERINTAH)

(PINTU DIBUKA ORANG DAN NAMPAKNYA ORANG-ORANG RIBUT)

NENEK : Siapa yang datang? Siapa Kaisar?

KAKEK : Kaisar ?

NENEK : Apa di Perancis ada Kaisar ?

KAKEK : Minggir semua, minggir, (SEMUA MINGGIR DAN KAKEK MENUJU KE PINTU, IA BERHENTI, DAN KEMUDIAN JATUH KE LANTAI). Siapa tuan yangdatang melangkah dengan cahaya gilang-gemilang ? cahaya tuan menyilaukan mata, mata tuan bagaikan matahari tak kenal senja. Di depan tuan saya jatuh tak berdaya………………… Kaisar ? Bukan, …………… Kekaisaran dari bumi.
Kekaisaran dari kerajaan yang terang dan benar………….berlutut ………………. Semua berlutut ntuk kaisar (SEMUA BERLUTUT, KAKEK MEMPERSILAHKAN TAMUNYA).
Sri baginda, hamba tak pantas mendapat kunjungan paduka, tetapi berkata sepatah kata saja tentu akan menjadi bersih. Hamba harap diampunkan, sebab hamba terpaksa memasukkan baginda ke dunia dosa. Silahkan…………….. minggir, minggir Sri bagind akan duduk di kursi goyang. (SETELAH BAGINDA DUDUK KAKEK MENGANDENG NENEK MENGHADAP KAISAR). Baginda inilah istri hamba. Ayolah manisku, sri baginda mintakita berdiri (KEDUANYA BERDIRI BERGANDENGAN TANGAN). Kunjungan baginda berarti kehormatan bagi kami, lebih dari itu, suatu karunia. Ya, ya hamba sudah menduga arti kedatangan baginda………… ya seperti juga yang lain, memang hamba mengerti, kami telah menanti. Demikianlah………… bila bulan telah pudar………….. bila angin mendayu………… ya, bulan tengah malam pukul dua belas. Ya, hamba percaya percaya kereta itu pasti bagus, suatu kemulyaan. Tidak, kami tidak lagi berkisah, cahaya telah datang………… permohonan terakhir.

NENEK : Ya, ucapkan permohonan terakhir sayang.

KAKEK : Oh, apa yang kan aku ucapkan ? Sri baginda inilah permohonan kami yang terakhir.
Kaisar dari kerajaan benar dan terang, kami mohon ampun bagi yang mulya uskup, para jendral, para senator, para tukang kebun, para tukang kayu, para tukang masak, para anak-anak manusia, untuk istri yang tercinta, yang telah tua ini. Dan untuk seekor cacing tanah ialah hamba sendiri yang hina dina.

NENEK : Terima kasih baginda.

KAKEK : Terima kasih sri baginda.

NENEK : Kami mengerti.

KAKEK : Ya, kami mengerti dan siap

NENEK : Kami siap dan menanti.

KAKEK : Setiap detik

NENEK : (TIBA-TIBA)
Minggir, minggir sri baginda akan kembali, beri hormat dan minggir.
(ANGIN MASUK MENDERU. KAKEK DAN NENEK MEMEGANG PAKAIANNYA)

KAKEK : Angin.

NENEK : Angin yang menderu.

KAKEK : Minggir, minggir……………….
Saya mau mengantar sri baginda, beri aku jalan.
Minggir, hai………………………..
Mengapa kalian pergi bersama baginda ? Hai…………………

(HENING. MEREKA TELAH LENYAP SEMUA)

NENEK : Tutuplah pintu.

KAKEK : (TERHENTI DI PINTU) Langit mendung dan bulan lenyap dari mata.

NENEK : Dengan segenap kasih tutuplah pintu, manisku.

(KAKEK LALU MENUTUP PINTU, LALU PERGI KE KURSI GOYANG, NENEK KE KURSI PIANO)

NENEK : Apakah kau takut ?

KAKEK : Tidak, aku berdebar-debar.

NENEK : Perpisahan badan bukan berarti perpisahan jiwa.

KAKEK : Kita berdua tak akan dipisahkan.

NENEK : Henry, aku mencintaimu.

KAKEK : Kita adalah dua tangkai mawar yang saling berbelitan, akupun mencintaimu.

NENEK : Ingkatkah kau pohon landen di kebun rumah orang tuaku.

KAKEK : Pohon lenden itu manisku ?Adalah kipas raksasa yang mengagumkan.

NENEK : Kita berdua suka membaca buku di situ, waktu itu kau sedang gila belajar kesusastraan, kau ucapkan padaku sebuah sajak John Concord yang bernama Huesca.

KAKEK : Dan kau lalu mengucapkan sajak Van Ostajen yang bernama Malopee.

NENEK : Maukah kau mengucapkan Huesca sekali lagi untuk saya?

KAKEK : Maukah kau mengucapkan Malopee sekali lagi untuk saya ?

(NENEK BERDIRI MEMULAI, KAKEK MENYAMBUNG DENGA HUESCA)

NENEK : Terima kasih manisku.
(BUNYI KERETA)

NENEK : Dengarlah.

KAKEK : Kereta.

NENEK : Kereta kencana.

(TIBA-TIBA KEDUANYA MEMEGANG JANTUNGNYA DENGAN KESAKITAN, KAKEK MAJU DUA LANGKAH )

KAKEK : Putri Zeba, inilah teh dari Timur. (MAJU DUA LANGKAH)

NENEK : Inilah kue Cherio untuk putra Perancis.

(KEDUANYA RUBUH, LONCENG BERDENTANGAN DUA BELAS KALI. LAMPU PADAM DAN SELESAILAH SANDIWARA INI )