Tuesday 26 January 2010

Pameran "Retrospeksi" Kenangan di Pancoran

Oleh: Putu Fajar Arcana

Sebutan Monumen Dirgantara mungkin kalah populer dibanding Patung Pancoran. Bahkan sangat mungkin tak banyak pula yang tahu bahwa monumen yang digagas Bung Karno dan dikerjakan oleh perupa Edhi Sunarso (78) itu belum pernah diresmikan.

Bagi Edhi, Monumen Dirgantara memendam pahit getir, kejayaan dan kesedihan yang mendalam dalam perjalanan bangsa ini. Replika Monumen Dirgantara menjadi salah satu karya Edhi Sunarso yang digelar dalam pameran bertajuk ”Retrospeksi” 14-24 Januari 2010 di Jogja Gallery, Yogyakarta.

Di tempat itu juga dipamerkan replika monumen karya Edhi yang lain, yakni ”Monumen Selamat Datang”, yang sampai kini terpancang di Bundaran HI Jakarta, ”Monumen Pembebasan Irian Barat”, yang juga masih berdiri kekar di Lapangan Banteng Jakarta. Edhi juga menyertakan karya-karya individual yang ia kerjakan di sela-sela konsentrasinya menggarap begitu banyak monumen dan diorama di Tanah Air.

Karya-karya monumen Edhi memberi petunjuk keterlibatannya yang dalam pada pergerakan sejarah bangsa. Ia memang menjadi salah satu seniman ”kepercayaan” Presiden RI Soekarno. Monumen Selamat Datang dibangun atas permintaan Bung Karno tahun 1958 untuk menyambut pesta olahraga kelas dunia, Games of the New Emerging Forces, yang diikuti 144 negara. Dan monumen itu kemudian menjadi kebanggaan bangsa yang baru saja merdeka di hadapan ratusan perwakilan negara yang hadir di Jakarta. Di situ seni membuktikan dirinya sebagai penyulut ”harga diri”, tidak merasa rendah di mata bangsa lain di dunia.

Kenangan yang sampai kini mengharu biru perasaan seniman kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini justru terjadi di Pancoran. Bung Karno meminta Edhi Sunarso membuat monumen yang mencitrakan kedigjayaan dunia dirgantara Indonesia tahun 1964. Tanggal 30 September 1965, Edhi memenuhi panggilan Bung Karno di Istana Negara Jakarta. Sampai siang hari, cerita Edhi, ia menunggu di teras belakang Istana, tetapi Bung Karno tidak kunjung tiba. Belakangan ia mengetahui hari itu terjadi apa yang disebut Gerakan 30 September.

Februari 1967, mendadak Edhi mendapat panggilan dari Bung Karno lagi. Saya kutipkan dialog yang dituliskan Edhi Sunarso dengan Bung Karno yang begitu dramatis.

”Edhi, apa patung Dirgantara sudah selesai kau kerjakan?”

”Sudah Pak,” jawab Edhi.

”Lalu mengapa tidak segera kau pasang?” tanya Bung Karno.

”Saya tidak punya biaya lagi Pak, bahkan saya terbelit utang… rumah saya pun sudah disegel….”

Bung Karno diam sesaat, lalu berkata, ”Tidak apa-apa Dhi, sudah seharusnya kau katakan. Patung itu harus dipasang untuk menepis anggapan bahwa landasan monumen Dirgantara yang dikerjakan Saudara Sutami, sebuah bentuk penyerangan terhadap diriku. Ada juga yang menyebut monumen itu sebagai monumen Cukil Mata…Aku minta padamu segera dipasang,” ujar Bung Karno.

Edhi menuturkan, Bung Karno kemudian memanggil seseorang bernama Gafur dan menyuruhnya menjual salah satu mobil milik Bung Karno sendiri. Hasil penjualan mobil itulah yang digunakan untuk menyelesaikan pemasangan Monumen Dirgantara.

Ceritanya tak berhenti di situ. Setelah meninjau ke lokasi pemasangan patung, Bung Karno tiba-tiba berpulang. Saat Edhi berada di puncak Dirgantara, mobil jenazah melintas di bawahnya. Ia buru-buru turun dan menyusul ke Blitar, di mana Bung Karno dimakamkan. ”Jadi Monumen Dirgantara adalah monumen yang tidak pernah terbayar lunas dan tidak pernah diresmikan,” tulis Edhi dalam katalog pameran.

Pengggerak

Pada kata ”retrospeksi”, Edhi Sunarso makin meneguhkan dirinya sebagai pelopor pembuatan patung-patung monumental di Indonesia. Karya-karyanya, yang kata kurator pameran Mikke Susanto, cenderung bergaya realis-romantik, adalah seni yang terlibat. Seni bagi Edhi, pada sisi ini, memiliki kontribusi dominan sebagai penggerak dan peneguhan citra identitas berbangsa. Kendati konsolidasi menjadi ”Indonesia” sudah bisa dianggap selesai ketika lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928, sebagai negara, Indonesia masih sangat muda. Dan karena itu, masih sangat membutuhkan perekat, yang diharapkan makin menggumpalkan rasa keindonesiaan tadi.

Karya-karya individual Edhi juga tidak bisa dilepaskan dari semangat itu. Tengoklah karya berjudul Kemenangan (2003). Karya ini dibangun dari dua tiang logam yang menyangga dua bulatan oval yang bersilangan dan pada bagian tengahnya dipancangkan logam lurus menyerupai pemancar petir. Karya ini ibarat tugu, bahkan monumen meski bentuknya kecil, yang menggambarkan keteguhan dan kekekaran menuju kemenangan. Ada gelora api perjuangan di dalamnya.

Itu bisa dipahami jika kita menoleh pada biografi Edhi. Seniman ini telah bergabung dengan para pejuang kemerdekaan dan meninggalkan sekolahnya pada usia belasan tahun. Ia bahkan pernah ditangkap dan dipenjara hampir tiga tahun oleh Belanda. Perjalanan hidup Edhi inilah yang mungkin menarik hati Bung Karno sehingga memberinya kepercayaan membangun monumen penting dalam momentum kehidupan bangsa ini.

(kutipan Harian Kompas, Minggu, 24 Januari 2010)

No comments:

Post a Comment