Oleh Khoirul Muttaqin*
(Dimuat di Harian Radar Mojokerto, Minggu, 5 Mei 2013)
(Penyunting: Akhmad Fatoni)
“Seorang ibu memangku anaknya yang
sedang menangis. Itulah yang kaulihat di wajah purnama, Mir.” Perkataan Mbah Sari
itu masih tumbuh segar pada otak Amir
yang masih sangat penasaran pada sosok ibu. Ia mengenal Mbah Sari, manula yang
menjadi orang pertama yang ia ingat dan kenal ketika memori otaknya mulai
menunjukkan kinerja yang bagus. “Mbah,” Amir memanggil sosok manula yang raut wajahnya
luntur oleh usia yang menggerogotinya.
Sepanjang malam Mbah Sari
menceritakan tentang bulan. Hal itu karena Amir selalu bertanya tentang bulan.
Cerita klasik tentang bulan memang selalu diceritakan orang tua kepada anak
atau cucunya jikala malam sudah mulai udzur dalam kolom waktu anak-anak. Cerita
tentang bulan menjadi cerita yang sangat menarik bagi anak karena di kampung
yang sebatas sebuah kumpulan rerimbunan pohon yang membuat sesak nafas jikala
malam tertidur di bawahnya, rembulan apalagi purnama menjadi sebuah peristiwa
yang ditunggu setiap bulan.
Mbah Sari terus bercerita mengenai bulan.
Mendengar kata-kata ibu dalam cerita bulan itu, Amir pun menanyakan tentang
ibunya. Mbah Sari terdiam. Terus saja Amir mendesak, mungkin karena pemikiran
anak-anak Amir yang mengikuti ketetapan umurnya. Karena terus terdesak oleh
pertanyaan Amir yang bertubi. Mbah Sari memutuskan untuk menceritakan bahwa sebenarnya
ibu dan adik Amir menjadi sosok yang senantiasa dilihat Amir dalam wajah purnama.
Angin malam itu berhembus
mendengus. Pelan namun tetap menghadirkan dingin yang asing di kulit. Sekian detik
terdiam. Amir bangkit dari ranjang reotnya menuju keluar. Mbah Sari yang duduk
di sampingnya terkaget. Namun ia tak langsung mengejar Amir karena harus
memegangi ranjang yang bergerak karena menerima gerakan cepat dari Amir tadi.
Ranjang itu seakan mengerat seperti keratan tikus-tikus kali depan rumahnya.
Mbah Sari dengan kaki gontai
berlari mengejar Amir. Malam purnama tampak masih menerjang dengan
cahaya-cahaya rantai di atas rumah-rumah dan pohon-pohon. Meski malam itu bukan
tanggal 15, namun cahaya purnama masih menujukkan keperkasaannya. Amir
berteriak memanggil ibunya. Dalam kalungan malam dan cahaya purnama Amir
berteriak sekuat tenaga memanggil ibunya. Itu membuat tetangga-tetangganya
membaur keluar rumah. Mbah sari mendekatinya dan memeluknya erat. Ia terlihat
marah namun dalam bola matanya yang hitam terlihat tetesan air jernih yang
mengalur.
Beberapa orang tetangga mulai
memadati rumah reot Mbah Sari. Mereka
sontak menanyakan apa yang terjadi pada Amir. Amir terlihat kebingungan. Apa
yang salah padanya. Ia merindukan ibu dan adiknya yang hanya ia kenal melalui
cerita-cerita Mbah Sari beberapa menit lalu, yang saat itu sedang duduk
termenung di wajah purnama. Sehingga ia memanggilnya untuk sekadar menikmati
wajahnya jika mereka menoleh. Namun pikirannya yang memang belum diproyeksi
untuk memikirkan hal itu cukup menghentikan pertanyaannya. Kembali ia
terlentang di atas ranjangnya. Neneknya menunggui dengan hati yang
menghujam.
Mbah Sari menyesal telah
menceritakan tentang ibu kepada Amir. Padahal cerita itu yang ia pendam selama
ini. Menurut cerita tetangga, ibu dan adik Amir meninggal secara tragis di
negara orang. Jenazah mereka dimakamkan di sana karena tidak ada biaya untuk
membawanya pulang. Sejak itu, Mbah Sari, nenek yang merupakan keluarga Amir satu-satunya
yang harus merawat Amir karena ayah Amir juga sudah lama meninggal dunia. Amir
selalu menanyakan sosok ibu. Mau tidur ia bertanya tentang ibu. Mau makan ia
bertanya, mau berak juga, mau apa saja. Sosok ibu sudah menjadi candu dalam
pikirannya. Sehingga membuat setiap suara mendengung dengan kata ibu.
Setiap malam tanpa diketahui Mbah
Sari, Amir keluar. Di malam tanggal 17, 18, dan 19 wajah ibu masih menghiasi
purnama. Namun, tak pernah ibu sekadar turun menyapa Amir, meskipun Amir sudah
berusaha dengan berbagai cara untuk memanggilnya. Sejak Maghrib, ia tidak
langsung pulang. Ia malah menaiki teras masjid untuk memanggil ibunya, namun tak
ada suara ibu pun menyaut. Amir tidak patah semangat, ia pun mendaki pohon
mangga jiwo dekat masjid. Di malam
berikutnya, ia mendaki pohon asem. Namun hasilnya nihil. Sosok ibu tidak pernah
menyahut atau sekadar menolehnya.
Seiring bergantinya hari, purnama
semakin menjauhkan diri. Sosok ibu tidak lagi terlihat penuh. Namun Amir selalu
berusaha memanggil sosok ibu dalam purnama yang tak penuh lagi itu. Seperti
hari-hari sebelumnya sosok ibu tak pernah menyahut. Semakin resah hati Amir. Di
malam ke-30 purnama menjadi bulan mati. Hati Amir hancur berantakan tak lagi
sosok ibu ditemuinya di malam. Namun ia teringat purnama datang setiap bulan.
Mungkin di purnama berikutnya sosok ibu menemuinya dengan senyum lebarnya. Yang
pasti membuat hatinya yang gundah akan mengharu biru karena setiap pertemuan
yang ditunggu akan menghadirkan suatu kebahagian yang selalu menelusup dalam
benak jiwa.
Setiap hari Amir menyusun rencana
untuk menyambut purnama bulan depan. Anak seumur dia bisa saja memikirkan cara
itu. Dia sudah pernah naik ke teras masjid, pohon mangga jiwa, pohon asam, dan
entah yang lain. Namun, dalam guratan waktu yang lalu itu tiada sosok ibu yang
menyahut dan mau menemuinya. Ia pun ingin mencari tempat yang lebih tinggi dari
tempat-tempat yang pernah ia naiki. Ia tahu semakin jauh jarak akan membuat
suara tidak terdengar. Karena purnama jauh di langit maka ia harus mencari
tempat yang tinggi untuk memangkas jarak tersebut.
Setiap hari ditanyakannya kapan
purnama datang pada setiap orang. Kecuali Mbah Sari, orang-orang sudah lupa
kejadian Amir berteriak-teriak memanggil ibunya saat purnama. Sehingga orang-orang
hanya mengira bahwa Amir menunggu purnama karena ingin bermain di halaman
bersama teman-temannya seperti anak-anak yang lain di kampung itu. Seminggu
lagi purnama akan datang. Mendengar itu Amir siap sedia untuk menyusun rencana
agar teriakannya mampu terdengar oleh ibu di wajah purnama itu.
Hari-hari dilalui Amir dengan merenung.
Di sekolah ia merenung. Di masjid ia merenung. Di rumah merenung. Tapi di depan
Mbah Sari, neneknya yang ia cintai ia simpan perasaan itu. Ia tak mau Mbah Sari
ikut merasakan apa yang dirasakan. Ia juga berpikir jika Mbah Sari tahu rencananya
itu pasti Mbah Sari membuyarkan semua itu. Hal itu membuat ia semakin tidak mau
menceritakan hal itu ke Mbah Sari. Menjelang tidur, Mbah Sari tetap bercerita
padanya. Kadang menceritakan tentang Pandji Sumlirang, Sangkuriang, Nyi Roro
Kidul, Buto Ijo, sampai Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu. Semua
Amir dengarkan begitu saja. Lalu ia berpura-pura tertidur agar si Mbah segera
pergi meninggalkannya di ranjang reot dalam kamar itu sendiri.
Dalam sebuah siang yang beraroma
kamboja di sekitar areal kuburan, Amir tampak bermain bersama teman-temannya.
Musim buah asem telah tiba. Amir dan temannya memunguti buah asem yang tercecer
sambil berteriak kegirangan karena menemukan secercik harapan untuk bisa beli
makanan ringan hari ini. Bagaimana tidak setiap mendapat buah asem yang banyak
Amir akan menjualnya ke penjual bumbu baik di kampungnya maupun luar
kampungnya. Ketika asik mencari jejatuhan buah asem. Terlihat Amir sedang
bengong menatap ke arah barat. Rencana menaiki pohon dandu* yang pernah ada di benaknnya kini tumbuh dan
kembali berkembang di benak tersebut. Hal itu dikarenakan ia menemukan cara
yang cukup ampuh untuk menaiki pohon yang selama ini dalam benaknya dianggap
mustahil.
Di samping pohon dandu yang
merupakan pohon tertinggi dan terbesar tersebut tumbuh pohon mangga yang batangnya
menghubung ke pohon dandu itu. Untuk naik ke pohon itu tanpa bantuan pohon lain
Amir tahu dia tidak akan pernah bisa karena ia mendengar bahwa batang pohon itu
sebesar rangkulan tiga orang dewasa dan tanpa cabang. Mengetahui hal tersebut Amir
tidak sabar lagi menunggu purnama karena ia yakin dari atas pohon itu ia akan
mampu membuat ibunya menoleh karena teriakannya.
Persiapan menjelang purnama memang
dilakukan Amir tanpa memberi tahu Mbah Sari. Setiap pulang sekolah ia terlihat
di areal kuburan memandangi pohon dandu lalu mencoba memanjatnya jika sekiranya
tidak ada orang yang melihatnya. Pada dua hari sebelum purnama Amir mampu menaiki
pohon itu. Amir pulang dengan senyum selebar daun-daun mahoni di sebelah barat
pohon dandu.
Amir kembali bertanya pada orang
tua temannya untuk memastikan datangnya purnama. Jawaban orang tua itu sangat
membahagiakan Amir karena malam ini purnama akan datang kembali. Amir pulang
dengan mulut tersenyum lebar. Di rumah ia mencoba menggulung-gulung kertas
untuk dijadikan pengeras suara seperti yang dilakukanya bersama teman-temannya
di sekolah. Namun seketika Amir mengurungkannya karena takut ketahuan Mbah Sari.
Amir kemudian naik ke atas ranjang reotnya untuk tidur siang. Ia sudah tak
sabar menunggu malam karena ia yakin malam ini ia akan menemui ibunya. Bayangan
tentang betapa hidupnya akan bahagia bila bersama ibu menambah keinginan itu.
Ia membayangkan hidup bersama ibu dengan bahagia setelah ia melihat
teman-temannya yang sangat bahagia bersama ibu mereka.
Sehabis Maghrib ia sudah berada di
bawah pohon dandu. Sinar purnama mampu menyentuh tubuhnya yang mungil karena
pada saat itu pohon dandu menggugurkan daun-daunnya karena kemarau yang telah
berjalan. Di samping dandu pun daun-daun jati tercecer di tanah. Di langit tak
sekilas awan pun yang melintas. Langit itu hanya dipenuhi purnama dan
bintang-bintang yang bertebaran. Namun karena purnama masih mengendap jauh di
timur, Amir harus menunggunya hingga sedikit ke atas.
Ketika purnama sudah muncul dengan
gagahnya, Amir sudah berada di atas pohon dandu. Ia berusaha terus naik ke atas
tanpa berpikir panjang. Ia mencoba meraih puncak dandu meskipun angin berhembus
cukup keras. Di puncak dandu ia berteriak beberapa kali memanggil nama ibu.
Hingga suaranya terlihat serak dan lama-kelamaan menghilang sosok ibu tak
sedikit pun menoleh padanya. Amir gontai ia sudah tak bisa berteriak tubuh
kecilnya menggigil karena tiupan angin di atas dandu. Ia mencoba turun
perlahan. Namun karena ia menggigil ia terpleset jatuh.
Namun Malaikat Pencabut Nyawa belum
diperintahkan Tuhan untuk menyabut nyawa anak itu. Ia tersangkut di tetumbuhan
royotan yang menjalar di pohon mangga yang ada di samping dandu. Nyawanya
selamat. Dengan usaha keras ia mencoba lepas dari tumbuhan itu dan berusaha
turun. Sesampainya di tanah ia mencoba berteriak dengan suaranya yang mulai
hilang.
“Ibu kau tak pernah mendengarkan
aku. Aku sudah begitu keras berusaha memanggilmu. Tapi kaudiam seperti batu!” Ia mencoba mengumpulkan suaranya yang hilang agar
mampu kembali berteriak.
“Jika kautetap seperti itu aku
ingin kau menjadi batu. Kau pikir hanya ibu saja yang bisa mengutuk anak
menjadi batu. Aku juga bisa!”Kembali kata-kata akhir tak lagi terdengar karena
suara yang habis.
Dengan tubuh gontai Amir pulang. Di
rumah ia disambut Mbah Sari dengan wajah cemas yang sedari tadi menunggunya. Ia
hanya diam dan menuju kamarnya. Mbah Sari menyusulnya. Mbah Sari menanyainya
dengan nada sedikit marah. Namun Amir hanya diam atau mungkin karena memang
suaranya telah habis. Ia membaringkan tubuhnya dan tertidur.
Malam-malam berikutnya ia tak lagi memanggil sosok
ibu di wajah purnama. Ia hanya termenung menatap purnama. Ia semakin mencoba
melupakan sosok ibu dan kembali ke sosok Mbah Sari. Purnama semakin hari
semakin mengecil. Semakin kecil dan menghilang. Menghilangnya purnama semakin
membuat ia melupakan sosok ibu.
*
Pada suatu pagi di sekolah, guru IPA
Amir menunjukkan gambar bulan kepada anak-anak didiknya. Setelah itu, guru pun
memberitahu bahwa bulan itu berisi batuan. Sejurus dengan itu Amir terdiam.
Beberapa menit ia terdiam. Wajah anak itu menunjukkan penyesalan yang dalam.
Butiran-butiran bening mulai menghambur di matanya. Ia tetap terdiam dalam
bekunya keadaan. Meskipun suasana kelas ramai tak sedikit menggugah dia dalam
beku.
Paras, 24 April 2013
*( cerita mengenai seorang ibu memangku anaknya di
bulan yang tampak dari bumi beredar di masyarakat desa Tebuwung, Dukun, Gresik
*( pohon dandu merupakan pohon raksasa yang dapat
ditemui di daerah Dukun, Gresik
*( Khoirul Muttaqin alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Unesa. Saat ini menetap di Pacet. Aktif di KAJ (Komunitas Arek Japan) sebagai
wakil ketua. Selain itu, menjadi pendidik di SMAU BP Amanatul Ummah.
No comments:
Post a Comment