Thursday 16 May 2013

Ibu di Wajah Purnama


Oleh Khoirul Muttaqin*
(Dimuat di Harian Radar Mojokerto, Minggu, 5 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)

“Seorang ibu memangku anaknya yang sedang menangis. Itulah yang kaulihat di wajah purnama, Mir.” Perkataan Mbah Sari  itu masih tumbuh segar pada otak Amir yang masih sangat penasaran pada sosok ibu. Ia mengenal Mbah Sari, manula yang menjadi orang pertama yang ia ingat dan kenal ketika memori otaknya mulai menunjukkan kinerja yang bagus. “Mbah,” Amir memanggil sosok manula yang raut wajahnya luntur oleh usia yang menggerogotinya.

Sepanjang malam Mbah Sari menceritakan tentang bulan. Hal itu karena Amir selalu bertanya tentang bulan. Cerita klasik tentang bulan memang selalu diceritakan orang tua kepada anak atau cucunya jikala malam sudah mulai udzur dalam kolom waktu anak-anak. Cerita tentang bulan menjadi cerita yang sangat menarik bagi anak karena di kampung yang sebatas sebuah kumpulan rerimbunan pohon yang membuat sesak nafas jikala malam tertidur di bawahnya, rembulan apalagi purnama menjadi sebuah peristiwa yang ditunggu setiap bulan.

Mbah Sari terus bercerita mengenai bulan. Mendengar kata-kata ibu dalam cerita bulan itu, Amir pun menanyakan tentang ibunya. Mbah Sari terdiam. Terus saja Amir mendesak, mungkin karena pemikiran anak-anak Amir yang mengikuti ketetapan umurnya. Karena terus terdesak oleh pertanyaan Amir yang bertubi. Mbah Sari memutuskan untuk menceritakan bahwa sebenarnya ibu dan adik Amir menjadi sosok yang senantiasa dilihat Amir dalam wajah purnama.

Angin malam itu berhembus mendengus. Pelan namun tetap menghadirkan dingin yang asing di kulit. Sekian detik terdiam. Amir bangkit dari ranjang reotnya menuju keluar. Mbah Sari yang duduk di sampingnya terkaget. Namun ia tak langsung mengejar Amir karena harus memegangi ranjang yang bergerak karena menerima gerakan cepat dari Amir tadi. Ranjang itu seakan mengerat seperti keratan tikus-tikus kali depan rumahnya.

Mbah Sari dengan kaki gontai berlari mengejar Amir. Malam purnama tampak masih menerjang dengan cahaya-cahaya rantai di atas rumah-rumah dan pohon-pohon. Meski malam itu bukan tanggal 15, namun cahaya purnama masih menujukkan keperkasaannya. Amir berteriak memanggil ibunya. Dalam kalungan malam dan cahaya purnama Amir berteriak sekuat tenaga memanggil ibunya. Itu membuat tetangga-tetangganya membaur keluar rumah. Mbah sari mendekatinya dan memeluknya erat. Ia terlihat marah namun dalam bola matanya yang hitam terlihat tetesan air jernih yang mengalur.

Beberapa orang tetangga mulai memadati rumah reot Mbah Sari.  Mereka sontak menanyakan apa yang terjadi pada Amir. Amir terlihat kebingungan. Apa yang salah padanya. Ia merindukan ibu dan adiknya yang hanya ia kenal melalui cerita-cerita Mbah Sari beberapa menit lalu, yang saat itu sedang duduk termenung di wajah purnama. Sehingga ia memanggilnya untuk sekadar menikmati wajahnya jika mereka menoleh. Namun pikirannya yang memang belum diproyeksi untuk memikirkan hal itu cukup menghentikan pertanyaannya. Kembali ia terlentang di atas ranjangnya. Neneknya menunggui dengan hati yang menghujam.

Mbah Sari menyesal telah menceritakan tentang ibu kepada Amir. Padahal cerita itu yang ia pendam selama ini. Menurut cerita tetangga, ibu dan adik Amir meninggal secara tragis di negara orang. Jenazah mereka dimakamkan di sana karena tidak ada biaya untuk membawanya pulang. Sejak itu, Mbah Sari, nenek yang merupakan keluarga Amir satu-satunya yang harus merawat Amir karena ayah Amir juga sudah lama meninggal dunia. Amir selalu menanyakan sosok ibu. Mau tidur ia bertanya tentang ibu. Mau makan ia bertanya, mau berak juga, mau apa saja. Sosok ibu sudah menjadi candu dalam pikirannya. Sehingga membuat setiap suara mendengung dengan kata ibu.

Setiap malam tanpa diketahui Mbah Sari, Amir keluar. Di malam tanggal 17, 18, dan 19 wajah ibu masih menghiasi purnama. Namun, tak pernah ibu sekadar turun menyapa Amir, meskipun Amir sudah berusaha dengan berbagai cara untuk memanggilnya. Sejak Maghrib, ia tidak langsung pulang. Ia malah menaiki teras masjid untuk memanggil ibunya, namun tak ada suara ibu pun menyaut. Amir tidak patah semangat, ia pun mendaki pohon mangga jiwo dekat masjid.  Di malam berikutnya, ia mendaki pohon asem. Namun hasilnya nihil. Sosok ibu tidak pernah menyahut atau sekadar menolehnya.

Seiring bergantinya hari, purnama semakin menjauhkan diri. Sosok ibu tidak lagi terlihat penuh. Namun Amir selalu berusaha memanggil sosok ibu dalam purnama yang tak penuh lagi itu. Seperti hari-hari sebelumnya sosok ibu tak pernah menyahut. Semakin resah hati Amir. Di malam ke-30 purnama menjadi bulan mati. Hati Amir hancur berantakan tak lagi sosok ibu ditemuinya di malam. Namun ia teringat purnama datang setiap bulan. Mungkin di purnama berikutnya sosok ibu menemuinya dengan senyum lebarnya. Yang pasti membuat hatinya yang gundah akan mengharu biru karena setiap pertemuan yang ditunggu akan menghadirkan suatu kebahagian yang selalu menelusup dalam benak jiwa.

Setiap hari Amir menyusun rencana untuk menyambut purnama bulan depan. Anak seumur dia bisa saja memikirkan cara itu. Dia sudah pernah naik ke teras masjid, pohon mangga jiwa, pohon asam, dan entah yang lain. Namun, dalam guratan waktu yang lalu itu tiada sosok ibu yang menyahut dan mau menemuinya. Ia pun ingin mencari tempat yang lebih tinggi dari tempat-tempat yang pernah ia naiki. Ia tahu semakin jauh jarak akan membuat suara tidak terdengar. Karena purnama jauh di langit maka ia harus mencari tempat yang tinggi untuk memangkas jarak tersebut.

Setiap hari ditanyakannya kapan purnama datang pada setiap orang. Kecuali Mbah Sari, orang-orang sudah lupa kejadian Amir berteriak-teriak memanggil ibunya saat purnama. Sehingga orang-orang hanya mengira bahwa Amir menunggu purnama karena ingin bermain di halaman bersama teman-temannya seperti anak-anak yang lain di kampung itu. Seminggu lagi purnama akan datang. Mendengar itu Amir siap sedia untuk menyusun rencana agar teriakannya mampu terdengar oleh ibu di wajah purnama itu.

Hari-hari dilalui Amir dengan merenung. Di sekolah ia merenung. Di masjid ia merenung. Di rumah merenung. Tapi di depan Mbah Sari, neneknya yang ia cintai ia simpan perasaan itu. Ia tak mau Mbah Sari ikut merasakan apa yang dirasakan. Ia juga berpikir jika Mbah Sari tahu rencananya itu pasti Mbah Sari membuyarkan semua itu. Hal itu membuat ia semakin tidak mau menceritakan hal itu ke Mbah Sari. Menjelang tidur, Mbah Sari tetap bercerita padanya. Kadang menceritakan tentang Pandji Sumlirang, Sangkuriang, Nyi Roro Kidul, Buto Ijo, sampai Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu. Semua Amir dengarkan begitu saja. Lalu ia berpura-pura tertidur agar si Mbah segera pergi meninggalkannya di ranjang reot dalam kamar itu sendiri.

Dalam sebuah siang yang beraroma kamboja di sekitar areal kuburan, Amir tampak bermain bersama teman-temannya. Musim buah asem telah tiba. Amir dan temannya memunguti buah asem yang tercecer sambil berteriak kegirangan karena menemukan secercik harapan untuk bisa beli makanan ringan hari ini. Bagaimana tidak setiap mendapat buah asem yang banyak Amir akan menjualnya ke penjual bumbu baik di kampungnya maupun luar kampungnya. Ketika asik mencari jejatuhan buah asem. Terlihat Amir sedang bengong menatap ke arah barat. Rencana menaiki pohon dandu* yang  pernah ada di benaknnya kini tumbuh dan kembali berkembang di benak tersebut. Hal itu dikarenakan ia menemukan cara yang cukup ampuh untuk menaiki pohon yang selama ini dalam benaknya dianggap mustahil.

Di samping pohon dandu yang merupakan pohon tertinggi dan terbesar tersebut tumbuh pohon mangga yang batangnya menghubung ke pohon dandu itu. Untuk naik ke pohon itu tanpa bantuan pohon lain Amir tahu dia tidak akan pernah bisa karena ia mendengar bahwa batang pohon itu sebesar rangkulan tiga orang dewasa dan tanpa cabang. Mengetahui hal tersebut Amir tidak sabar lagi menunggu purnama karena ia yakin dari atas pohon itu ia akan mampu membuat ibunya menoleh karena teriakannya.

Persiapan menjelang purnama memang dilakukan Amir tanpa memberi tahu Mbah Sari. Setiap pulang sekolah ia terlihat di areal kuburan memandangi pohon dandu lalu mencoba memanjatnya jika sekiranya tidak ada orang yang melihatnya. Pada dua hari sebelum purnama Amir mampu menaiki pohon itu. Amir pulang dengan senyum selebar daun-daun mahoni di sebelah barat pohon dandu.

Amir kembali bertanya pada orang tua temannya untuk memastikan datangnya purnama. Jawaban orang tua itu sangat membahagiakan Amir karena malam ini purnama akan datang kembali. Amir pulang dengan mulut tersenyum lebar. Di rumah ia mencoba menggulung-gulung kertas untuk dijadikan pengeras suara seperti yang dilakukanya bersama teman-temannya di sekolah. Namun seketika Amir mengurungkannya karena takut ketahuan Mbah Sari. Amir kemudian naik ke atas ranjang reotnya untuk tidur siang. Ia sudah tak sabar menunggu malam karena ia yakin malam ini ia akan menemui ibunya. Bayangan tentang betapa hidupnya akan bahagia bila bersama ibu menambah keinginan itu. Ia membayangkan hidup bersama ibu dengan bahagia setelah ia melihat teman-temannya yang sangat bahagia bersama ibu mereka.

Sehabis Maghrib ia sudah berada di bawah pohon dandu. Sinar purnama mampu menyentuh tubuhnya yang mungil karena pada saat itu pohon dandu menggugurkan daun-daunnya karena kemarau yang telah berjalan. Di samping dandu pun daun-daun jati tercecer di tanah. Di langit tak sekilas awan pun yang melintas. Langit itu hanya dipenuhi purnama dan bintang-bintang yang bertebaran. Namun karena purnama masih mengendap jauh di timur, Amir harus menunggunya hingga sedikit ke atas.

Ketika purnama sudah muncul dengan gagahnya, Amir sudah berada di atas pohon dandu. Ia berusaha terus naik ke atas tanpa berpikir panjang. Ia mencoba meraih puncak dandu meskipun angin berhembus cukup keras. Di puncak dandu ia berteriak beberapa kali memanggil nama ibu. Hingga suaranya terlihat serak dan lama-kelamaan menghilang sosok ibu tak sedikit pun menoleh padanya. Amir gontai ia sudah tak bisa berteriak tubuh kecilnya menggigil karena tiupan angin di atas dandu. Ia mencoba turun perlahan. Namun karena ia menggigil ia terpleset jatuh.

Namun Malaikat Pencabut Nyawa belum diperintahkan Tuhan untuk menyabut nyawa anak itu. Ia tersangkut di tetumbuhan royotan yang menjalar di pohon mangga yang ada di samping dandu. Nyawanya selamat. Dengan usaha keras ia mencoba lepas dari tumbuhan itu dan berusaha turun. Sesampainya di tanah ia mencoba berteriak dengan suaranya yang mulai hilang.

“Ibu kau tak pernah mendengarkan aku. Aku sudah begitu keras berusaha memanggilmu. Tapi kaudiam seperti batu!” Ia mencoba mengumpulkan suaranya yang hilang agar mampu kembali berteriak.

“Jika kautetap seperti itu aku ingin kau menjadi batu. Kau pikir hanya ibu saja yang bisa mengutuk anak menjadi batu. Aku juga bisa!”Kembali kata-kata akhir tak lagi terdengar karena suara yang habis.

Dengan tubuh gontai Amir pulang. Di rumah ia disambut Mbah Sari dengan wajah cemas yang sedari tadi menunggunya. Ia hanya diam dan menuju kamarnya. Mbah Sari menyusulnya. Mbah Sari menanyainya dengan nada sedikit marah. Namun Amir hanya diam atau mungkin karena memang suaranya telah habis. Ia membaringkan tubuhnya dan tertidur.

         Malam-malam berikutnya ia tak lagi memanggil sosok ibu di wajah purnama. Ia hanya termenung menatap purnama. Ia semakin mencoba melupakan sosok ibu dan kembali ke sosok Mbah Sari. Purnama semakin hari semakin mengecil. Semakin kecil dan menghilang. Menghilangnya purnama semakin membuat ia melupakan sosok ibu.
                                                                                *
Pada suatu pagi di sekolah, guru IPA Amir menunjukkan gambar bulan kepada anak-anak didiknya. Setelah itu, guru pun memberitahu bahwa bulan itu berisi batuan. Sejurus dengan itu Amir terdiam. Beberapa menit ia terdiam. Wajah anak itu menunjukkan penyesalan yang dalam. Butiran-butiran bening mulai menghambur di matanya. Ia tetap terdiam dalam bekunya keadaan. Meskipun suasana kelas ramai tak sedikit menggugah dia dalam beku.

Paras, 24 April 2013
*( cerita mengenai seorang ibu memangku anaknya di bulan yang tampak dari bumi beredar di masyarakat desa Tebuwung, Dukun, Gresik
*( pohon dandu merupakan pohon raksasa yang dapat ditemui di daerah Dukun, Gresik

*( Khoirul Muttaqin alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa. Saat ini menetap di Pacet. Aktif di KAJ (Komunitas Arek Japan) sebagai wakil ketua. Selain itu, menjadi pendidik di SMAU BP Amanatul Ummah.


No comments:

Post a Comment