Sunday 7 December 2008

esai dadang ari murtono

Raga Puisi Sebagai Sumbi

Saya sedang bermimpi. Saya hendak menulis mimpi itu tapi percayalah anda tidak perlu mengernyitkan kening untuk membacanya. Karangan ini bukanlah surealisme rumit yang sebenarnya, senantiasa menggoda saya untuk mencebur dan berbasah-basahan. Alih-alih dalam tulisan ini saya menghayalkan romantisme (yang semoga saja jauh dari) usang namun saya kira masih eloklah untuk disantap sambil menikmati segelas teh panas. Baiklah dari pada pembukaan jelek ini berlarut-larut dan ngelantur tak karuan, saya mulai saja cerita ini dengan pertemuan saya dengan seorang perempuan cantik yang kemudian mengaku bernama Sumbi. Tapi hey….ini hanya mimpi percayalah.
Saya yakin anda dan saya tentunya pernah mendengar bahkan mengenal dengan baik wanita bernama Sumbi ini di alam nyata. Dia hidup dalam dongeng-dongeng yang mengantar kita tidur yang dikisahkan oleh ibu atau kakek kita. Dia juga muncul di potongan cerita di buku pelajaran bahasa Indonesia ketika kita memasuki sekolah dasar. Dia telah begitu akrab. Dulu kita hanya menganggapnya hanya sebagai kisah yang segera lewat setelah selesai ditutur atau dibaca. Dan setelah kita mulai bisa belajar memamah peristiwa dengan (agak) baik, kita mengerti ironi yang luar biasa dibalik legenda ini. Bagaimana seorang wanita yang juga seorang ibu dikarenakan kecantikan yang konon katanya luar biasa dan mendapat anugerah dewa sehingga awet muda harus berhadap-hadapan dengan dilema yang tak kalah menakjubkannya dengan segala keistimewaan ragawinya. Anaknya yang kita kenal dengan nama Sangkuriang yang sejak usia remaja telah diusirnya dikarenakan kesalahannya dengan sengaja telah membunuh ayah biologisnya yang berupa seekor anjing yang dengan pilu dan berurai air mata ketika kita membayangkannya, kita sebut Tumang. Dan tidak cukup itu saja, jantung serta hati anjing Tumang ini telah dimasak dan dihidangkannya untuk sang ibu perempuan Sumbi ini. Lalu kita lagi-lagi ikut bersedih saat dengan terpaksa Sumbi mengusir Sangkuriang dengan terlebih dahulu memukul kepalanya sehingga menciptakan luka yang tidak akan hilang.
Setelah itu waktu yang panjang membentang. Tahun-tahun merentang memisahkan ibu dan anak itu. Sang anak tumbuh jadi laki-laki dewasa dan sang ibu Sumbi berkat anugerah dewa tetap terlihat muda dan sangat cantik. Kemudian takdir mempertemukan mereka dan Sangkuriang yang tentu saja pangling dengan ibunya yang tetap muda dan cantik itu jatuh cinta dan menghendaki Sumbi jadi istrinya. Ah….rasanya terlalu berlebihan bila saya meneruskan menceritakan akhir kisah ini. Dimana Sumbi menolak karena mengetahui siapa jati diri dari pemuda itu, namun tak mempunyai keberanian untuk mengutarakannya dikarenakan kesaktian Sangkuriang sehingga tipikal cerita-cerita khas seperti ini memintanya untuk membuatkan danau dan waktu dalam waktu semalam sebagai maskawin pernikahan. Tentu saja, meskipun sangat sakti dan dibantu selaksa bangsa jin Sangkuriang akan gagal sebab Dayang Sumbi akan menabuh lesung sebelum subuh sehingga ayam-ayam akan berkokok lebih awal dan Sangkuriang yang merasa jengkel dengan luar biasa akan mengutuk perahu juga danau yang hampir rampung itu jadi gunung yang kita kenal dengan nama Tangkuban Perahu. Saya rasa saya memang tidak sopan bila menjelaskan detail tentang kisah ini. Karena itu berarti saya meragukan kehidupan masa kecil anda. Saya meragukan apakah kakek atau ibu anda tidak pernah menceritakan kisah ini. Saya meragukan bacaan-bacaan dan pelajaran bahasa Indonesia yang anda dapat di SD dulu. Dan karena saya tidak meragukan anda maka sejarah tentang wanita yang saya temui dalam mimpi seperti dibaris-baris awal tulisan ini. Saya cukupkan demikian saja.
Ini hanya mimpi percayalah…
Dalam peristiwa bawah sadar itu (entah apakah ini pengaruh dari dongeng yang tertanam di benak saya atau tidak) ternyata perempuan Sumbi yang saya temui persis seperti yang diceritakan oleh kakek dan ibu saya dulu. Muda, cantik dan seksi. Begitu melihatnya, melihat keindahan ragawi itu saya langsung bisa menempatkan diri dengan mudah sebagai Sangkuriang. Betapa siapapun lelaki normal pasti mempunyai hasrat untuk mempersuntingnya. Sekali lagi yang penting dan harus digaris bawahi juga dicetak tebal adalah keindahan ragawi yang nyaris sempurna dari perempuan Sumbi ini.
Kemana sebenarnya arah pembicaraan dari pembahasan tentang mimpi Sumbi yang terlihat tidak terlalu penting ini selain kejadian wajar yang juga sering dialami oleh ribuan bahkan jutaan orang lain di dunia.
Tenanglah ini hanya mimpi. Saya juga bermaksud untuk menceritakan mimpi saya tentang wujud ragawi dari puisi. Tentu saja ini sebuah mimpi yang berbeda. Mungkin lebih tepat jika kita menyebutnya keinginan atau cita-cita. Selama ini saya bermimpi betapa pembahasan tentang karya-karya puisi lebih sering dihubungkan dengan makna, tema dan hal-hal semacam itu dari puisi tersebut. Begitu juga tentang tugas penyair selaku sang creator, nantinya akan lebih sering disangkut pautkan dengan makna tema dan unsur-unsur sejenis itu. Contoh yang paling mudah adalah esai indah RM Rilke tentang tugas penyair di dunia yang digambarkan sebagai seseorang yang berdiri untuk memberi petunjuk dan melihat kedepan dalam sebuah perahu sementara orang-orang yang lain mendayung dengan irama yang diisyaratkan sang penyair tersebut. Benarkah tugas-tugas semacam itu adalah tugas yang diemban sebagai rentetan dari makna yang dikandung dalam puisi? Esai fenomenal itu kemudian diikuti oleh esai-esai lain. Larut dalam asyik masyuk melulu membahas makna karangan puisi. Namun ada juga beberapa diantaranya yang dengan kesadaran tinggi ikut mengupas juga unsur ragawi teks puisi itu namun tidaklah banyak (paling tidak sepengetahuan saya yang pas-pasan, belum ada yang sefenomenal RM Rilke)
Jujur saja karangan ini tidak akan membahas hal-hal yang seperti itu, dengan malu yang sebesar-besarnya saya harus membikin sebuah pengakuan bahwa kemampuan saya belumlah mencukupi untuk ikut bersusah-susah memeras otak merumuskan hal-hal sulit seperti itu. Jadi anggap saja paragrap di atas adalah bagian tidak penting yang tidak akan berpengaruh apa-apa jika dihilangkan. Baiklah kembali pada mimpi atau keinginan saya yang kedua dalam karangan ini. Saya mengharapkan, merindukan dengan sesak dada penuh dendam dapat menulis puisi yang secara ragawi bisa seindah Sumbi. Sebelum saya lanjutkan, dalam konteks karangan ini saya andaikan kita lepas dulu pembicaraan tema atau makna atau kalau itu terlalu tidak mungkin kita buat anggapan bahwa makna yang hendak disampaikan sudah terpegang.
Eksplorasi tentang gaya ragawi teks puisi sudah sering dilakukan oleh penyair kita. Mulai Chairil Anwar sampai Joko Pinurbo dan bagi saya yang luar biasa adalah pencapaian Sutardji Calzoem Bachri dan Afrizal Malna. Itu sangat menyenangkan dan kian memberi saya harapan bahwa raga teks masih terus memungkinkan untuk dikembangkan dan dipercantik. sekali lagi tentu saja tanpa meniadakan kekuatan makna. Seperti apakah (bagi saya pribadi) teks yang indah secara fisik dan awet muda sehingga dapat diumpamakan sebagai Sumbi? Teks puisi yang saya angankan (walaupun sampai saat ini masih belum mampu saya tulis) adalah teks yang mampu mencipta semestanya sendiri. Dia bisa menghadirkan dunia indah rekaannya dihadapan pembaca yang berjarak dengan pengarang. Dia mampu mencipta simfoni bunyi, menghadirkan properti-properti panggung teater, mengejewantahkan serangkaian warna diatas kanvas, dsb. Sebegitu mulukkah bentuk fisik teks-teks puisi. Ya, sebagai sebuah angan-angan bagi saya itu adalah teks yang cantik dan akan selalu awet muda. Puisi seperti itu akan berhasil menihilkan segala ketidak mungkinan ragawi. Dia memperdengarkan musik dengan caranya sendiri kepada pembaca, mempertontonkan teater yang menggugah dan menyuguhkan magis warna lukisan.
Hal ini dikarenakan kekuatan utama puisi adalah kata. Bahkan merupakan landasan pertama, pondasi palig kokoh dari keberadaan puisi. Jadi sebenarnya kegiatan memasukkan unsur-unsur disiplin seni lain dalam teks puisi adalah usaha untuk memenuhi kekuatan puisi pada teks. Oleh karena itu kata-kata yang menyusun teks puisi haruslah senantiasa berusaha untuk menghadirkan nilai-nilai seperti yang dijelaskan tersebut. Kata. Saya ulangi sekali lagi harus mampu menciptakan puisinya sendiri dalam bangun kesatuan yang disebut puisi dan tidak ada unsur lain yang memperkuat puisi selain kata itu sendiri jadi sudah semestinyalah kata menanggung beban tanggung jawab yang serupa itu. Akibat yang sangat mungkin ditimbulkan dari aktivitas semacam ini adalah puisi dapat berdiri sendiri sebagai sebuah organisme mandiri dalam panggung pertunjukan atau ketika dibaca dalam kesendirian pembaca. Dalam sebuah resitasi puisi tidak harus ada musikalisasi puisi, teatrikalisasi atau hal-hal semacam itu untuk mencipta kemasan yang menarik sebab puisi itu sendiri dalam teksnya telah memunculkan sendiri kondisi-kondisi seperti itu walaupun hal ini tidak serta merta akan memasa bodohkan musikalisasi atau teatrikalisasi puisi. Namun hal yang membesarkan hati adalah ketidakharusan itu tadi dengan begitu segala peristiwa seni diluar puisi dapat diabaikan atau kalaulah itu juga terlalu bermuluk-muluk dapat dapat dikembangkan dari diri puisi itu sendiri. Dan yang lebih mengagumkan adalah ketika puisi itu menemui pembaca yang sendiri. Bagaimana dia dapat dengan luar biasa memunculkan orkestra, lukisan, tari yang indah kepada pembaca itu, pembaca yang berada di kesunyian kamar. Saya rasa demikianlah teks ragawi puisi yang saya harapkan dapat saya tulis itu. Entah kapan, ah…ya untuk mencegah kesalah pahaman antara apa yang saya maksudkan disini dengan pemahaman anda, perlu saya terangkan bahwa yang saya maksud teks atau bentuk ragawi sastra adalah cara ucap gaya bahasa yang dipakai oleh penyair untuk menyusun puisi dan makna yang saya asumsikan dapat diindahkan atau dianggap telah terpegang seperti penutup diatas adalah makna tersirat yang dikandung oleh puisi dan dalam proses pemahamannya membutuhkan tafsir.
Yang menjadi pertanyaan sekarang dengan angan-angan yang sebesar itu tentang teks puisi. Mungkinkah ada seorang penyair yang berhasil mewujudkannya? Dengan yakin mengingat pencapaian-pencapaian tak terduga yang dilakukan oleh Chairil, Jokpin, Sutrardji, Afrizal dan deretan penyair kita lainnya. Saya akan menjawab mungkin. Sebelum Sutardji muncul mungkin tidak ada yang terpikir untuk memanfaatkan estetika mantra yang menghasilkan simfoni bunyi yang unik demikian juga Afrizal dan yang lain. Dan kita sedang bergerak kedepan toh? Jadi dengan bercermin dengan pencapaian-pencapaian itu sangat mungkin seseorang nantinya bisa menulis puisi yang mampu menampung segala aspek seni lainnya di dalam baris-barisnya. Penyair yang mampu menjejalkan musik, teater, tari, seni rupa dan lain sebagainya kedalam bentuk ragawi puisi dengan indah dan tetap dapat menjaga kedalaman makna. Dan eksperimen-eksperimen yang tak henti kita lakukan akan mempercepat proses-proses menuju kecantikan teks tersebut.
Maka angan-angan saya yang ambisius dan muluk ini saya harap tidak hanya menjadi harapan omong kosong menyakitkan Sangkuriang yang gagal memperistri ibunya sendiri Sumbi, sebab dari sejarah, anekdot, kisah bijak dan dongeng serta legendalah kita belajar membangun peradaban dan terus bergerak maju untuk tidak mengulangi kegagalan yang sama. Dan percayalah waktu untuk merayu Sumbi lebih dari semalam.
Ah ini hanya mimpi percayalah.
Dadang Ari Murtono, penyair, bergiat di komunitas Pondok Kopi, Mojokerto.
Hp 085648693352

No comments:

Post a Comment