Sunday 7 December 2008

esai dadang ari murtono

Mengapa Tuhan Harus Ada

Di dalam kamar saya yang sepi, pada awalnya saya mengira hanya ada saya. Lamat-lamat ada ingatan yang menjalar, sebuah esai yang dengan susah payah, terengah, berkali-kali jeda akhirnya bisa saya tuntaskan juga pada malam sebelumnya (meskipun itu tidak berarti bahwa saya betul-betul memahami segenap yang dimaksudkan esai tersebut). Meditasi Kedua dari Rene Descartes. Esai yang berat untuk kemampuan cerna otak saya yang sangat pas-pasan bahkan cenderung kurang ini.
Sebelumnya, saya rasa menarik untuk memberikan latar ini dalam rangka memudahkan memahami tulisan jelek di hadapan anda ini. Saya orang yang kebetulan beragama, saya percaya (walau sesekali patut diragukan) Tuhan. Namun toh dua gambaran besar tersebut tidak mampu membawa saya dengan khusuk dan istiqomah beribadah, justru saya sering melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan seperti yang telah difirmankannya dengan berapi-api (atau sabar? Ah saya tidak tahu dan ini tidak penting) melalui orang-orang yang kemudian dengan takzim kita sucikan dan sebut sebagai nabi.
Kembali ke ingatan yang menjalar tentang meditasi kedua. Apa yang dapat saya katakana dari esai hebat itu? Descartes dengan unik telah berhasil membolak-balik dan akhirnya menggiring logika saya untuk ikut meragukan banyak hal (malah bisa jadi semua hal). Toh bukan tema besar itu yang melandasi tulisan ini. Ada sesuatu yang kecil tapi bagi saya teramat sangat menarik. Kecil karena itu merupakan satu dari dari sederet pertanyaan yang diajukan Descartes dan lalu tidak diulang-ulang lagi, menarik karena setelah saya usai membaca salah satu dari sedikit yang tersisa di otak saya adalah hal tersebut. Saya kutip “Tidak adakah Tuhan, atau bagaimana menyebutnya, yang memasukkan pikiranku saat itu di kepalaku? Tetapi mengapa aku pikirkan ini, karena mungkin aku sendiri adalah pengarang pikiran ini?” Pertanyaan indah yang bagi saya luar biasa.
Baiklah, sampai sini Descartes selesai. Saya akan jeda sebentar dengan maksud menghilangkan apapun dari meditasi kedua selain kutipan di atas. Namun perlu juga saya tegaskan, tulisan ini tidak diikhtiarkan untuk mendukung atau menyangkal teori Descartes, jadi buang jauh-jauh harapan berlebihan seperti itu.

Sekali lagi, yang menjadi dasar pijakan tulisan ini adalah kutipan di atas. Mari kita pusatkan saja perhatian ke sana dan membuang Descartes “yang lain” dan jika nanti ada satu atau beberapa hal yang ternyata “sama” maka itu adalah “ulah” bawah sadar dan sama sekali tidak ada maksud untuk melakukan hal itu.
Tidak adakah Tuhan, atau bagaimanapun menyebutnya, yang memasukkan pikiranku saat itu di kepalaku? Saya akan mencoba mendefinisikan Tuhan hanya dari kalimat itu dan sengaja memasa bodokan segala konsep-konsep teologis atau referensi-referensi keagamaan yang lain yang memang tak pernah saya baca dalam penyelesaian tulisan ini. Tuhan adalah sesuatu yang dengan sengaja memasukkan atau memunculkan sebuah atau beberapa pikiran ke kepala, bisa diartikan otak atau apapun lah, seseorang. Sesuatu? Apa itu? Entahlah, saya tak hendak membahas wujud atau asal-usul sesuatu itu. Saya lebih terpesona akan kemampuannya untuk memasukkan pikiran ke kepala seseorang. Dan itu, percayalah atau kalau pun belum bisa coba rasakan lagi kutipan di atas, dilakukan dengan sengaja. Jadi apapun yang ada di kepala kita, apapun yang kita pikirkan, dan akhirnya apapun yang kita hasilkan dari pikiran tersebut adalah sesuatu yang memang dengan sengaja dimasukkan oleh sesuatu yang memiliki kemampuan untuk itu dan kita menyebutnya Tuhan.
Sebegitu pentingnyakah Tuhan? Dengan berat hati dan enggan saya harus kembali ke meditasi kedua untuk membuat pembanding tapi percayalah saya berusaha pada bagian ini saja Descartes kembali terlibat. Tuhan tiba-tiba (sengaja saya memakai istilah “tiba-tiba” karena saya sendiri juga terkejut dengan pemahaman baru yang datang tiba-tiba ini) menjadi sangat penting, sangat menguasai, sangat menentukan dari segala yang ada. Ada? Ya. Descartes dengan cerdik telah berhasil meragukan semua hal sampai pada kesimpulan bahwa segala sesuatu ada karena ada di pikiran dan hanya dirinyalah (pikiran) satu-satunya yang tidak diragukan karena semua bersumber dari sana. Aku berfikir maka aku ada. Saya coba menghubungkan dengan penjelasan singkat terbata-bata saya diatas. Karena Tuhan adalah sesuatu yang memasukkan sesuatu (baca: pikiran dan selanjutnya ditulis pikiran) ke kepala seseorang maka secara otomatis hanya Tuhan selaku pemilik pikiran itu termasuk peraguan dan segala hal yang mengikutinya sebagai satu-satunya hal yang tidak diragukan.
Dapatkah ini dipahami? Tuhan dengan sengaja telah memunculkan pikiran bahwa hanya pikiran yang tidak bisa diragukan sebab dia telah meragukan semua hal (termasuk Tuhan sendiri) atau pikiran lain apapun. Tapi ini disengaja. Jadi segala kesimpulan dari pikiran itu adalah apa yang sengaja “dipinjamkan” Tuhan sehingga berangkat dari ide seperti itu maka Tuhan tak terbantahkan (bagi saya) telah menjelma satu-satunya sesuatu yang pasti dan tak teragukan.
Jika ini sudah bisa dipahami, mari kita lanjutkan kajian ke kalimat selanjutnya. Tetapi mengapa aku pikirkan ini, karena mungkin aku sendiri adalah pengarang pikiran ini? Ok. Esai ini sudah hampir selesai. Dengan konsep yang sudah kita pahami bahwa Tuhan dengan sengaja memunculkan pikiran ke kepala seseorang, maka kalimat itu, kalimat dengan tingkat kepercayaan diri luar biasa tinggi itu, secara otomatis gugur. Seseorang itu bukanlah pengarang pikiran itu sebab dia hanya dipinjami dan pemikiran bahwa pikiran itu adalah karangan dari seseorang tak lain hanyalah pikiran yang sengaja dimasukkan Tuhan ke kepala orang tersebut. Jadi dengan ini, hilanglah segala keberadaan seseorang (manusia), eksistensinya, segala sesuatu di sekitarnya yang muncul sebagai rentetan hal dari pemikirannya akibat dari peraguan-peraguan yang dilakukan sebelumnya. Hanya ada satu hal yang pastilah tak terjamah bahkan dengan peraguan segala hal oleh pikiran karena dia adalah pencipta pikiran sehingga secara mutlak dapat disebut creator tunggal. Sesuatu itu lalu sepakat kita sebut Tuhan.
Dapatkah dipahami? Saya rasa penjelasan ini telah sangat benderang seperti ruang tamu yang pintu rumahnya dibuka sedang hari sedang sangat cerah sehingga cahaya leluasa bisa masuk.
Baklah karena sebelumnya telah dibatasi dengan sengaja tidak ada konsep-konsep ajaran agama di tulisan ini, dan menurut perasaan saya jika tulisan ini dilanjutkan akan ada nilai-nilai agamis yang dengan licik menyusup di sini maka tulisan ini harus segera diakhiri, bahkan akhiri sekarang. Dan kembali ke baris awal tulisan ini, saya akan memulai di dalam kamar saya yang sepi, hanya ada saya, Tuhan dan lamat-lamat ada ingatan yang menjalar, sebuah esai indah dari Rene Descartes, meditasi kedua…

Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

No comments:

Post a Comment