Thursday 24 June 2010

Swawedar, Sebuah Perjalanan Budaya Asal Mojokerto

Radar Mojokerto, Minggu, 03 Feb 2008
Swawedar, Sebuah Perjalanan Budaya Asal Mojokerto
Dari Pentas Agustusan hingga Melanglang ke Bandung
Dengan dihadiri sekitar 30 orang, Swawedar 63 merayakan HUT ke-45 pada 27 Januari lalu di rumah Wahab Jl Majapahit selatan. Swawedar didirikan oleh Anton Sumartana yang kini tinggal di Bandung . Swawedar 63 menjadi bukti otentik bahwa seni teater sudah ada di Kota Mojokerto sejak 45 tahun lalu. Berikut perjalanan panjang Swawedar seperti yang disampaikan Anton kepada Radar Mojokerto.

KETIKA mau didirikan, kepada anggota dilempar nama yang cocok buat kelompok remaja yang gemar menggambar (latihan bersama), berkencrang kencring pakai gitar, ketipung, serta kentongan dari bambu. Ada yang mengusulkan Sanggar Brawijaya, karena pusat latihan di rumah Jalan Brawijaya No 215 Mojokerto. Ada yang mengusulkan Sanggar Majapahit, karena kadang-kadang latihan di rumah anggota di Jalan Majapahit. Ada pula yang mengusulkan Sanggar Cakrawala, Sanggar Budaya, Sanggar Sungging dan nama lain. Anton yang mengomandani kelompok, sudah mengantongi nama, hasil doa ibunya usai salat, memberi alasan:

"Kelompok kita bukan kelompok Kerajaan. Nama harus umum, dan bisa diterima siapa saja. Sampai kapan harus tetap ada," kata Anton. Dikeluarkanlah nama: Swawedar!

Mereka langsung setuju. Menyambut senang. Mungkin karena sudah akrab dengan kata Sriwedari, atau swadaya. Maka lahirlah Sanggar Swawedar, 10 November 1963. Acara dibuka dengan makan-makan tumpeng nasi kuning dimasak oleh ibu Anton.

Mencari arti:
Swawedar, berarti bangkit sendiri (Swa = sendiri, wedar = bangkit). Motto yang diusung: Belajar, bekerja, berkreasi buat sesama (dalam perkembangannya, "buat sesama" diubah jadi "untuk Bangsa dan Agama").

"Biar keren!" Kenang Anton pendirinya.

Kelompok yang berasal dari latihan menggambar bareng-bareng mensketsa di pasar, di terminal, stasiun, alun-alun dan jalan pertokoan. Hanya karena kebutuhan, dibentuk pula folk song, semacam kelompok musik lagu-lagu daerah. Membawakan lagu-lagu daerah atau lagu rakyat, dirasakan pengucapannya banyak yang tidak jelas, dialihkan belajar membaca yang benar, huruf-huruf: a, b, c, d, sampai huruf z. Kemudian dikembangkan olah vokal: Membaca kata yang jelas dan benar, mengucapkan kalimat yang jelas dan benar. Latihan dilakukan di sungai tlusur, atau di pintu Sungai Brangkal yang ada terjunan air deras. Di pinggir sungai atau masuk mandi ke dalam sungai, berteriak-teriak olah vokal melawan derasnya suara air terjun. Bosan dengan kebiasaan latihan di Sungai Brantas, sambil piknik bersepeda, latihan vokal di hutan Trowulan, atau di Mojosari. Dari hasil latihan vokal, setiap bermusik, bernyanyi, dilakukan pula melatari musik dengan membacakan teks lagunya. Dari folk song dengan dilatari pembacaan syair lagu, berkembang
kepada deklamasi. Puisi-puisi yang akrab adalah karya-karya Chairil Anwar: "Aku", "Karawang-Bekasi" , "Doa". Ada karya-karya penyair lain, seperti Amir Hamzah, dianggap sebagai pantun kuno.

Latihan-latihan seperti olah vokal dan bermusik (karena letak di pinggir Jalan Brawijaya) diketahui oleh Pak Lurah. Pak Lurah meminta mementaskan sandiwara buat meramaikan perayaan 17 Agustus. "Sandiwara, kayak ludruk itu lho? Tapi, ceritanya perang," ujar Pak Lurah waktu itu.

Siang itu pula dengan naik sepeda ramai-ramai ke Pasar Kliwon Mentikan, tempat gedung pertunjukan ludruk. Semua pemain laki-laki. Mereka pun membagi peran: harus begini, yang lain harus begitu. Malamnya nonton atau mengamati pertunjukan ludruk. Lakonnya: "Sarip Tambak Yoso." Kisah tentang heroisme rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.

Menertibkan Manajemen
Kegiatan sandiwara seperti ini tidak bisa terus menerus memakai cara-cara tradisional, seperti ludruk atau ketoprak. Tapi, harus cari teks atau naskah: ke toko-toko buku, ke orang-orang tua yang aktif berkecimpung di dunia sandiwara atau nama kerennya drama.

Di Mojokerto ada susastrawati Jawa Iesmaniasita St. Memberi petunjuk supaya ke Surabaya , menemui Mas Narto (Maksudnya Sunarto Timur), Akudiat atau Gatut Kusumo.

Mulailah berkenalan dengan naskah-naskah luar (negeri) yang tebal-tebal dan memusingkan karena susah dimengerti (absurd). Seperti karya Ibsen, Bertolt Breck Shakespeare, Samuel Becket. Kemudian mulai bersentuhan dengan naskah drama karya Sanusi Pane, Akudiat, Motinggo Busye, Akhdiat K Mihardja dan lain-lain. Tapi lebih tertarik mementaskan drama: "Pinangan" karya Anton P Chekov, "Pagi Bening" karya Seratin, "Fajar Siddik" karya Emile Sanosa, "Suara-Suara Mati" karya Alfares Quintaro dan Alfredo Alvares, "Malam Pengantin di Bukit Kera", "Malam Jahanam" karya Motinggo Busye, "Bentrokan Dalam Asrama" karya Achdiat K Mihardja.

Karena jumlah anggota pemain begitu banyak dan berpotensi, tidak mungkin terus menerus mementaskan drama dengan pemain terbatas maka memulailah "hijrah" membuat naskah drama sendiri. Dengan pelaku disesuaikan karakter anggota kelompok yang ada. Pemain tidak hanya terdiri remaja, tapi juga anak-anak. Dari kondisi demikian, muncullah pemikiran MTU (Manjemen Teater Utuh) Dalam kegiatan teater harus mempunyai grup yang kompak, sumber naskah yang lengkap, sutradara yang handal, disertai sumber dana yang kuat. Atau bila sebagai kreator, tampil diri sebagai seniman paripurna: Harus mampu menulis naskah. Jadi menyutradarai sekaligus sebagai aktor yang handal. Dari kesadaran MTU, lahirlah pementasan drama "Pengemis Itu" karya Anton De Sumartana, juara pertama festival drama remaja. "Sang Paduka RT Kita" karya Anton De Sumartana, sutradara Nono Setio Dwiyono dengan 30 (tiga puluh) pemain. Drama ini selain main di Pendopo, main di Gedung Nasional, juga berkeliling main di Kelurahan-kelurahan . Pak Lurah sampai kewalah
an karena harus mengangkut pemain menggunakan truk. Drama "Panggung Sandiwara" karya Anton De Sumartana, sutradara Nono Setio Dwiyono, sejenis drama musikal, seluruh pemain berjumlah 60 orang pakai topeng.

Uniknya, drama-drama "Sang Paduka RT Kita", "Panggung Sandiwara", "Zapata Sang Pejuang" dijadikan pola latihan berimprovisasi. Saat di sekolah berdialog berimprovisasi, di jalan, di toko di gang-gang, di gardu-gardu ronda. Yang secara langsung "keanehan-keanehan" , ini menarik perhatian anak-anak masyarakat sekitar, sehingga ikut berlatih. Lewat naskah-naskah seperti itu, pembibitan kader dan regenerasi pemain terus berkembang. Bahkan berhasil membentuk Teater Anak-anak. Untuk mencari dana pembangunan tempat ibadah, dipentaskan drama "Chrismats Charol" karya Charles Dicken.

Naluri untuk selalu tampil, memantapkan diri membina keterampilan dan watak berkarakter, dirasa hanya melalui pergulatan dalam berteater. Namun, guna memasyarakatkan ketoprak dan bergiat lebih luas dan tampil secara "nasional", mempunyai cita-cita untuk hijrah. Kader yang tangguh, dengan tim yang solit dan kompak, dipersiapkan untuk pentas ke Bandung .

Seluruh anggota Swawedar Mojokerto dengan drama "Suara Kawula Suara Dewata" karya Anton De Sumartana, sutradara Nono Setio Dwiyono mentas di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung . Seluruh anggota Swawedar naik Kereta Api trutuk ke Bandung . Berhasil mementaskan "SKSD", tiba-tiba ada sponsor untuk pementasan "Mega-Mega". Para pemain pun melakukan latihan "Mega-Mega" karya Arifin C. Noor dengan Sutradara Anton De Sumartana. Pimpinan produksi dipegang Nono Setio Dwiyono. Dalam pementasan "Mega-Mega" Rudjito (penata panggung karya-karya Drama Rendra) dan Remy Silado mengacung jempol berkenaan dengan tata panggungnya. (khoirul inayah/nk)
(harian Radar Mojokerto)

(dari Fb Abdul Malik)

Lomba Cerpen Krakatau Award Diperpanjang

(catatan Abdul Malik dalam FB)

Lomba Cerpen Krakatau Award Diperpanjang
Kamis, 24 Juni 2010 | 06:21 WIB
BANDARLAMPUNG, KOMPAS.com--Panitia Krakatau Award 2010 memperpanjang waktu penerimaan naskah cerita pendek, guna memberikan kesempatan peserta lain untuk mendaftarkan karyanya sehingga memperbanyak karya cerpen yang masuk.
"Perpanjangan waktu penerimaan guna memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada penulis cerpen lain untuk mengikuti lomba ini," kata Koordinator Krakatau Award 2010, Isbedy Stiawan ZS, mendampingi Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL), Syaiful Irba Tanpaka, di Bandarlampung, Rabu.
Alasan lainnya, lanjut dia, pemenang pertama direncanakan diundang pada Lampung Art Festival (LAF) pada 21-24 Oktober mendatang, yang akan diikuti seluruh Dewan Kesenian se-Indonesia yang diisi dengan seminar dan pergelaran seni.
"Sepuluh cerpen pemenang dan nominasi kami rencanakan diterbitkan ke dalam buku dan diluncurkan saat LAF," jelasnya.
Syaiful menjelaskan, perpanjangan waktu Lomba Penulisan Cerpen memperebutkan Krakatau Award tersebut setelah menemui Ketua Umum DKL Syafariah Widianti.
"Atu Ayi, panggilan akrab Syafariah, menginginkan Krakatau Award 2010 dibarengi dengan LAF, sehingga pemenangnya dimungkinkan bisa diundang. DKL juga berencana menerbitkan naskah pemenang dan nominasi," imbuh dia.
Isbedy Stiawan ZS menjelaskan, hingga kini yang sudah masuk sedikitinya 50 naskah cerpen dan yang sudah terdaftar kali ini lebih banyak dibanding tahun lalu.
"Kalau waktu pelaksanaan diperpanjang dua bulan lagi, kemungkinan naskah yang masuk bisa mencapai 70 naskah lebih," kata Isbedy.
Krakatau Award 2010 akan memberi penghargaan bagi empat cerpen pemenang berupa uang tunai masing-masing Rp2 juta, Rp1,5 juta, Rp1 juta, dan Rp500 ribu.
Selain itu, sebuah piagam dari DKL, dan dewan juri juga akan memilih enam cerpen nominasi nonranking untuk sama-sama dimasukkan ke dalam antologi cerpen pemenang Krakatau Award 2010.
Lomba penulisan cerpen Krakatau Award 2010 bertema "Lampung: Lokal-Global", yaitu cerpen bersandar kepada nilai-nilai adat, seni budaya atau dunia wisata di Lampung. Bagaimana peran lokalitas dalam berhadapan dengan globalisasi yang tak bisa dihindari.
Panjang cerpen maksimal 10 halaman kwarto, diketik 1,5 spasi, font Times New Roman 12. Peserta berusia minimal 17 tahun, dapat mengirimkan maksimal 3 naskah cerpen dan masing-masing naskah rangkap 4.
Naskah dikirim ke Panitia Krakatau Award 2010, Sekretariat Dewan Kesenian Lampung Jalan Gedung Sumpah Pemuda Kompleks PKOR Wayhalim, Bandar Lampung."Pengumuman pemenang akan disampaikan minggu kedua September 2010," tambah Isbedy.
Sumber:
http://oase.kompas.com/read/2010/06/24/06210851/Lomba.Cerpen.Krakatau.Award.Diperpanjang

10 Seniman Terima Anugerah Kebudayaan 2010

(Catatan Abdul Malik dalam FB)

Laporan wartawan KOMPAS Yurnaldi
Rabu, 23 Juni 2010 | 22:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sepuluh orang seniman dari berbagai daerah, Rabu (23/6/2010) di Jakarta, menerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Anugerah Kebudayaan yang diberikan ada empat kategori, yaitu Maestro Seni Tradisi, Hadiah Seni, Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, dan kategori Anak/Pelajar/Remaja yang Berdedikasi terhadap Kebudayaan.
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan salam hormat kepada seniman yang meraih penghargaan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya dan bangsa yang berbudaya tinggi adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa budayawannya," kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik atas nama Pemerintah Republik Indonesia.
Menurut Jero Wacik, perlu ada gerakan memperhatikan seniman di masing-masing daerah. Dengan segala keterbatasan, mereka terus-menerus tanpa disadari telah melakukan pelestarian dan pengembangan warisan budaya yang hampir men galami kepunahan.
Pemberian Anugerah Kebudayaan berupa penghargaan dan bantuan, lanjut Jero, terutama kepada Maestro Seni Tradisi, tujuannya agar para Maestro Seni Tradisi tetap bersungguh-sungguh melaksanakan pewarisan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. "Kalau perlu ada gerakan bedah rumah seniman, agar di masa tuanya seniman bisa tinggal di rumah yang layak," tandasnya.
Tradisi pemberian penghargaan kepada seniman ini dimulai tahun 2007. Sampai 2010 sudah ada 45 seniman yang mendapat penghargaan, 10 orang di antaranya tahun 2010.

Seniman penerima
Penerima Anugerah Kebudayaan sebagai Maestro Seni Tradisi adalah Rd Enny Rukmini Sekarningrat (96), maestro pencak silat empat zaman , asal Bandung, Jawa Barat. "Sebagai dewan pakar pencak silat di di PB IPSI, namanya sudah sangat dikenal sampai ke tingkat internasional. Ia pemimpin Silat Panglipur. Silat panglipur , mempunyai cabang di 160 daerah dan di sejumlah negara, seperti Belanda, Perancis, Amerika Serikat, dan Rusia," katanya.
Kemudian seniman tari Dayak dan Penyair Tradisi Dayak, asal Desa Miau baru, Kalimantan Timur, Pedaan (70). Sejak kecil sudah menguasai tarian Dayak seperti Kanjet Tangen atau Kanjet Dusa Usa, dan tari Datun. Juga sangat mahir menarikan tarian lelaki, tari perang yang disebut Kanjet Pepatai. Selain menari dan mengajarkan tari, Pedaan piawai melagukan syair-syair tradisi Ngendau Kenyah .
Muhamad Yazed (85) dari Bengkalis, Riau, dikenal sebagai maestro tari zapin. Ia menguasai gerak zapin klasik dan halus. Penghayatan yang dalam dan kelembutan tariannya mencerminkan kesantunan Budaya Melayu lama. "Yazed menularkan kehebatannya itu kepada generasi muda. Nilai-nilai adat dan agama Islam yang terkandung dalam syair Zapin bisa menjadi peringatan agar kita bertindak benar," katanya.
Batman (68) warga Suku Laut Sawang dari Bangka Belitung, maestro seni tradisi Campak Dalung. Campak Dalung adalah seni yang dikembangkan dan dilestarikan secara turun-temurun. Seni ini sudah dilestarikan delapan turunan, ujarnya.
Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Hadiah Seni adalah Ahmad Tohari (62) dan Ali Hanafi (50). Ahmad Tohari, asal Banyumas, Jawa Tengah, adalah salah seorang sastrawan terkemuka yang sudah meraih berbagai prestasi nasional dan internasional. Puluhan ovel, ratusan cerpen, dan berbagai tulisan nonfiksi sudah lahir dari tanggannya.
Ali Hanafi (50), adalah penari dan koreografer yang sudah malang melintang selama 30 tahun di Maluku Utara. Pemimpin Sanggar Seni Sekar Taruna ini, sampai sekarang masih mencipta tari.
Untuk kategori Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, adalah Thimotius Samin (60), pengembang tradisi budaya Kamoro, Papua, khususnya seni ukir patung khas Komoro. Karya- karyanya sudah dipamerkan di dalam dan luar negeri, antara lain Belanda dan Jerman. Dan (Mangku Widia) I Wayan Widia (62), penggali dan pelestari adat Tenganan, Bali.
Sedangkan Anugerah Kebudayaan kategori anak/pelajar/remaja yang berdedikasi terhadap kebudayaan, diberikan kepada Wiranata Prahara Ilahi (15), asal Palembang, Sumatera Selatan, yang peduli dengan seni teater dan puisi. Dan kepada Naqdzyatun Nur Ivana (8), asal Gorontalo, telah meraih berbagai prestasi di bidang seni sastra dan mendongeng. Ia menjadi tim tetap dalam mengikuti berbagai event budaya local di tingkat daerah dan nasional, serta terpilih menjadi duta pariwisata mewakili Provinsi Gorontalo.
Sumber:
http://oase.kompas.com/read/2010/06/23/22083233/10.Seniman.Terima.Anugerah.Kebudayaan

Tuesday 22 June 2010

Bernyanyilah agar sehat

Seorang penyanyi sebuah pertunjukan pernah menyatakan bahwa sebaiknya seseorang menjiwai lagu ketika berjalan. Suatu malam saya pernah menyaksikan ketika keluar dari Gedung Steinway, New York City yang berhadapan dengan Carnegie Hall.

Di bawah kanopi jendela, empat orang asyik menyanyikan lagu kuartet ciptaan Mozart, Requiem. Mereka tak menyediakan tempat koin. Seolah-olah berada di dunianya sendiri, tak terpengaruh oleh lingkungan jalan, hujan yang turun serta lalu lalang pejalan kaki, mungkin mereka tidak menyadari hal tersebut baik bagi kekebalan tubuh mereka sendiri.

Beberapa kelompok menekankan bahwa tak perlu memiliki “suara penyanyi” atau tidak fals. Bernyanyi dalam kelompok cenderung lebih menyenangkan, lebih serasi dan lebih teratur, tetapi ada kalanya mereka hanya ingin bernyanyi bersama teman atau bersenandung diiringi radio.

Setidaknya dua studi telah menunjukkan peningkatan kekebalan tubuh para penyanyi. Satu studi menunjukkan peningkatan dalam immunoglo-bulin A (IgA, antibodi) dalam darah setelah latihan paduan suara. Sebuah kelompok paduan suara di Frankfurt, Jerman, menjalani tes darah sebelum dan sesudah latihan “Requiem” Mozart. Tingkat hidrokortisol mereka meningkat, mengindikasikan suasana hati yang lebih tenang.

Seminggu sesudahnya, anggota paduan suara tersebut menjalani beberapa tes lagi sebelum dan sesudah mendengarkan rekaman Requiem, namun sistem kekebalan tubuhnya tidak bereaksi (sumber: cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=16405104).

Studi lain dilakukan University of California Irvine, menguji air liur anggota paduan suara sebelum dan sesudah pementasan gladi bersih “Missa Solemnis”-nya Beethoven. Peningkatan ditemukan pada sekresi immunoglobulin A (S-IgA), indikator kekebalan tubuh lain dan penurunan kortisol.

Menurut studi tersebut, anggota paduan suara digambarkan mengalami performa “pengalaman puncak selama pementasan... kegelisahan, pemain memiliki perasaan penting akan kegembiraan, perubahan suasana hati, relaksasi, konsentrasi musikal, kepuasan dan penurunan stres.”

The Senior Singers Chorale di Arlington, AS, adalah bagian dari program seni yang diorganisir oleh psikiater geriatri usia lanjut, Gene Cohen, dari Washington University dan Jeanne Kelley yang mempelajari dampak aktivitas dan kreativitas pada senior. Penyanyinya berusia antara 55-97 tahun, yang diketahui mengalami penurunan depresi, lebih jarang mengunjungi dokter dan lebih sedikit menjalani pengobatan.

Penyanyi dilatih oleh musisi profesional dan pentas di sekitar Washington dan berbagai negara bagian AS. Siapapun yang berusia 55 tahun atau lebih dapat bergabung, dan tidak ada audisi. (retirement-living.com/article/44/study-shows-cultural-programs-improve-physical-and-mental-health-of-seniors).

Larut dalam lagu pada masa susah ini nampaknya sangat alami, meskipun kita memerlukan otak kiri kita untuk menjelaskan mengapa. Bernyanyi, seperti melukis, adalah pintu gerbang ke otak kanan. Anak-anak belajar melalui lagu dan orang dewasa yang mengalami stroke pada otak kiri melakukan pelajaran ulang melalui nyanyian.

Menyanyi dapat mengekspresikan emosi positif kita tentang pujian, romantika atau harapan dengan indah (sumber: bottomlinesecrets.com/article.html?article_id=46355).

Jangan percaya siapapun termasuk Anda sendiri, yang mengatakan ‘tidak bisa menyanyi.’ Pikirkan instrumen ini mengiringi kemana pun Anda pergi. (Louise MC. Coy/The Epoch Times/feb)erabaru.net

sumber: dari catatan di FB jamaluddin akbar

FESTIVAL BULAN PURNAMA MAJAPAHIT TROWULAN 2010 EDISI MUSIK

UNDANGAN TERBUKA

Salam hormat,

Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto turut merayakan Hari Musik Dunia dengan menggelar FESTIVAL BULAN PURNAMA MAJAPAHIT TROWULAN 2010, pada:

HARI/ TANGGAL : Minggu, 27 Juni 2010
PUKUL : 19.00 Wib
TEMPAT : di GAPURA WRINGIN LAWANG, Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto

Acara:
-hadrah dari Sanggar Gayatri SMPN 3 Mojokerto
-Orasi Budaya bersama Ibu Naning Yusuf, General Manager Harian RADAR MOJOKERTO
-musik akustik GIRILAJA, Mojokerto
-musik reggae KOMPENI, Mojokerto
-musik humor NYIUR MELAMBAI, Solo


Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Terbuka untuk umum dan gratis.

Salam hormat,


KONTAK PERSON :

1. Bapak H. Drs. Eko Edi Susanto, M. Si, Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361, HP: 081 231 89 347.
e-mail: dewankeseniankabmojokerto@gmail.com
2. Bapak Drs Hadi Sucipto, Ketua Panitia Pelaksana Festival Bulan Purnama Majapahit 2010, Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361, HP. 081 359127 800
3. Bapak Drs Afandi Abdul Hadi, SH, MPd. Kepala Kantor Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mojokerto, Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361, HP. 081 331 894 120
4. Ibu Sri Mulyaningsih, SE, Bendahara Panitia Pelaksana Festival Bulan Purnama Majapahit 2010, Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361, HP. 03216238527
5. Bapak Aris Soviani, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim, Trowulan, HP. 081 216 14166
6. Heri Lentho Prasetyo, Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jatim, Surabaya, HP. 081 851 2220
7. Bapak Muhammad Yusuf, Katahati Institute, HP 081 359077639
8.Cak Supali, Biro Musik Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto HP 081 22 98 56692
9.Erwan Affandiono,Biro Musik Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto HP 0881 31 52737

-------------
DONASI:
REKENING DEWAN KESENIAN KABUPATEN MOJOKERTO :
BCA MOJOKERTO 0501863326 atas nama Ibu Sri Mulyaningsih
website www.festivalbulanpurnamamajapahit.com


sumber: Mojokerto Society (Abdul Malik)

Riri Riza, Novel, dan Film Indonesia

oleh: Fahrudin Nasrulloh*

“You have to be passionate to do something,” ujar sutradara Riri Riza dalam sebuah acara Tatap Muka yang dipandu selebriti Farhan di TV One (13/12/09). Sebuah ungkapan antusiasme, kegairahan, untuk tetap konsisten pada sebuah pilihan. Pilihan untuk beda, dengan idealisme dan kebebasan bersikap. Karena itu, film Sang Pemimpi, sebagai kelanjutan dari Laskar Pelangi, merupakan pilihan idealis yang juga dapat menggairahkan dunia kepenulisan novel di tanah air.
Andrea Hirata dengan dua novelnya tersebut bisa dikatakan menjadi titik-tolak kebangkitan film Indonesia yang patut dicatat. Novel dan film merupakan katalisator penting untuk menakar sejauh mana perkembangan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Banyak novel di sejumlah negara maju di Eropa yang diangkat ke dalam film. Semisal novel The Name of The Rose-nya Umberto Eco yang difilmkan, dengan judul yang sama, tahun 1986. Secara umum, khalayak Indonesia baru bisa membaca setelah novel tersebut diterbitkan tahun 2005 oleh Penerbit Jalasutra. Pun War and Peace-nya Leo Tolstoy. Sebelumnya, novel ini menjadi bacaan wajib di sekolah umum Rusia, karena mengangkat peristiwa momentum pergolakan politik di Rusia menjelang abad ke-20.
Sejak masa kejayaan Usmar Ismail hingga sekarang, tradisi serupa ini belum maksimal digarap oleh para sutradara kita sekarang. Ada segelintir film yang memang, bukan berdasarkan novel. Misalnya, November 1928 (Teguh Karya) atau Cut Nyak Dien (Eros Djarot). Selain itu, ada sejumlah film yang berdasarkan skenario keroyokan atau individu yang berdasarkan naskah dari cerita fiksi atau cerita rakyat atau cerita kuno atau babad seperti Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Fatahillah, Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, dan lain-lain.
Mengapa kita yang juga memiliki ragam khazanah novel belum digarap secara serius oleh para sineas kita. Bisa saja penggarapan itu berujud tema film perjuangan tokoh bangsa dalam berbagai bidang, baik dengan latar masa kerajaan-kerajaan nusantara, masa perjuangan melawan kolonialisme, ataupun masa kini. Kita bisa mengambil contoh sejumlah film manca yang digarap dengan cemerlang dan berbobot seperti pada film yang bertopik sejarah; Ben Hur, Spartacus, Nero, The Lion of Desert, Gladiator, The Last Emperor, Dawn Fall, Schandlir List, The Passion of The Christ, atau Kingdom of Heaven.
Kita patut bertabik pada Jepang yang memiliki sutradara tangguh semacam Akira Kurosawa yang mengangkat ke dalam film dari novel Yasunari Kawabata yang berjudul Rhasomon. Di samping film besutannya yang lain yang wajib diapresiasi seperti Ran, Kaghemusa, Ikiru, dan Dreams. Konon, menurut sebagian kritikus film dunia, film-film garapan Kurosawa telah mengilhami sejumlah sutradara kaliber Hollywood seperti Steven Spielberg, David Lean, Oliver Stone, Martin Scorsese, di mana film-film mereka kerap mendulang pujian dan mendapatkan piala Oscar. Bagaimana kabar sederet novel bermutu kita bila dihubungkan dengan sejauh mana kiprah para sutradara mutakhir Indonesia?
Ketika film Daun di Atas Bantal-nya Garin Nugroho muncul tahun 1997, barangkali inilah babak baru film Indonesia bangkit dalam keberagaman gagasan alternatif. Di samping film-filmnya yang lain: Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1993), Bulan Tertusuk Ilalang (1995), Puisi Tak Terkuburkan (1999), Aku ingin Menciummu Sekali Saja (2002), Rindu Kami Padamu (2005), dan terakhir Opera Jawa (2006).
Peran Garin dalam menggarap tema-tema alternatif ihwal fenomena sosial-budaya kekinian Indonesia menghadirkan sebentang terobosan baru yang kini menginspirasi banyak sineas muda seperti Riri Riza bersama Mira Lesmana untuk keluar dari mainstream film Nasional yang semata mengeduk animo pasar yang dangkal dengan film-film hantu-komedi-seronok. Bagi Riri, ada tiga film Indonesia yang membuatnya tergugah sekaligus bangga: Tiga Buronan (sutradara Nyak Abbas Akub), Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya), dan Babi Buta yang Ingin Terbang (Edwin, sineas muda dari Surabaya) yang menyorongkan dilema etnis Tiong Hoa, sentimen agama, dan HAM.
Dahulu idealisme yang bergelora juga digarap oleh Sjumandjaya dan ia sendiri yang menulis skenarionya dalam film yang berjudul Aku. Sebuah film tentang perjalanan kepenyairan Chairil Anwar di masa pergolakan kemerdekaan Indonesia, meski entah kenapa gagal diwujudkan. Sebagaimana film Gie yang dibesut Riri, masih banyak tokoh-tokoh lain dalam berbagai bidang yang patut digarap seperti sosok Pangeran Dipanegara, Raden Saleh, Jenderal Sudirman, Soekarno, Affandi, H.B. Jassin dan lain lain. Dalam hal ini kita bisa bercermin pada sejumlah film terkait semisal Byron (Lord Byron, penyair Inggris), Surviving Picasso (Pablo Picasso, pelukis Prancis), Patton (Jenderal Patton dari Amerika pada masa Perang Dunia I), A Beautiful Mind (tentang sosok John Nash, peraih Nobel di bidang matematika), dan lain sebagainya.
Tampaknya kini, dunia Barat, lebih-lebih industri film di Hollywood, mulai melirik bahkan beberapa sudah menggarap film dengan mengacu pada setting Asia. Baik yang berdasarkan novel maupun skenario lepas. Sejumlah film berlatar Asia telah dibesut oleh sutradara Hollywood seperti The Legend of Suriyothai dan Heaven and Earth (Oliver Stone), atau Memoirs of A Geisha (Rob Marshall). Dengan demikian, sebuah novel maupun buku sejarah ketika ditransformasikan dalam bentuk film tak lain adalah sebetik ikhtiar manusia demi mengabadikan harkat sejarah dan ilmu pengetahuan yang berfungsi-guna bagi generasi kini dan mendatang. Meski sejarah atau riwayat dari unggunan peristiwa lampau, seperti sitiran Muhammad Arkoun, ibarat secabik “cermin retak” yang tak bakal utuh dikisahkan kembali.
Sungguh ironi tatkala membaca dan menyuntuki sejumlah novel karya para sastrawan kita yang, barangkali, belum menjadi daya tarik para sutradara terkini. Saya membayangkan; andai Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto), Merahnya Merah (Iwan Simatupang), Olenka (Budi Darma), Burung-burung Manyar (Umar Kayam), Pada Sebuah Kapal (N.H. Dini), atau Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer) menjadi “project film” bagi sutradara maupun produser, atau pemerintah kita untuk mengapresiasi secara bermartabat khazanah sastra bangsa sendiri.
Saya kira ada banyak sosok seperti Riri Riza yang memiliki pemikiran progresif dan inspiratif agar film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan lebih berkualitas di ajang internasional.

----
*Fahrudin Nasrulloh, pegiat komunitas Majavanjava Cinema Club Jombang
** Disampaikan dalam diskusi film dengan tema Film sebagai sarana membangun jalan pikiran, sebagai rangkaian Smesta Education Film Festival, 26 Juni 2010 pukul 7 malam. Diselenggarakan oleh OSIS Madrasah Tsanawiyah Smesta 789, Brangkal Kabupaten Mojokerto, bekerja sama dengan Majavanjava Cinema Club, balai belajar bersama Banyumili, dan Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto.


Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang.Sudah menikah. Alumnus pesantren Denanyar Jombang (1995) dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002). Bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili, Mojokerto, Forum Apresiasi Sastra Mojokerto, Mava Van Java Cinema Club, Biro Sastra Dewan Kesenian Jombang. Bekerja sebagai editor lepas dan menulis puisi, cerpen dan esai di sejumlah media massa. Puisinya termuat dalam antologi Jogja 5,9 Skala Richter (Bentang Budaya, 2006, Yogyakarta). Cerpennya berjudul Nubuat dari Sabrang masuk nominasi dalam antologi cerpen Loktong (kerjasama CWI dan MENPORA, 2007, Jakarta). Cerpennya juga dimuat majalah seni dan budaya KIDUNG Dewan Kesenian Jawa Timur. Puisinya dimuat di PESTA PENYAIR Antologi Puisi Jawa Timur(Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009). Beberapa buku yang telah terbit Syekh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, 2009). Bersama Jabbar Abdullah kini ngopeni Geladak Sastra di Omah Pring, Jombang.Kini beralamat di Mojokuripan RT 1/RW 3, Jogoloyo Sumobito Jombang.(khusus Sabtu dan Minggu). Senin sampai Jumat, tinggal bersama istri tercinta di Tandes, Surabaya. Email: surabawuk@yahoo.com Kontak person. 081578177671.