Monday 13 December 2010

makalah diskusi rutin Komunitas Arek

Tujuh wajah tujuh puisi dalam tujuh hari*
Samsul Arifin A.K.A Jr Dasamuka





Wajah laki-laki fatoni diantara wajah keseharian yang begitu sibuk dengan urusan-urusan konsumsi raga. Tapi ada saja waktu untuk urusan menulis (konsumsi jiwa). Tentu urusan menulis bukan urusan yang sia-sia karena aku meyakini tidak ada urusan di dunia ini yang ditujukan untuk kesia-siaan.
Dengan deru suara kereta api, ya….begitulah aku memberikan suasana. Ketika kuputar instrument liris manapun tapi tetap saja susah untuk mengiringi membaca puisi akhmad fatoni. Suara kereta itu akhirnya membawaku pada tujuan. Kereta itu juga seperti rutinitas panjang yang dialami toni, dalam kereta itu ada penumpang yang cantik, ibu yang teduh dan juga wajah laki-laki , tapi bukan wajah penulis. Karena dia menjadi masinis yang mengendalikan kereta ini.

3 puisi pertama
Hidup itu adalah hari ini, yang sedang kita jalani saat ini. Kemarin sebagai sejarah dan esok sebagai harapan. Begitulah kira-kira aku diingatkan oleh toni pada puisi-puisinya.
Sesudah itu ia mewujud kenangan, wajahnya merupa kuncup-kuncup yang tak lagi menawan/………./sesekali menyelinap untuk singgah/……./tapi darah belum tentu tak berguna/ (beberapa penggalan bait dari wajah mantan kekasih). Seperti itulah (setidaknya seperti yang kuyakini) wajah hari kemarin yang lama-lama menjadi masa lalu diwajahkan sebagai kuncup yang tidak lagi menawan. Menawan dalam arti tidak dapat lagi kita kunjungi dan kita ulang kembali. Kuncup bukan tanda mekar tapi kuncup setelah mekar. mantan waktu yang telah kita jalani bisa hadir sesekali bisa juga sering kali hadir. Tidak ada manusia yang bisa menghilangkan masa lalu tapi setidaknya bisa kita jadikan sebagai pelajaran untuk menjalani kehidupan hari ini.
Sekali lagi kehidupan adalah hari ini/……. /bila menatapnya membuat hati ini berdebar kencang/sekencang topan/meruntuhkan tatanan gedung-gedung megah/…….(wajah kekasih). Debar yang membuat kita hidup dan menjalani hidup itu dengan cinta (mencintai kehidupan yang sedang kita jalani) karena itulah yang penting. Melakukan yang terbaik hari ini untuk kehidupan yang indah. Dan menjadi masa lalu yang indah ketika hari ini mulai menjadi kemarin dan setelah ada hari berikutnya. Karena di depan masih banyak hari esok yang menawarkan kemungkinan untuk kita pilih.
seperti wajah calon kekasih ……/menggugah gairah dan memancingnya untuk muntah/setelah itu ia mencipta getar yang teramat indah/……./menebar janji untuk panen dengan hasil yang merekah/…..// ah…….begitulah masa depan, menebarkan berbagai kemungkinan. Berbagai harapan. Hari-hari untuk memuntahkan isi kepala dan kita tadah dalam puisi.
Lanturan apa ini aku seperti orang bijak saja. Tapi lanturan ini mengasikkan juga, melantur bersama puisi setidaknya seperti yang kuyakini tidak urusan yang sia-sia di dunia ini meski itu hanya sebuah lanturan. Sebelum lanturan ini bertambah luas ada rokok di depan kita untuk kita hisap dan kepulkan asapnya juga kopi yang harus kita sruput untuk menyadarkan kita. Kalau ada istri bisa kita ajak untuk begituan. Seperti puisi yang bisa membuat kita begini dan begitu.
Dalam memahami makna puisi ini, tentu akan sangat berlainan dengan fatoni. Begituah puisi. Rimba kata yang di dalamnya ada berbagai spesies makna. Kita bisa camping, berpetualang, menikmati pemandangan, dan kita juga bisa tersesat.

Yang meneduhkan dan yang menuduhkan
Buru-buru aku harus bertempur lagi seperti fatoni yang terus menderu melewati rel-rel yang sudah terpasang dan melewati garis yang sudah dipilih. Masih ada wajah pengasih yang bersekutu dengan wajah sahabat sejati melawan wajah petinggi yang bersekutu dengan wajah pemimpi. Apakah aku harus mengurainya satu persatu? Atau menangkap perasaan fatoni saja? dan ini pilihan yang aku pilih.

Melihat persekutuan yang pertama ada kesamaan karakteristik dalam kepenulisan puisi “teduh”. Menulis puisi dengan menggunakan majas perumpamaan yang dominan dan sedikit hyperbola dipilih toni untuk membangun 2 sajak tentang orang-orang yang “protagonis” dalam kehidupanya. Hal ini bisa saya katakan lebih save untuk menekankan sifat teduh dan dengan segala ke-protagonis-an-nya. Tengoklah kata bila dan akhiran (nya) pada 2 puisi itu(wajah pengasih dan wajah sahabat sejati ) begitu perumpamaan bukan? Ada spirit kejawen yang dipakai seperti alise nanggal sepisan, lambene sigar gambir, dan sebagainya. Sementara 2 puisi yang lain menuntun kita pada narasi kegelisahan yang berujung pada kesimpulan toni tentang kegelisahannya itu.
Ketika melihat pertandingan el clasico antara Barcelona dan real Madrid, pertandingan berakhir pembantaian 5-0 untuk kemenangan pasukan catalan. Permainan efektif dari kaki ke kaki yang menjadi ciri khas (baca wajah)anak asuh pep guardiola menjadi sangat menakutkan bagi los galaticos ala jose mourinho yang permainannya belum memiliki karakter yang jelas, meski dengan wajah-wajah pemain termahal dunia. Lho….lho….lho kok jadi komentator bola? Aku harus kembali kepada bahasa sastra

Membaca wajah
Beberapa waktu lalu tema ayat pernah dipakai oleh dadang ari murtono dalam periode kreatif kepenulisannya dan kali ini teman saya yang lain fatoni menemakan wajah.(dalam menulis judul pada puisi-puisinya yang ditulis dalam waktu yang berdekatan dan ditemakan) Tentu saja ayat liris dadang berbeda dengan Wajah yang menggambarkan laki-laki toni dengan segala kelaki-lakiannya. Tidak hendak mengatakan ini bukan sesuatu yang baru tapi bukankan keterpengaruhan itu sah-sah saja dan hukumnya bukan dosa. Tujuh wajah tujuh puisi dalam tujuh hari. Seperti hendak mengajarkan pada kita bahwa puisi bisa hadir untuk wajah-wajah yang mengakrabi keseharian, waktu yang sayang terbuang hilang untuk tidak dituang.
Mengapa wajah? Karena toni punya wajah dan aku mewajahkan toni dengan wajah yang aku punya. Wajah yang lama-lama menjadi samar seperti semar. Tapi sayangnya toni bukan semar seperti dalam pewayangan itu. Ada wajah yang gagal menjadi gagah. Eh…..kenapa bahasanya jadi seperti ini? Langsung saja selek lupa wuahaa…haaaa………ada banyak kata yang percuma, bahasa lainnya percuma adalah sia-sia(2 puisi terakhir). Tidak efektif. Terkesan dipanjang-panjangkan. Dan toni gagal membahasakan puisi itu. Puisi yang gagal memprosa. Puisi bukan, prosa bukan. Kenapa tidak bernyawa prosa saja mungkin kelahirannya akan lebih sempurna. Yang aku itu bukan gaya nulis loe man. Wajahmu tak mampu kukenali, ada penyair lain yang gagal kau jelmakan dirimu. Tidak satu tapi tiga orang lebih. Tapi bukan sepuluh wajah karena itu dasamuka dalam pewayangan. Mungkin analogi tentang Barcelona vs Real Madrid tadi bisa sebagai acuan.
Mungkinkah kita tanpa wajah? Tanpa wajah berarti manusia berwajah tanpa wajah. Bagaimana wajah toni? Lihatlah pada tulisan dan bahasanya. “keberadaan manusia sejatinya adalah di dalam bahasa”(Heideger).
Apa pentingnya membaca wajah toni? Kita bisa melihat wajah kita. Seperti halnya saat ini wajah makna yang dilukis toni dalam puisi, berbeda dengan wajah makna yang aku gambar dari puisi-puisi ini. Aku melihat puisinya telah mengisyaratkan pemaknaan yang mampu dibaca orang lain sebagai sesuatu yang lain. Dan puisi itu mampu lahir sebagai puisi dan kehidupannya kini ditangan pembaca. Halahhhh…..opo iki? Aneh. Terasa lapar waktunya makan. Selamat makan!!!!!




*disampaikan pada acara diskusi sastra KAJ, Mojosari.

No comments:

Post a Comment