Tuesday 26 January 2010

FWD ::: 2010 - 2010 : OLIMPIADE PUISI

Rennaisance La Culturel!

Detik berlalu. Juga menit, jam, hari, minggu, tahun, abad, milennium, sanak famili, saudara dekat saudara jauh, teman, sahabat karib, tetangga, kakek-nenek, idola, bahkan orang yang kurang kita sukai, telah berlalu atau akan berlalu. Pun kita, menuju pada waktu yang kelak surut. Tulisan ini direnungkan pada akhir tahun untuk menandai sesuatu yang pasti tiba dan bakal berlalu.

Sesungguhnya tapal batas tahun Masehi tidak lebih syahdu dari kedatangan hari raya agama-agama yang mengandung nuansa relijius, walau di beberapa jalanan atau pelosok, seringlah hari raya agama disongsong dengan contradictio interminis: mabuk-mabukan di malam lebaran misanya. Kedatangan tahun baru masehi lebih dekat ke fiesta zonder makna. Ada memang yang berjuang menarik garis refleksi di malam persalinan tahun untuk mencari-cari harapan yang bisa dijemput di masa hadapan. Tapi seperti apakah?

Pertanyaan seperti itu pula yang menghantui kami. Dan pertanyaan itu, selalu mengingatkan pada kata mutiara yang dicetuskan Ali bin Abi Thalib, yakni bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini. Tetapi bagaimana mengejawantahkannya dalam realisasi aplikatif?

Beberapa tradisi kuno dari pelbagai bangsa, seringkali menandai perubahan atau pergeseran, pergantian atau persalinan, dengan festival. Ada dua makna dalam festival, yakni: Pertama, ialah ruang ibadat untuk mengangungkan Sang Hyang Widi Wasa (Yang Maha Berkuasa), tetapi khusus bagi kaum pagan seperti bangsa Greek, persembahan pada festival ditujukan kepada para Panteon (dewa).

Kedua, makana festival ialah untuk menakar pencapain yang sudah dilakukan. Untuk meningkatkan hasil yang dicapai, dalam festival itu dilakukanlah kompetisi sebagai tolok-ukur keberhasilan. Kompetisi pada festival, bukan semata untuk bertanding, tapi untuk mencari standar atau parameter, dan di mana setiap individu akan berujuang mencapai atau memecahkan rekor.

Oliampiade pada mula digagas bangsa Greek sekria 8 abad sebelum Yesus lahir, adalah sebentuk festival yang diselenggarakan di bukit Olympus: karena itu festival ini diberinama Olympiad, dan distrik tempat festival digelar, bernama Olympia. Kala itu, seorang budayawan biasanya sekaligus menjadi politikus, agamawan, filsuf, seniman, atlit, dan tentara. Kala itu, seseorang bisanya memiliki multi-talenta. Kala itu pula, Olympiad diikuti para budayawan yang memiliki multi talent.

Para pemilik multi-talenta itu, berkumpul di bukit Olympus untuk menyembah dewa Zeus dengan cara seminar peradaban, lalu menggelar kompetisi atletik sebagai hiburan. Para atlit yang berlaga, tidak mengenakan pakaian, alias telanjang bulat, supaya mereka bersih dan suci, ibarat orang sedang ihram, harus bersih dan suci. Tentu tidak ada perempuan yang menonton apalagi jadi peserta. Kalau Susan Sontag --feminist Amerika, sudah ada kala itu, mungkin ia akan berang: diskriminasi jender nih. Tapi kalau Anabel Chong atau Maria Ozawa ikut serta, mungkin lain pula ceritanya.

Hatta, pada mula Olimpiade digagas bukanlah untuk kompetisi, melainkan untuk ibadat dan seminar peradaban. Di sela penatnya seminar, para multi-talenta menyaksikan laga atletik. Sekarang kebalik, Olimpiade seakan untuk festival atletik, lalu menyusul festival sains, dan di mana letak ibadat dan seminar peradaban?

Beranjak dari kongkulsi di atas, DPP PPP yang sudah mewacanakan penyelenggaraan Olimpiade Puisi, makin memiliki keyakinan kuat untuk mewujudkannya. Makna Olimpiade untuk Puisi ini, adalah dikembalikan pada kaidah Olimpiade klasik yang digagas bangsa Greek.

Ketika gagasan Olimpiade Puisi diluncurkan melalui facebook, ternyata respons konstituen dan kader PPP cukup seru. Dukungan dan usulan ide begitu meruyak dan meriah. Ini menjadi sinyalemen tegas, bahwa halayak ramai benar-benar muak menyaksikan tabiat pejabat yang bejat, dan gelagat “politikus resmi yang kacrut” di Tanah Air. Usulan-usulan itu telah kami tampung, dan kami akan membahasnya dalam “rakernas”.

Inti dari usulan itu adalah mata acara berupa: 1) Seminar; 2) Pertunjukan; 3) Lomba; dan 4) Launching.
1. Seminar membahas seluk-beluk perpuisian dan yang berkiat dengannya.
2. Pertunjukan dari mulai baca, deklamasi, dramatisasi, musikalisasi, dll.
3. Lomba terdiri dari 3 kategori: a) lomba baca, b) lomba cipta, c) lomba cipta sekaligus membacakannya.
4. Launching buku atau antologi puisi atau yang berkait dengannya.

Adapun usulan tema dari konstituen, ada yang menyodorokan pertanyaan bagaimana kalau tema Olimpiade Puisi yang pertama ini adalah MENGGUGAT PEJABAT YANG BEJAT?

Ada juga usulan supaya bekerjasama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam pelaksanannya, agar murid dan guru benar-benar terlibat. Ada pula usulan lomba cipta sekaligus membacakan puisi dengan tema mengeritik kinerja anggota DPR/DPD, dengan diberi hadiah DPR/DPD Award. Barangkai akan menarik kalau DPP PPP mengusulkan proposal ke Senayan: Kami mau minat duit rakyat untuk mengeritik kalian!

Mengenai waktunya, ada usulan mulai dilaksanakan pada tanggal 20 bulan 10, sehingga terbentuk kombinasi angka 20-10-2010. Dan, acara puncaknya digelar pada 28 Oktober untuk menggali elan vital Sumpah pemuda, sebagai percik revolusi kebudayaan.

Demikian. Mohon bantuan untuk menyebarluaskan warta ini.

Selamat Tahun Baru 2010. Moga di tahun ini, puisi benar-benar bergeliat, dan tidak haram bila mencapai booming seperti halnya karya lukisan.



Tabik.
DPP - PPP



Doddi Ahmd Fauji
Wartawan Senior ARTI majalah

No comments:

Post a Comment